Barangkali nama Pulau Moa masih terdengar asing bagi sebagian besar orang. Bahkan mungkin mengetahui keberadaannya pun tidak, sebab ukurannya terlalu mungil untuk dimunculkan pada peta Indonesia. Bisa dibilang Pulau Moa yang terletak di Provinsi Maluku ini tergolong pulau terluar di Indonesia, tepatnya di sisi selatan. Jika terus menelusur ke selatan, daratan yang kita jumpai selanjutnya sudah merupakan bagian benua Australia.
Tinggal di pulau 3T semacam Pulau Moa nyatanya memang nggak mudah, lho. Setidaknya berikut nestapa yang harus kita rasakan jika tinggal di sana:
Daftar Isi
Rasanya sangat terisolir
Sangat tak bisa terbantahkan bahwa terisolasi adalah konsekuensi nyata yang harus kita terima saat tinggal di pulau 3T. Mau ke mana-mana rasanya jauh banget. Untuk ke Moa waktu itu, saya perlu berlayar sekitar 4 hari menggunakan KM Pangrango dari Pelabuhan Ambon. Itu pun masih sempat ada drama pembatalan jadwal hingga beberapa hari akibat cuaca buruk.
Sebenarnya masih ada opsi yang lebih cepat, yaitu menggunakan kapal cepat (speed) dan pesawat. Namun, kapal cepat terasa terlalu ekstrem bagi saya dan teman-teman yang baru pertama kali berlayar sejauh itu. Takutnya mabuk laut kami akan semakin parah. Lagi pula kalau naik kapal cepat, kami jadi nggak bisa singgah ke Pulau Banda dan Yamdena. Sedangkan kalau naik pesawat, harga tiketnya mahal, apalagi untuk pergi berombongan.
Tiba di Pulau Moa, ternyata perasaan terisolasi itu masih menggelayuti. Desa-desa di sana memiliki model yang terpusat setempat-setempat yang dipisahkan oleh sabana luas. Jarak antardesa terasa jauh banget. Keberadaan transportasi publik masih sangat minim, sedangkan nggak semua warga punya kendaraan bermotor. Namun menurut penduduk setempat, keadaan saat saya tiba sudah cukup membaik karena ada bis sekolah. Minimal anak-anak bisa bersekolah di pusat kabupaten dengan lebih mudah.
Jalan bebatuan masih mendominasi
Pulau Moa pernah masuk pemberitaan karena jalanan aspalnya yang mulus. Mengingat statusnya sebagai pulau 3T, tentu saja hal ini sangat menakjubkan. Namun setibanya saya di sana, nyatanya jalan aspal itu belum sampai menjangkau ke desa-desa. Untuk masuk ke permukiman warga, kita masih perlu melewati jalanan berbatu yang membelah padang sabana.
Kondisi jalanan yang bergeronjal ini bikin ban kendaraan rawan bocor. Sialnya, nggak ada apa-apa selain kerbau dan kuda yang bisa kita jumpai di padang sabana ini. Lampu penerangan saja nggak ada, lho. Ditambah lagi sebagian besar daerah di Pulau Moa, Provinsi Maluku, ini masih susah sinyal. Jadi, harus benar-benar sabar menunggu ada pengguna jalan lain yang lewat untuk memberi bantuan.
Rawan kekeringan
Curah hujan di Pulau Moa, Provinsi Maluku, tergolong rendah. Oleh sebab itu pulau ini sangat rawan kekeringan saat kemarau panjang. Mengingat pulau ini didominasi oleh wilayah berbatu, hanya segelintir warga yang sanggup memiliki sumur. Sebab, biaya pengeborannya sangat mahal.
Biasanya warga memanfaatkan sumur komunal atau mata air. Perlu perjuangan besar untuk sekadar menimba air. Jarak yang ditempuh pun nggak dekat. Masih diperparah dengan beban air yang harus dibawa, jalanan yang buruk rupa, dan terik matahari yang menyengat.
Saat kemarau panjang, pulau ini sangat rawan mengalami kelangkaan air. Nggak jarang bencana ini menimbulkan kematian massal kerbau yang diternak secara tradisional oleh warga setempat. Saking seringnya mengalami kekeringan, kerbau lokal Moa sudah beradaptasi sehingga punya perilaku yang berbeda dari kerbau pada umumnya. Hal ini membuat kerbau Moa lebih survive untuk hidup di habitat minim air.
Harga bahan pokok cenderung fluktuatif
Penduduk Pulau Moa benar-benar tergantung pada suplai barang dari daratan besar di sekitarnya. Tanah dan karakteristik iklim di pulau ini memang nggak memungkinkan untuk bercocok tanam. Jika kapal yang mengangkut kebutuhan pokok dan bahan bakar nggak bisa sampai tepat waktu karena cuaca buruk, harga barang-barang akan melonjak.
Akan tetapi menurut penduduk setempat, kondisi saat ini sudah lebih baik sejak adanya tol laut. Berkat tol laut, pasokan logistik ke Pulau Moa dan sekitarnya menjadi lebih terjamin. Walaupun tetap nggak semudah kita yang tinggal di kota-kota modern.
Lapangan kerja masih langka
Nggak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia di Pulau Moa, Provinsi Maluku. Penduduk setempat masih banyak yang menjadi penggembala kerbau, nelayan, penenun, dan pengrajin sopi yang penghasilannya nggak terlalu menggembirakan. Jadi guru honorer pun gajinya lebih memprihatinkan. Sedangkan untuk menjadi pegawai negeri perlu tes yang belum tentu semua bisa lolos. Malahan pegawai-pegawai pemerintah di sana kebanyakan adalah pendatang dari luar Pulau Moa.
Oleh sebab itu banyak pemuda dari Pulau Moa yang disekolahkan ke luar pulau untuk mendapat pendidikan yang lebih memadai. Selepas belajar, umumnya mereka menetap di kota-kota lain yang menawarkan kesempatan kerja lebih baik. Jadi, saya kagum sekali dengan anak-anak muda yang rela melepas mimpi hidup nyaman di kota, membangun daerah asalnya yang masih serba terbatas. Tentu nggak mudah membuat keputusan semacam ini,
Terlepas dari segala kekurangannya, tinggal di Pulau Moa masih memiliki sisi positif. Setidaknya kita akan selalu dimanjakan dengan suasana alam yang masih asri, suasana yang damai, pantai yang begitu bersih, dan penduduk yang ramah.
Semoga program pemerataan pembangunan yang digagas pemerintah bisa segera terwujud di pulau-pulau terpencil seperti Pulau Moa yang ada di Provinsi Maluku. Saya sangat yakin daerah-daerah di perbatasan negara kita bisa mengejar ketertinggalan dengan lebih cepat, asalkan dananya nggak dikorupsi sama tikus-tikus berdasi.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kerbau Moa, Varietas Ternak Unggulan dari Pulau Terluar Indonesia.