Sistem rank atau tier yang digunakan oleh banyak gim online populer macam Mobile Legends, mampu merangsang jiwa kompetitif seseorang untuk berusaha sebisa mungkin dapat mendaki bukit tantangan tersebut. Memang, bermain video game masih menjadi aktivitas sampingan selepas sekolah atau bekerja. Akan tetapi, tentu mendapat layar “Defeat” di layar handphone-mu bukanlah suatu pengalaman yang dapat dikatakan menyenangkan. Ya to? Maka, untuk menghindari hal tersebut sekaligus mencegah stress tambahan, meningkatkan skill merupakan suatu kegiatan yang, disadari atau tidak, sedang dilakukan.
Tentu, sebenarnya, tidak ada keharusan bagi seseorang untuk jago—mendekati level pro player. Orang datang kepada suatu video game bisa dengan tujuan apapun, meraih Mythical Glory atau sekadar haha-hehe bersama teman satu tongkrongan. Tidak semua orang bertujuan untuk menjadi pro player. Maka nggak perlu ngambek kalau ada teman tongkronganmu yang jadi beban kalau main gim. Mungkin dia nggak merasa perlu jadi jago karena sekadar bisa haha-hehe sekalian numpang push rank sudah cukup baginya.
Nah, yang menarik, terdapat golongan yang, sebaliknya: pengen jadi jago, main game siang-malam, tapi rank-nya mandeg di situ-situ aja. Saya sendiri punya teman yang sudah menginjak puluhan ribu match di Mobile Legends tapi nggak pernah bisa tembus Epic. Berkebalikan dengan saya, yang install, main semau saya, tapi bisa sampai Mythic, lalu uninstall. Apakah menjadi “jago” dalam video game berkaitan dengan bakat? Apakah menjadi “jago” dalam video game butuh lebih dari puluhan ribu jam pertandingan?
Menjadi jago untuk mencapai rank yang diinginkan, sebenarnya, dapat dilakukan secara cerdas. Artinya, kamu dapat meningkatkan skillmu secara signifikan tanpa perlu khawatir menyedot waktumu beraktivitas di dunia nyata. Skill bukanlah sesuatu yang bisa diukur menggunakan jam terbang seperti pilot. Akan tetapi, faktanya, terdapat orang yang pengen jadi jago dengan bermain secara membabi buta. Maka nggak heran jika orang-orang demikian itu dianggap nolep, madesu, dan kecanduan kronis.
Jika kamu sudah merasa ada di titik tersebut, saya cuma bisa menyarankan dua pilihan. Pertama, ikuti petunjuk Mas Affan Hasby Winnurahman tentang “3 Tips Jitu Mengatasi Kecanduan Game Online“. Sebab, jika kamu berada pada titik ini, saya melihat aktivitasmu bermain gim sudah nggak sehat. Kedua, kamu bisa mulai mengelola aktivitas bermain gim dengan lebih rapi, sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, misimu menjadi jago tidak selalu berarti kamu harus bermain game seharian penuh. Bagaimana caranya?
#1 Atur target sesuai batas kemampuan pribadi
Kita langsung to the point saja. Alasan kenapa kamu nggak jago-jago adalah karena kamu tidak mawas diri. Memang hal ini agak tricky, konten-konten pro player dan streamer di media sosial memang mendorongmu untuk nge-halu: jadi pro player itu gampang dan dekat sekali. Padahal kenyataannya, tidak seperti itu.
Para pro player, bermain di ekosistem yang jauh berbeda dari kebanyakan kita-kita. Mereka bermain, berkompetisi, dan dibayar karena mereka memang didesain sebagai atlet. Jangan terjebak ilusi, “Wah, RRQ Lemon main gim 10 jam sehari. Ternyata begitu cara jadi pro player.” Yep, RRQ Lemon main gim 10 jam sehari sambil diawasi pelatih, staff yang bertugas menganalisis performanya, dan punya target jelas sebagai tim: juara. Lha kamu? 10 jam main gim per hari belum tentu membawamu ke skena pro player.
Maka dari itu, pasang target yang realistis saja, sesuai dengan kemampuan dan waktu yang bisa kamu sisihkan. Tidak perlu muluk-muluk dengan jadi Top Global atau Mythical Glory dengan poin ribuan, target itu berlebihan kalau memang pekerjaanmu bukan penjoki. Cukup sampai Mythic V, misalnya, atau naik ke Legend, terus udah. Naikkan target ini sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu. Nah, dijamin misimu menjadi jago nggak akan makan banyak menyita waktumu di dunia nyata.
#2 Mengasah pemahaman lebih efisien daripada melatih kecepatan jempol
Di media sosial, banyak konten-konten yang mendewakan skill “mekanik” di atas segalanya. Seolah-olah kecepatan jempol adalah ukuran jago yang paling mutlak. Hasilnya, karena terlalu mendewakan hal tersebut, banyak orang yang bermain sampai ratusan bahkan ribuan match hanya untuk jadi fast hand dengan satu hero. Dicatat ya! Satu hero doang.
