Bagi saya isu match fixing itu seperti cerita hantu; kadang memang nyata, sisanya hanya kita yang terlalu berlebihan. Seperti gelaran sepak bola Indonesia, hal-hal yang kontroversial selalu dikaitkan dengan isu match fixing. Hal tersebut sebenarnya bukan hal baru. Hanya saja, kini makin santer dengan adanya media sosial yang menjadi wadah rasan-rasan.
Yang perlu diketahui, match fixing itu tidak bisa dibuktikan atas dasar curiga saja. Perlu investigasi. Dan sangat tidak elok apabila setiap keputusan-keputusan atau kejadian “yang dianggap janggal” selalu dikaitkan dengan isu mafia, yang bagi saya merusak kenikmatan menonton sepak bola.
Rasa curiga itu juga wajar. Seperti ketika pacaran, rasa curiga tersebut bisa diartikan merupakan tanda sayang. Selebihnya, jika berlebihan akan merusak kenikmatan, bukan?
Satu contoh paling anyar datang dari gelaran Liga 2 babak 8 besar yang mempertemukan Persis Solo vs Sriwijaya FC. Selama pertandingan berlangsung, laga ini dihujani banyak keputusan wasit yang dianggap kontroversial, sekaligus memicu rasan-rasan di jagat maya.
Salah dua-nya adalah dua penalti yang dihadiahkan untuk Persis—yang memang cukup debat-able—baik penalti pertama yang tidak begitu jelas handball atau tidak, serta penalti kedua yang bagi sebagian kalangan menganggap Ferdinan Sinaga sengaja melakukan diving.
Tak kalah menarik adalah reaksi dari Sriwijaya FC yang sempat ingin melakukan WO. Nil Maizar pelatih Sriwijaya FC sempat masuk ke lorong Pakansari, sementara para pemain Sriwijaya FC menepi di lapangan.
Bukan hanya itu, yang paling kontroversial dari laga ini tentu datang di penalti kedua Persis, kala Beto gagal mengeksekusi penalti. Lantas karena dianggap terjadi pelanggaran ketika penalti, wasit mengulang tendangan penalti, dan menggantinya dengan tendangan bebas tidak langsung. Penonton terheran-heran, sementara dua komentator di balik layar malah terkekeh. Ini adalah sorot utama laga ini.
Momen ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan Law 14 FIFA, mengapa penalti dapat diganti oleh tendangan bebas tidak langsung. Dan itu terjadi, jika “pemain yang melakukan tendangan penalti atau rekan setimnya melakukan pelanggaran”, dengan catatan ”bola tidak masuk gawang”.
Sumber foto: Vidio.com
Nah, pertanyaannya, adakah dari gambar ini pemain Persis yang melakukan pelanggaran dengan tidak berdiri di luar kotak penalti sebelum bola dieksekusi? Jika dari gambar tersebut tampak ada, keputusan wasit cukup benar.
Sementara sebagian berpendapat, penalti tersebut diulang dan diganti, lantaran Rizky Darmawan, kiper Sriwijaya dianggap melakukan pelanggaran dengan maju terlebih dahulu sebelum bola dieksekusi. Yang menurut Law 14 FIFA, jika pelanggaran penjaga gawang jelas berdampak pada penendang, seharusnya penalti dapat diulang (penalti). Memang, untuk mengatakan apakah pergerakan Rizky cukup menanggu Beto cukup sulit dianalisis. Sementara, bola melambung jauh ke langit Cibinong malam itu.
Tapi, Law 14 FIFA mengatakan bahwa “penjaga gawang yang bertahan harus memiliki setidaknya sebagian dari satu kaki menyentuh, atau sejajar dengan, garis gawang”. Jika dilihat dari gambar ini, nampak satu kaki Rizky terlihat masih nyantol di garis gawang. Lantas, bagaimana? Kalian ada yang mau membantu jawab?
Sumber foto: Vidio.com
Terlepas apakah keputusan wasit bisa dibenarkan atu tidak, yang jelas tidak serta merta semua keputusan wasit dipaido. Untuk itu, wasit semestinya menunjukan ketegasan bahwa keputusannya memang benar, serta tidak nampak eca-eco” dan gampang dipaido.
Kalau pun keputusan salah, seharusnya komentator setidaknya mampu menjelaskan situasi di lapangan kepada khalayak. Kalau bisa, ketimbang menghafal nama-nama kota di Indonesia, mending menghafal aturan-aturan FIFA saja, deh. Ya, kendati aturannya setumpuk untuk dihafal, tapi bagaimanapun itu memang seharusnya menjadi tugas mereka. Alih-alih hanya menambah rasa curiga khalayak.
Oh, ya, balik lagi ke dua penalti kontroversial Persis Solo yang nyaris membuat pihak Sriwijaya ngambek. Ini juga membuat penonton gusar, lantaran terbawa rasa curiga, seolah-olah memang sepak bola kita tidak bersih, sampai-sampai tim di lapangan juga tidak percaya. Saya, sih, sedikitnya setuju, tapi bagi saya, tidak semua hal yang indikasi-nya begitu selalu begitu. Bisa juga begini.
Dan salah satu solusi paling mudah dari semua masalah yang ruwet ini, sebenarnya: sepak bola kita sangat butuh VAR, alih-alih memajang orang dengan rompi Satgas Anti Mafia. Walaupun, alasannya selalu terkendala pada biaya yang mahal. Tapi, ya, gimana lagi, ini sudah urgent, dan sudah sulit rasanya hari ini menikmati sepak bola Indonesia tanpa rasa curiga.
Sumber Gambar: Pixabay
Editor: Rizky Prasetya