Saya warga asli pekalongan. Saya punya hobi nonton film di bioskop, sebuah hobi yang sebenarnya merepotkan bagi warga Pekalongan. Bagaimana tidak merepotkan film yang diputar di bioskop Pekalongan tidak selengkap kota-kota lain.
Iya, saya bisa berlangganan platform streaming film berbayar seperti Netflix, Prime Video, atau aplikasi layanan berbayar lainnya. Toh jaringan internet di Pekalongan sudah mantap. Hanya saja saya merasa kurang mantap menonton film di layar sekecil ponsel, laptop, atau televisi.
Hobi nonton film, tapi judul dan jam tayang terbatas
Bukannya tidak punya bioskop, Kota Batik yang terletak di sisi utara Pulau Jawa itu memiliki dua bioskop. Keduanya masuk dalam jaringan XXI yakni Cinema XXI dan Transmart Pekalongan XXI. Hari saat saya menulis artikel ini, hanya ada tiga film yang diputar di dua bioskop itu. Iya tiga film saja se-Pekalongan.
Tiga film yang saya maksud antara lain “172 Days”, “Panggonan Wingit”, dan “Jatuh Cinta Seperti di Film-film”. Saya kebetulan memang ingin menonton film yang terakhir. Sayangnya film besutan Yandy Laurens itu hanya tayang di satu jam doang. Itupun di jam “nanggung”.
Saya memahami pasar Pekalongan memang kurang memikat untuk industri film. Warga lebih menyukai dangdutan, sinetron, dan debat politik yang ditayangkan di televisi dan YouTube. Saya maklum-maklum saja kalau pilihan film yang ditayangkan jadi kurang beragam. Namun, kalau pilihan filmnya tidak bisa beragam, mbok ya waktu tayangnya bolehlah diperbanyak. Jangan cuma satu doang!
Minimnya opsi film ini sebenarnya juga tidak baik-baik saja buat saya pribadi. Secara tidak langsung, saya dipaksa untuk menonton film yang sebenarnya tidak benar-benar ingin saya tonton. Lebih tepatnya saya dipaksa menonton film yang warga Pekalongan sukai. Mengingat film yang dapat jatah layar adalah film yang punya pasar. Awalnya saya kurang memahami film-film seperti apa yang menjadi selera warga. Saya kemudian mencermati, film horor yang selalu di hati warga Pekalongan.
CGV dan Cinepolis masuklah Pekalongan
Sedikitnya pilihan film yang ditawarkan di Pekalongan salah satunya karena hanya ada satu jaringan bioskop di Pekalongan. Coba kalau jaringan bioskop lain masuk ke sini, pasti pilihan filmnya akan semakin beragam. Mengingat, banyak film yang penayangannya hanya melalui CGV atau Cinepolis saja.
Sembari menulis ini saya perlahan menyadari kalau Pekalongan lebih tertinggal dibanding Tegal perkara bioskop. Bayangkan, di kota bekas karesidenan itu ada ada beberapa jaringan bioskop. Mulai dari Gajah Mada Cinema juga ada Cinepolis dan CGV.
Menurut saya, CGV dan Cinepolis harus mulai membuka outlet di Pekalongan. Jadi supaya distribusi film tidak hanya dimonopoli oleh XXI. Perkara tempat, nggak usah khawatir. Jika nggak bisa masuk ke salah satu departemen store yang ada, bisa kok minta dibuatkan gedung sendiri. Wong outlet makanan cepat saji MCDonald’s saja bisa buka dengan kilat di Pekalongan.
Berbagai kondisi di atas membuat saya menyadari, sulit juga punya hobi nonton film di Pekalongan. Apalagi kalau lebih senang menonton film di layar yang besar seperti layar bioskop, makin repotlah. Kalau memang ingin menonton di bioskop dengan pilihan film yang beragam, perlu ke Tegal yang berjarak hampir 80 km atau lebih dari satu jam berkendara.
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Alasan Saya Nggak Butuh Kehadiran Bioskop
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.