Setiap orang suka dengan lelucon konyol yang mengundang tawa. Celetukan humor yang menggelitik perut terkadang bisa membuat kita tertawa sampai terpingkal-pingkal bahkan mengeluarkan air mata. Tak jarang juga kita sekedar tertawa ala kadarnya, atau hanya tersenyum tipis. Persamaan dari semua itu adalah kita terhibur. Letak perbedaan ada pada selera. Baik selera yang mendengarkan atau selera yang melontarkan humor.
Lalu bagaimana dengan humor seksis? Berbagai sumber menuliskan humor seksis didefinisikan sebagai humor yang mengandung unsur penghinaan, karena adanya rangkaian kata yang bermaksud merendahkan, mengobjektifikasi, memberikan stereotip, dan memperdaya seseorang berdasarkan gendernya. Pasti kita pernah mendengarnya dari lingkungan sekitar. Entah sebagai orang yang dijadikan objek candaan, entah hanya mendengar, atau bahkan kita tidak sengaja ikut menjadi pelaku humor seksis.
Merasa lucu padahal tidak bermutu
Alih-alih ingin terlihat asyik dan lucu, mereka yang gemar melontarkan humor seksis justru terlihat kurang terpelajar. Humor seksis ini biasanya cukup banyak terdengar di dunia kerja. Bisa antar rekan kerja, oleh atasan, atau bahkan yang bikin mati kutu adalah saat dilontarkan oleh klien.
Sebagai contoh ada cerita di mana saya harus rekonsiliasi di kantor klien dan merasa sangat tidak nyaman mendengar lelucon tak berkelas ini. Seorang karyawan perempuan berkata, “Pak, e-mail-nya belum masuk di saya.” Lalu dijawab sama si bapak-bapak itu, “Masa sih belum masuk? Bantu masukkin, dong”. Dalam ruangan itu memang ada beberapa orang baik laki-laki maupun perempuan. Semakin terasa tidak nyaman ketika dibumbui beberapa tawa dan seruan dari karyawan laki-laki lainnya. “Ciyee..”, “Wah, mancing, nih, kamu…”. Pertanyaannya, di mana letak lucunya obrolan dangkal itu?
Pernah juga ada seorang karyawan laki-laki dengan tingkat jabatan manajer, yang artinya cukup tinggi dan seharusnya terpelajar. Saat sedang berdiskusi mengenai kendala pekerjaan di lahan milik orang, si bapak manajer ini membuat lelucon soal status pemilik lahan itu, yaitu status janda. Dalam candaan bodohnya dia melontarkan ide bahwa yang seharusnya berangkat menemui pemilik lahan itu adalah anak buahnya yang laki-laki masih muda, masih gagah, biar lancar urusan di lahan itu. Menyerngit alis ini mendengar ide tak berdasar itu. Tidak pahamkah hati nurani bapak manajer, bahwa janda itu bukan status untuk direndahkan dan dihina seperti itu. Belum lagi humor-humor seksis lainnya di dunia kerja yang cukup sering membuat secangkir kopi panas di tangan ini ingin melayang. Rupanya tidak semua karyawan kantoran bahkan yang menduduki posisi manajer itu terpelajar dalam hal bercanda.
“Yaelah, kan cuma bercanda!”
Bisa dipastikan bahwa mereka yang suka melontarkan humor model begini tidak memikirkan perasaan orang-orang yang dia jadikan objek candaan. Khususnya posisi perempuan. Respon yang ditunjukkan kaum perempuan pun menjadi serba salah. Ketika si perempuan diam, dianggap sah-sah saja dijadikan objek lelucon. Ketika si perempuan tersenyum getir, dianggap suka dengan leluconnya. Ketika si perempuan membalas dengan pernyataan atau pertanyaan yang menunjukkan dia tak nyaman dengan candaan ini malah dijawab, “Yaelah, kan cuma bercanda!”
Kalimat pembelaan dengan dalih bercanda lebih spontan terucap oleh pelaku humor seksis dibandingkan kalimat meminta maaf. Seperti sudah menjadi templat bahwa lelucon ini wajar untuk dinormalisasi, bahwa humor seksis itu sah diucapkan kepada perempuan.
Sudah saatnya “cuma bercanda” tidak dijadikan tumbal untuk membela diri. Jika mengetahui dirinya salah ya minta maaflah, walaupun mungkin di awal belum tulus, masih terlihat gengsi, tapi setidaknya sudah minta maaf. Itu lebih baik daripada mencari pembelaan diri dengan kalimat, “Yaelah, kan cuma bercanda!”
Jangan mewariskan humor seksis ke generasi mendatang
Kalau diingat-ingat memang humor seksis sudah muncul dari dulu bahkan pada tontonan anak-anak. Waktu itu masih zaman menonton di televisi. Orang tua dan anak-anak yang menonton saat itu pasti tidak aware mengenai adanya humor seksis, humor yang mengajarkan berperilaku kurang sopan, dan menyebabkan anak yang menonton kala itu, “Oh seperti ini dianggap lucu ya”. Beberapa di antara mereka pun tumbuh menjadi orang yang gemar humor seksis.
Sebagai contoh di antaranya kartun Crayon Shinchan, Dexter’s Laboratory, Powerpuff Girls, Scooby Doo, dan banyak kartun lain yang tak disangka ternyata ada humor seksis secara tersirat. Lantas apakah kita rela kalau generasi mendatang kembali membiarkan humor seksis sebagai humor yang normal? Tentu tidak rela, karena ini pembodohan generasi ke arah yang salah.
Berikanlah tontonan yang lebih bermanfaat. Tontonan yang mengajarkan adab dan akhlak, mengajarkan perilaku sosial yang baik, atau tontonan yang menambah wawasan. Biarkan generasi ke depan tumbuh dengan pemahaman bahwa guyonan itu untuk mencairkan suasana, untuk mengakrabkan diri dengan teman, atau untuk menghibur. Bukan mengobjektifikasi pihak lain untuk direndahkan bahkan sampai merasa dilecehkan.
Ajak berhenti, jangan ditoleransi
Mengajak pelaku humor seksis untuk berhenti itu memang tantangan. Bahkan saya sendiri belum bisa lantang dalam menentang. Terkadang karena takut menyinggung padahal kitanya sudah tersinggung, terkadang karena tidak enak dengan orang-orang sekitarnya, terkadang juga karena malas meladeni orang yang sukanya guyonan saru.
Akan tetapi tidak ada salahnya mulai mencoba menghentikan pelan-pelan. Bisa dengan pura-pura tidak dengar, bermuka kecut tanpa tawa sama sekali, bertanya apa maksud perkataan pelaku, lalu pelan-pelan mulai speak-up. Mudah-mudahan mereka mulai tumbuh awareness mengenai adanya pelecehan verbal. Karena ini bukan lagi soal baperan atau mudah tersinggung, ini adalah tentang pahamnya seorang manusia tentang menempatkan diri dan tau batas bercanda.
Bukankah semua perkataan nantinya akan dipertanggungjawabkan?
Penulis: Pratita Saraswati
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Keanuagl Nggak Lucu? Humor Emang Ribet, Ini Penjelasan Nggak Lucunya