Black market, sepatu murah, hape di bawah pasaran, adalah hal-hal yang lekat dengan Batam. Sebagai akamsi, saya sebetulnya kurang sepakat dengan stereotipe tersebut. Tapi, semua sudah kadung melekat, dan makin hari, makin menyebalkan menjawab pertanyaan terkait hal itu.
Tiap kali mengenalkan diri sebagai orang Batam, yang dibicarakan selalu hal itu-itu saja. Kadang saya heran, apakah memang selekat itu stereotipenya, atau memang orang-orang saja yang buta sama daerah-daerah di negara ini. Kayak ya udah nggak lagi bicarain sesuatu yang khas, tapi malah mirip kayak tape rusak: ngulang-ngulang hal itu doang.
Saya lelah dengan obrolan jastip hape, elektronik murah, betapa mengerikannya black market. Kek, Batam tuh isinya pasar gelap dan rumah warga. Dah, itu tok. Padahal selayaknya daerah pada umumnya, Batam tuh ya samaaa.
Kota ini nggak se-uwaw yang kalian pikir. Nggak segitu menyeramkan, nggak maju-maju banget. Ya kayak kota pada umumnya lah. Saya beli hape ya harganya nggak beda-beda amat sama yang di Jawa. Beda harganya ya di perkara ongkir aja.
Jadi jangan bayangin Batam itu ajaib, nggak juga, biasa aja.
Selain itu, karena lokasinya yang deket Singapura, bikin orang luar Batam merasa bahwa warlok situ kalau main ke Singapura. Kalau belum pernah ke SG, dianggap cupu. Alamak. Apa lagi ini?
Sekarang sa coba tanya, ada nggak orang Jogja yang belum pernah main ke Solo? Atau, ada nggak orang Cilacap yang belum pernah ke Nusakambangan? Ya pastinya ada, mungkin banyak. Nah, akamsi Batam ya kek gitu. Nggak semua main ke SG, kan butuh paspor juga. Kalau nggak ada tujuan, masak ya bengong doang? Dikira main ke SG kayak main ke Embung Tambakboyo.
Jadi lupakan hal-hal ajaib tentang Batam di kepala kalian. Kota ini sama dengan kota lain. Saya tak perlu panjang berbusa menjelaskan, harusnya penjelasan ini cukup lah ya membuka pengetahuan kalian.
Kalau masih nggak paham, ya gimana ya…
Penulis: Alfrino Jodi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gambaran Orang-orang tentang Pulau Batam yang Kadang Tak Sesuai Realita