Aneh, kita justru bisa hafal lirik lagu musisi yang katanya sih lagunya nggak kita suka.
Di suatu sore, saya sedang mendengarkan salah satu band Indonesia favorit saya. Bisa dikatakan ia legenda dan menurut saya lagunya tidak lekang oleh waktu: Sheila on 7. Dari SD hingga saat ini, lagu Sheila on 7 selalu menyenangkan untuk didengar. Lagunya easy listening, liriknya pun mudah dihafal. Meski saya tidak bisa bernyanyi, suara saya fals, tapi selalu ada keinginan untuk menyanyikan banyak lagu Sheila on 7 ketika mendengar lagunya di radio, tv, atau di tempat umum.
Meski belum bisa dikatakan sebagai fans Sheila on 7 garis keras, saya tumbuh besar bersama banyak lagunya. Menyimpan beberapa di antaranya di aplikasi musik di hape, memiliki beberapa kaset pada masanya, dan kini menyimpan beberapa lagunya di Spotify. Ya gimana, mau yang baru ataupun lama, lagu Sheila on 7 tetap enak didengar dan memiliki kedalaman makna yang mumpuni.
Soal kedalaman lirik dan lagu tahun 90-an yang “awet”, melansir dari Liputan 6, Yovie Widianto berpendapat bahwa kekayaan harmoni dan kedalaman lirik merupakan kekuatan lagu di era 1990-an. Lanjutnya, “Musik zaman sekarang juga enak, tapi harmoninya hanya dua, dibolak-balik. Enak dinikmati, tapi juga mudah dilupakan atau terasa bosan. Bisa jadi demikian.”
Di luar hal tersebut, banyak di antara lagu era 2000-an hingga kini yang liriknya pun sebetulnya mudah diingat. Bukan karena suka band atau lagunya atau secara sengaja menghafalkannya—mendengarkan berulangkali—melainkan secara tidak sadar hafal lirik dengan sendirinya.
Akui saja, meski beberapa di antara kita mengaku kurang cocok dengan aliran musik Kangen Band, ST12, atau Hijau Daun, tapi disadari atau tidak, banyak dari kita justru hafal lirik lagu mereka. Meskipun kita nggak pernah mendengarkan lagunya secara saksama dan disengaja.
Saya pun mengalami hal tersebut. Nggak pernah dengar lagunya secara penuh dan utuh, apalagi secara sadar dan sengaja menghafal liriknya, tapi kok malah bisa hafal juga? Dari mulai intro, reff, jeda, outro, melodi, musik, bahkan sampai selesai! Bukan hanya saya, tapi juga beberapa teman pun mengalami hal yang sama ketika kami berkumpul bersama. Makanya, kami nggak pernah jaim untuk nyanyi bersama-sama ketika mendengar lagu yang mendayu-dayu, yang bagi sebagian orang, katanya nggak keren, alay, dan cupu itu.
Pasalnya, lagu itu soal selera. Dan selera itu tidak perlu diperdebatkan. Seperti kata peribahasa latin, de gustibus non est disputandum. Jadi, nggak usahlah sok paling indie, apalagi menjelek-jelekan suatu aliran musik—beserta musisinya.
Karena ketidaktahuan tersebut, saya merasa perlu menelusuri secara mandiri alasan mengapa beberapa lirik lagu dari suatu band atau musisi bisa dengan mudah kita ingat meski tidak didengar secara sengaja dan dihafal dengan penuh kesadaran. Saya pikir, setelah saya riset secara mandiri, alasannya karena beberapa hal seperti berikut ini:
Pertama, lagu tersebut diputar terus-menerus di mana pun, kapan pun. Ketika sedang bepergian menggunakan transportasi umum, ke pusat perbelanjaan, menonton sinetron, mendengarkan radio, bahkan pengamen pun juga turut menyanyikan lagu yang sama. Akhirnya kita jadi hafal betul nada, musik, bahkan lirik lagu dengan sendirinya. Belum lagi beberapa teman yang juga menyanyikan lagunya ketika bekerja atau sedang berkumpul. Gimana kita nggak otomatis hafal coba?
Kedua, liriknya memiliki kesan tersendiri bagi si pendengar. Entah pernah memiliki pengalaman yang sama dengan lirik lagu, atau hanya sekadar jengkel aja sama liriknya. Sampai kita mangkel sendiri dan bilang, “Ini apa banget sih maksud liriknya?” Semakin mangkel dan semakin banyak diperbincangkan oleh orang di sekitar, secara nggak sadar ya akan keingetan terus. Makanya, pelan-pelan kita jadi hafal liriknya. Itu kenapa, daripada denial dan membenci suatu aliran musik, lebih baik lemesin aja, santai. Nggak perlu memperdebatkan selera musik antara yang satu dengan lainnya.
Lagipula, nggak ada ruginya kok kalau kita hafal lirik lagu dari band yang kurang sesuai dengan selera musik kita. Kita boleh jadi nggak selera dengan suatu aliran musik, tapi teman yang lain pasti ada yang suka. Oleh karena itu, coba deh, saling menghargai selera musik satu sama lain. Nyanyi sambil seru-seruan bareng lebih seru dibanding saling mencela selera. Dan soal selera, bagi saya semuanya sama, yang bikin ribet itu manusianya.
BACA JUGA Soal Selera Musik, Kita Adalah Korban Dikotomi Media atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.