Buku ini bacaan yang lebih mirip seperti monumen. Ia merekam 20 tahun gerakan sosial-politik dan ekonomi Indonesia. Juga meneropong jauh ambisi negara ini hingga tahun 2045 dalam kondisi lari kencang—namun pincang. Inilah buku “Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita” karya Jafar Suryomenggolo.
Sejatinya, ketika seseorang datang membawa setumpuk masalah dan kemudian mengajarkannya dengan cara bercerita, si pendengar akan suntuk atau ngantuk. Atau minimal akan mengeluarkan jawaban begini, “Aku juga sudah punya banyak masalah. Jangan ditambahin, dong!”
Faktanya, memang begitu yang buku Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita hadirkan; masalah-masalah yang menumpuk dan apa-apa yang harus diceritakan. Bedanya, ketika membaca buku ini, kita dihadapi sebuah masalah kolektif yang dialami oleh banyak manusia di Indonesia—atau lebih-lebih manusia modern yang hidup di dunia pada abad ke-21.
Jafar Suryomenggolo, dalam buku ini, menurut pendapat saya pribadi tidak membawakan tulisan-tulisannya sebagaimana khas dia menulis. Dalam bukunya yang berjudul Kiri Asia Tenggara (2021) misalnya, Jafar menulis dengan lugas dan gamblang—dan memang cocok dijadikan buku saku bagi para mahasiswa atau para peminat bacaan kiri. Sedang Rezim Kerja Keras nampak lebih luwes dan membumi dengan kata-kata yang bisa diserap oleh siapa pun tanpa terkecuali.
Membaca buku ini, rasanya seperti mendengarkan Jafar berceloteh tentang apa yang salah, apa yang harus dibenarkan, dan apa realitas yang terkesan acak dalam dunia kerja di Indonesia. Saya, pembaca yang sanggup menuntaskan kurang dari 24 jam tanpa tercecer makna penting di dalamnya.
Lantas Jafar seperti seorang kawan buruh dan kami habis melakukan pekerjaan belasan jam tanpa jaminan keamanan dan kehidupan layak setelahnya. Dalam jeda istirahat, ia menjelma menjadi seorang kawan yang banyak bercerita masalah ini dan itu dengan cara yang menyenangkan. Semua tertuang dalam buku ini.
Ketika saya sedang mengunyah nasi kucing dengan lahap sebagai bentuk rasa lelah selama bekerja di pabrik, Jafar ada di sana dan menceritakan tentang Dari Burnout hingga Karoshi yang tertuang dalam Bab I: Rezim Kerja Keras. Katanya, para buruh seakan masuk dalam lingkaran setan yang sulit diurai, di mana titik pangkalnya. Dan lingkaran setan itu menghasilkan satu titik berbahaya, yakni kematian pekerja karena kelelahan.
“Dalam politik upah murah, buruh terjebak dalam lingkaran lembur yang tiada henti. Dengan rezim kerja keras, buruh rela melebihi aturan jam kerja yang seharusnya. Umumnya yang menjadi korban adalah buruh muda.”(2022:19).
Ketika saya memikirkan untuk nambah beli nasi kucing atau tidak, Jafar bercerita tentang Utopia Jaminan Pendapatan Dasar yang masih terhimpun dalam bab yang pertama. Jaminan ini dipercaya memberikan banyak sisi positif, namun buku ini memberikan gambaran muram bahwa belum ada negara yang sepenuhnya menerapkan program Jaminan Pendapatan Dasar.
Rasanya tidak hanya ketika jeda makan siang di sebuah angkringan depan pabrik. Membaca buku ini rasanya obrolan berlanjut hingga malam. Di Warmindo kala meneguk kopi murahan agar mengusir kantuk, Jafar menceritakan Bab II: Ogah Jadi Prekariat. Cerita-cerita itu tak pernah membosankan karena hanya beberapa jengkal dari tempat kami ngopi, masalah terjadi begitu dekat.
Jafar membagi realitas yang ada, misalnya bahasan tentang Buruh Kontrak Dilarang Hamil dan Perlindungan Hukum Bagi Buruh Maritim yang seakan menjadi masalah abadi dan tak pernah disentuh oleh pemangku kekuasaan yang lebih tinggi. Ada banyak macam buruh, yang membuat sama—antara buruh kontrak dan buruh tetap—hanyalah sama-sama harus mendapatkan hak dan jaminan kesejahteraan.
Dalam kretek yang kian membara, asap membumbung tebal di langit-langit Warmindo, bahasan menuju kepada Bab III: Membangun Kekuatan. Rasanya tidak hanya kami berdua saja yang terlibat obrolan, namun semua manusia yang berserikat, harus mencerna cerita-cerita Jafar. Kami berkenalan dengan tokoh-tokoh besar dalam dunia kerja, mulai dari Dewi Sartika sampai Sjahrir.
Kami tertawa bersama ketika Jafar berceloteh tentang Menanti Pidato Presiden di Hari Buruh. Baginya, ini bukan hanya tentang menagih janji kampanye selama kontestasi, melainkan tentang apa saja yang didapat presiden selama blusukan ke berbagai penjuru negeri. Hal apa yang didapatkan presiden selama blusukan? Apakah presiden melihat secara jelas pelanggaran perburuhan yang selama ini terjadi?
Buku ini total ada 5 bab. Per bab ada lima sampai tujuh tulisan. Artinya, ada beberapa sub-bab yang tidak saya bahas dan ada dua bab lagi yang tidak bisa saya ceritakan lebih rinci. Dua bab yang merupakan puncak masalah dari manusia modern dalam problematik semboyan “kerja, kerja, kerja”. Yang nampaknya harus kalian baca sendiri dan menciptakan sebuah pengalaman “mengobrol” bersama sang penulis, Bapak Jafar Suryomenggolo.
Sumber gambar: Situs Buku Mojok
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam: Menjelajahi Reportase Beragam Kisah Bersama Cak Rusdi