Meski, cara tersebut menjamin kamu jadi jago, terdapat cara lain yang lebih efisien untuk mencapai hal itu. Yak, dengan membaca. Mobile Legends cukup detail dalam mendeskripsikan skill-skill hero dan kamu bisa menerka potensinya hanya dari situ. Kalau kamu sudah paham teorinya lalu menjajal sebentar di VS A.I atau Classic, kamu nggak perlu waktu lama kok untuk menguasai satu hero lalu kamu bisa pindah ke hero lain.
Ya, saya tahu nggak semua orang puas dengan metode latihan beginian. Apalagi kalau malas membaca dan ogah mikir jero karena “cuma” video gim. Tapi, daripada kecanduan dan malah membuat waktu bermain gim jadi membengkak tidak teratur, ada baiknya kamu mulai mencoba untuk memperdalam pemahamanmu terlebih dahulu.
#3 Memperkuat kelebihan lebih efektif
Daripada memperbaiki kekurangan, mengasah kelebihanmu jauh lebih efektif. Misalnya, kamu jago membaca map sehingga kamu nggak gampang terkena ganking. Nah, ketimbang kamu pusing mikirin bagaimana cara biar nggak mati andaikata dikeroyok ramai-ramai, lebih efektif untuk melatih lebih lanjut kemampuanmu dalam membaca map.
Ingat kelebihan itu muncul karena kamu sudah terbiasa dalam situasi tersebut, sementara kekurangan itu ada karena sebaliknya. Memperbaiki kekurangan berarti kamu harus mengasah skill baru dan hal itu cenderung butuh waktu yang lebih lama. Hal ini berpengaruh pada alokasi waktumu untuk bermain Mobile Legends.
Banyak orang yang terjebak pada keharusan untuk jadi sempurna, kuat di segala lini dan situasi. Hal ini yang menjadi jebakan mengapa orang bisa bermain video gim semalam suntuk. Padahal kamu bisa jago di satu-dua aspek saja dan itu sudah cukup untuk mencapai targetmu.
#4 Sabar
Bagi kamu yang cukup awam, gim online kompetitif mengenal istilah “skill ceiling” yang biasa digunakan oleh para analis esports. Istilah ini merujuk pada batasan atau level kemampuan seorang pemain gim. Kemampuan seseorang dapat diukur ke dalam berbagai kategori level, misal level 1, level 2, kayak bon cabe.
Mudahnya, skill ceiling di Mobile Legends dapat dikategorikan sebagai berikut. Level 1 untuk rank Grandmaster, level 2 untuk rank Epic, level 3 untuk rank Legend, dan level 4 untuk rank Mythic, level 5 untuk Mythical Glory. Meski sebenarnya skill ceiling lebih kompleks daripada sebatas rank, tapi untuk memudahkan pemahamanmu, anggap saja seperti di atas ya.
Skill ceiling tersebut menggambarkan “syarat-syarat” untuk naik level. Misalnya dari level 1 ke level 2, kamu harus memahami dasar-dasar gim tersebut. Nah, mengingat satu orang dengan orang lainnya punya kapasitas yang berbeda-beda, makanya ada orang yang naik level dengan cepat ada orang yang sedikit terlambat. Itu wajar kok. Bisa jadi kamu yang lambat dari level 1 ke level 2 malah lebih cepat untuk naik ke level 3, atau sebaliknya, orang yang ngebut sebelumnya, malah cenderung lambat untuk naik ke level selanjutnya.
Saya punya cerita yang cukup inspiratif tentang hal ini. Dahulu, seorang teman saya minta diajari main Valorant. Dan saya bener-bener mengajari dia dari dasar, mulai dari membidik, menghafal map dan set skill para agent, sampai mengatur sensitivitas tetikus yang enak. Anggaplah dulu dia itu Level 1 aja belum, sementara saya sudah Level 3. Sekarang, saya masih level 3, dan teman saya itu udah masuk skena semi-profesional, berkompetisi bersama tim kampusnya.
Kamu perlu sadar bahwa perkembangan seseorang beda satu sama lain. Jadi kamu nggak perlu ngotot untuk mengejar level teman-temanmu yang udah Mythic, dan kamu nggak perlu khawatir kalau disalip sama yang lain. Memang hal ini cukup sulit karena di circle pertemanan, iri lihat pencapaian teman adalah sesuatu keniscayaan. Hal ini yang jadi motif utama untuk kejar setoran ranked dari pagi sampai pagi. Maka kamu harus ingat pada tips pertama, ingat-ingat kembali targetmu.
Semoga kamu bisa menjadi “jago” tanpa perlu mengorbankan hal lain yang lebih penting ya.
Penulis: Nurfathi Robi
Editor: Rizky Prasetya