Beberapa waktu lalu, warga Twitter tengah ramai menanggapi komentar netizen yang kaget dengan anggaran makan 20 ribu sehari untuk satu keluarga. Keluarga tersebut berisi dua orang dewasa dan satu anak-anak. Banyak yang menganggap si netizen ini tidak tahu bahwa taraf kehidupan perekonomian di Indonesia memang belum merata. Lantas, ia yang mungkin hidup berkecukupan dari kecil jadi kaget dengan fenomena tersebut.
Sebetulnya itu wajar. Pasalnya, dulu teman-teman saya juga syok saat saya cerita bahwa satu butir telur dapat diolah ibu saya untuk jadi lauk enam orang. Orang nggak punya biasanya memang kreatif. Mereka nggak pernah kehilangan ide untuk mencukupi kebutuhan di tengah segala keterbatasan. Untuk mencukupi gizi anaknya, sebutir telur itu diparutkan kelapa muda oleh ibu saja. Maka, jadilah ia lauk untuk orang serumah.
Teman-teman saya yang dari kota juga heran ketika di rumah kami tidak ada minyak goreng. Pasalnya, untuk membuat minyak goreng, kami harus memarut kelapa dan mengaduk santan tersebut berjam-jam. Perasaan heran ini menurut saya wajar. Namun, keheranan yang dilakukan oleh netizen di atas kesannya justru meremehkan bahwa anggaran kebutuhan tersebut seolah memang dipaksakan dan dibuat-buat.
Berangkat dari “masalah” itu, lahirlah cuitan baru yang menyinggung netizen yang kagetan tersebut sebagai generasi “gofad gofud” dan nggak melek harga kebutuhan pokok. Ini menimbulkan perdebatan baru karena dianggap menyinggung manusia yang hobi beli makanan online. Seolah, orang yang suka beli makanan secara online nggak peka dengan isu kenaikan harga pokok.
Sebagai pelanggan GoFood, ShopeFood, dan GrabFood, saya jadi merasa bersalah. Apalagi, banyak komentar yang muncul justru saling beradu nasib. Ada yang bilang, meski ia punya uang tapi tetap masak. Ada yang bilang, meski bekerja tapi ia tetap menyempatkan masak. Banyak yang berpendapat bahwa masak itu lebih murah dan higienis. Pun masak adalah skill dasar yang perlu dimiliki setiap orang. Ya, saya setuju dengan itu.
Namun, di dunia nyata, komentar soal hobi GoFood ini terdengar lebih sadis. Ada yang bilang, gara-gara saya malas masak, saya gagal jadi perempuan dan istri yang baik. Gara-gara saya sering order GoFood, saya dibilang boros dan menghambur-hamburkan uang. Padahal, daripada mengkritik, kenapa nggak menanyakan apa yang melatar belakangi orang berlaku konsumtif dengan order makanan online terus menerus?
Semenjak pindah ke Jogja, saya memang jadi rajin GoFood setiap hari. Hal ini karena setiap harinya saya tinggal di warung yang tempatnya terbatas. Di bagian belakang hanya cukup untuk satu kamar, jadi tidak memungkinkan buat menaruh kulkas ataupun kompor gas karena banyak dagangan kartonan di belakang. Saya punya kompor listrik, tapi biasanya hanya saya gunakan untuk bikin mi instan.
Ketika saya beli makanan secara online, saya sudah mempertimbangkan segalanya. Beli makanan online begini bukan berarti saya sok kaya atau saya pengin makan yang sok mewah gitu. Bukan. Saya juga bukan nggak bisa masak, bisa kok. Tapi memang waktu dan tempatnya aja yang nggak ada.
Saya dari pagi sampai malam sibuk di warung. Jadi, buat keluar cari makan itu juga agak ribet karena saya belum punya “pemain pengganti” yang bisa gantiin jaga warung. Order makanan via online ini menurut saya cukup membantu, terlebih di daerah saya yang warung makannya cukup terbatas dan pilihan makanannya juga itu-itu saja.
Bagi yang dalam satu keluarga jumlah anggotanya banyak, tentu order makanan seperti ini jadinya boros. Namun, buat saya yang hanya tinggal berdua degan suami, ini justru lebih irit daripada masak. Pasalnya, selera makanan kami berdua memang berbeda. Dia suka manis, saya suka padas. Dia suka yang bersantan, saya suka tumis. Jadi, kalau masak, biasanya saya justru bikin dua menu. Oleh karena itu, suami menyarankan saya untuk nggak usah memasak, mending beli saja.
Dulu saya juga orang yang berpikir kalau jajan itu sesuatu yang boros. Hingga saya kemudian sadar bahwa dalam “jajan” saya itu mungkin ada rezeki orang lain. Mungkin terlalu berlebihan, tapi saya sering sekali ketemu driver yang begitu bahagia sekali tiap dapat orderan. Tak sedikit juga yang curhat kalau dari pagi mereka belum mendapat orderan sama sekali, padahal ada anak istri di rumah yang berharap suami atau bapaknya pulang dengan membawa uang.
Satu hal lagi, sebelum saya memesan makanan biasanya saya sudah memantau warung makanan yang saya pesan. Jadi, saya sudah hafal menu apa saja dan bagaimana kondisi warungnya. Teman saya juga banyak yang berjualan makanan di aplikasi untuk menunjang perekonomian keluarga.
Saat ini mungkin uang saya memang belum banyak. Hanya saja, nggak ada salahnya untuk meringankan beban orang lain dengan cara meringankan beban saya sendiri. Saya yang malas masak dan harus standby di warung tentu sangat terbantu, drivernya terbantu, dan pemilik warung makannya juga terbantu. Lalu apa yang salah?
Saya ingat pesan psikolog saya ketika saya merasa tertekan dengan rasa bersalah karena jarang masak, “Kamu bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kamu bisa sekolah lagi. Kamu bisa bekerja sambil menjalankan usaha. Tapi ingat, kamu tak bisa melakukan semua peran itu dalam satu waktu. Jadi, nggak apa-apa.”
Penulis: Reni Soengkunie
Editor: Audian Laili