Kemarin saya dicurhati tetangga saya, Adon, yang mengeluh karena rutin didatangi oleh temannya, Naryo. Naryo ini salah seorang sahabat Adon yang rajin berutang. Awalnya Naryo memohon utang ke Adon karena kepepet harus melunasi pinjaman bank. Dikasih sekali, eh dia balik lagi buat berutang, kali ini karena bingung nyari ongkos sekolah anaknya. Cerita keluh kesah Naryo bersama keluarganya membuat Adon luluh. Ia pun meminjamkan uang pada Naryo untuk kedua kalinya tanpa jaminan selain janji penenang bahwa uangnya akan dikembalikan bulan depan.
Sudah bisa ditebak, di akhir bulan berikutnya janji itu berubah menjadi kekecewaan. Naryo telah nulayani janji. Adon bertekat tak akan memberi kesempatan lagi kepada Naryo. Namun, lantaran kehadiran Naryo yang selalu mampu menyuguhkan kisah melow tentang kondisi perekonomian keluarganya, hati Adon luluh untuk kesekian kalinya. Mengalirlah dana segar dari saku celana Adon, yang bikin Adon bertanya dalam hati, “Sampai kapan ini akan terus berlangsung?”
Saya terus menyimak cerita dari Adon sambil berharap ia akan menemukan solusinya, supaya ia segera bernapas lega sebab tak dihantui lagi oleh Naryo yang selalu siap datang mengemis pinjaman. Kalau masalah ini selesai, saya juga mendapat kisah pengalaman berharga tentang cara menyelesaikan hutang. Siapa tahu berguna untuk saya sendiri di masa depan.
Beberapa bulan saya tidak bertemu dengan Adon, ternyata saya mendapatkan cerita yang lebih runyam. Adon kini kian bertransformasi menjadi malaikat penyelamat bagi keluarga Naryo dengan memberi pinjaman rutin atas kebutuhan sekolah anaknya. Lambat laun Adon semakin pusing atas keadaan ini. Meskipun ia bisa dikatakan mampu soal penghasilan, namun sebenarnya ia berencana untuk mendermakan sisa uangnya untuk mereka yang lebih membutuhkan. Sungguh mulia hatimu, Don!
Cerita Adon tentang motif Naryo berutang ternyata cukup pelik. Mulai dari latar belakang pekerjaan Naryo sebagai pedagang yang usahanya la yamutu wala yahya, tanggungan bulanan untuk mengangsur pinjaman di bank, beban membayar utang dari saudaranya yang na’udzubillah besarnya (kisaran Rp200 juta), biaya kebutuhan anaknya yang berjumlah 4 orang, hingga investasi di bidang properti yang kurang jitu sehingga hasilnya tidak bisa dimanfaatkan.
Membayangkannya saja begitu rumit, saya kian penasaran, mungkinkah ini yang akan dialami oleh sebagian orang yang berumah tangga? Tenggelam dalam utang?
Saya semakin dibuat geleng-geleng kepala begitu mendengar cerita dari Adon tentang kondisi ekonomi Naryo yang gemar berutang itu. Usut punya usut, ia sebenarnya adalah anak sultan alias anak orang kaya yang masih punya aset properti warisan dengan nilai yang fantastis untuk ukuran saya.
Kisaran aset tanah dan rumah Naryo itu hampir senilai Rp3 miliar meski dari luar ia kelihatan seperti pemilik toko yang sepi pembeli. Wow. Jumlah fix asset-nya ini nyatanya jauh lebih besar dibandingkan dengan taksiran utangnya yang (hanya) 1 miliaran. Saya semakin ragu, masihkah pantas ia mendapat pinjaman?
Selepas pertemuan dengan Adon, curhatannya kian mendenging dalam kepala saya dan seakan memberikan clue tersendiri soal masalah Naryo yang hobi berutang itu. Terutama jika saya menimbang bahwa ia masih memiliki aset yang begitu besar nilainya. Saya ibaratkan propertinya itu semacam kartu as baginya untuk mengurai benang kusut ekonomi keluarganya. Saya pun meramu strategi yang akan saya usulkan ke Adon.
Pertama, Adon harus tegas kepada Naryo bahwa utang adalah perkara yang wajib dilunasi alias dituntaskan. Sebab, utang menyangkut perkara dunia-akhiratnya kebahagiaan seseorang. Naryo bisa saja terus berutang, namun bagaimana caranya mengembalikan? Kapan utang itu dilunasi? Sampai kapan ia kuat menanggung beban utang? Dan jika ia tak mampu membayarnya, sanggupkah ia bertanggung jawab di hari perhitungan?
