Saya kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) selama 7 tahun. Yup, 7 tahun!
Ini dia. Kisah saya yang hampir selalu menjadi bahan tertawaan. Setelah 7 tahun kuliah, dan sejujurnya, saya agak malu juga karena menjadi beban keluarga.
Bayangkan saja. Saat saya masih sibuk di UNY untuk kuliah, banyak teman seangkatan yang sudah mengisi CV dengan berbagai pengalaman kerja, magang di perusahaan ternama, atau bahkan mulai menata karier.
Saya, masih berjuang memahami teori sastra yang mungkin hanya segelintir saja yang benar-benar mengerti. Belum lagi, saya harus menghadapi anggapan dari banyak orang yang mengatakan bahwa Sastra Indonesia itu hanya untuk para pengangguran. “Lulus kuliah, kerja jadi apa? Nulis novel? Jadi pengajar?”
Penuh warna 7 tahun di UNY
Tapi jangan salah, masa 7 tahun saya di UNY ini penuh warna. Selain teori sastra yang tak ada habisnya, saya juga menyaksikan perubahan-perubahan besar di kampus saya. Salah satu yang ikonik tentu saja gonta-ganti rektor. Seingat saya, selama saya kuliah, rektor UNY itu ganti 3 kali!
Tiga kali ganti rektor itu seolah jadi simbol perjalanan akademik saya. Perubahan kurikulum, nama fakultas yang berubah dari FBS menjadi FBSB (yang entah kenapa nama terakhir terasa lebih “resmi” dan “birokratis”) turut menjadi bagian dari perjalanan ini.
Saya mungkin menjadi angkatan 2017 terakhir yang mengalami transisi ini. Memang cukup absurd dan penuh misteri.
Saya juga merasakan pergantian dekan. Lalu, mata kuliah yang semula menyenangkan mendadak berubah menjadi penuh persyaratan yang tampaknya lebih mengarah pada siapa yang paling bisa bertahan, bukan siapa yang paling pintar.
Namun, selama 7 tahun di UNY ini saya belajar banyak hal. Kuliah Sastra Indonesia selama 7 tahun itu bukan hanya tentang membaca novel atau menulis makalah. Di balik tumpukan buku, saya sebenarnya sedang memperkaya cara pandang terhadap dunia, cara berbicara yang lebih tajam, dan tentu saja, cara melihat potensi dalam diri.
Menjadi beban keluarga atau cita-cita?
Selama saya kuliah di UNY, ada 1 beban yang tak bisa saya sembunyikan, yaitu menjadi beban keluarga. Masa studi yang panjang sering menjadi bahan obrolan keluarga besar. Tidak jarang mereka berkata, “Kok lama banget sih? Masa nggak selesai-selesai?”
Makanya, saya selalu merasa seperti beban. Namun, di sisi lain, saya merasa sedang menapaki jalan saya sendiri, meskipun agak melenceng.
Tidak mudah untuk terus berjalan di jalur yang terasa tidak menjanjikan. Terlebih, saya sempat merasa pesimis. Apalagi ketika melihat teman-teman saya sudah bekerja dengan gaji tetap.
Nah, di sini, saya merasa menemukan titik balik. Ketika merasa hampir menyerah dengan pertanyaan-pertanyaan seputar 7 tahun kuliah di UNY, saya menemukan podcast dari penulis idola saya, Mas Puthut EA.
Jadi, Mas Puthut bercerita dengan santai bahwa dirinya juga kuliah selama 7 tahun di jurusan Filsafat UGM. Momen itu seperti pencerahan bagi saya. “Tunggu dulu, kalau dia bisa, kenapa saya nggak?”
Saya sadar, 7 tahun kuliah di UNY bukan aib. Itu bukan sesuatu yang harus saya sembunyikan. Justru itu adalah proses yang membentuk siapa saya sekarang.
Ternyata, 7 tahun itu lebih dari sekadar angka, tapi waktu yang penuh dengan proses pematangan. Saya banyak belajar tentang kesabaran, kegigihan, dan yang terpenting, tentang apakah tujuan akhir itu penting ataukah yang lebih penting adalah perjalanan menuju tujuan tersebut.
Mencoba bangga dengan masa 7 tahun kuliah di UNY
Saat ini, saya tidak lagi merasa malu meski kuliah sampai 7 tahun di UNY. Saya belajar lebih banyak tentang Sastra Indonesia, budaya, dan diri saya sendiri.
Saya belajar menganalisis karya sastra, berbicara dengan lebih percaya diri, dan lebih penting lagi, belajar untuk tidak menilai diri saya hanya dari lamanya kuliah atau gelar. Bagi saya, perjalanan ini membentuk saya untuk bisa berbicara dengan cara yang berbeda.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Kok lama banget kuliah?” Saya hanya akan tertawa dan bilang, “Sastra itu bukan tentang cepat atau lambat. Itu tentang bagaimana memahami dunia yang lebih besar melalui kata-kata.”
Tujuh tahun di UNY ini bukan hanya tentang menghabiskan waktu. Ini juga soal menemukan diri dan menyadari bahwa setiap proses itu berharga, meskipun orang lain tidak selalu mengerti atau menghargainya.
Sekarang, saya bisa sedikit lebih bangga. Karena di akhir perjalanan ini, saya tahu satu hal yang penting. Bahwa waktu tidak pernah sia-sia jika kita belajar sesuatu yang berharga darinya. Dan kalau ada yang masih menganggap jurusan Sastra Indonesia itu tidak menjanjikan, ya… saya hanya bisa tertawa.
Tujuh tahun di Sastra Indonesia UNY? Itu lebih dari cukup.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