Berutang itu tidak salah. Sekadar lima puluh ribu, seratus ribu, sejuta, dua juta. Namun, jika sudah mencapai angka ratusan juta dan sumber peminjamnya adalah saudara sendiri tanpa ada rencana matang untuk mengembalikan, ini bisa bermuara pada kezaliman yang mengganggu hubungan harmonis persaudaraan.
Menurut saya, seberapa papa kondisi seseorang, selama ia masih memiliki aset pribadi yang bisa dimanfaatkan, sebaiknya ia menggunakan aset pribadinya itu terlebih dahulu. Itu jauh lebih bermartabat daripada mengemis pinjaman meskipun dari orang terdekat yang mau mengasihinya. Jangan sampai karena ada yang mau ngutangi, jadinya malah keterusan. Apalagi pura-pura pusing sebab tidak punya cara untuk melunasinya.
Kedua, menyadarkan Naryo bahwa ia punya kemampuan finansial di bidang properti. Tampaknya ia sedang bokek, di balik itu ia masih punya jalan keluar dengan menjual tanah dan rumah yang nilainya melimpah. Begitu banyaknya hingga cukup untuk biaya bulan madu rutin dua kali sebulan. Tentunya sambil terus mengingatkan Naryo agar tetap waspada dengan yang namanya pengeluaran!
Menjual tanah dan rumah warisan mungkin ini akan dianggap perkara yang amat berat lantaran faktor histori atau faktor gengsi, tidak siap menerima kenyataan tentang betapa hinanya hidup dengan sebutan “orang bangkrut”. Jawabannya sebenarnya tidak sulit. Jika ada banyak orang yang terus kepo alasannya menjual rumah, tinggal jawab saja, “Ingin mengalihkan aset ke sektor yang lebih produktif.” Tentunya sambil membocorkan sedikit gambaran usaha yang akan ia rencanakan berikutnya. Ceritanya jangan terlalu banyak! Khawatir nanti diserobot sama mereka.
Ketiga, jika kedua cara di atas belum berhasil, Adon bisa menggunakan cara yang lebih “brutal”, seperti memberi ultimatum tidak akan memberi pinjaman jika utang lama tidak dilunasi. Adon bisa beralasan masih ada kerabatnya yang lebih miskin dan membutuhkan uang. Dengan cara ultimatum ini, kemungkinan besar Naryo akan merasa luluh karena takut kehilangan pemberi pinjaman langganan tempat masa depan anaknya bergantung. Kalau sudah demikian, syukur-syukur ia putar haluan untuk menjual asetnya.
Keempat, membantu perencanaan bisnis Naryo sehingga ia dapat bangkit setelah melunasi utang-utangnya. Setelah menjual aset pribadinya, tentu saja ada skala prioritas yang harus diperhitungkan olehnya, seperti mencari tempat tinggal baru (tidak harus gres), melunasi utang, dan sisanya untuk keperluan modal usaha. Tapi kok yang ngutangin malah jadi repot banget ya?
Kelima, mengingatkan Naryo untuk bertirakat, mewaspadai agar gaya hidupnya yang hedon tidak semakin menjadi-jadi begitu mendapatkan banyak dana. Ya dulu dia memang anak sultan dengan warisan berlimpah, tapi sekarang kan sudah lain cerita.
Kalau Naryo tetap sulit melepaskan gaya hedonnya, mungkin ia dapat merenungi kembali tirakat ayah ibunya dulu saat merintis usaha. Pada masa kecilnya ia biasa sarapan dengan satu butir telur goreng yang diiris adil menjadi delapan bagian untuk lauknya bersama 7 saudara lainnya.
Syahdan, tirakat itu telah mengantarkan kesuksesan keluarganya sehingga mampu mewariskan aset yang luar biasa kepada Naryo dan saudara-saudaranya. Bagaimanapun ini adalah pelajaran hidup bersahaja yang sangat penting agar Naryo bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi dan tidak terjerumus ke lubang yang sama.
Saya cuma bisa berharap saran saya ke Adon ini berhasil.
BACA JUGA Mengenal Karakter Calon Pembeli Perhiasan di Toko Emas dan tulisan Muhammad Adib Mawardi lainnya.