Sebagai pesohor, nggak afdol memang kalau ada keributan di Twitter diem-diem bae. Musti, kudu, harus, perlu speak up karena ada akun yang harus dipelihara eksistensinya. Meski opini yang dibawa dalam speak up tersebut jelek, buat yang bersangkutan nggak masalah. Yang penting e-k-s-i-s.
Twit dari komika Uus belakangan contohnya. “Keren emang yang speak up tapi ga pernah keluar rumah. Pfff.” Nyusahin otak netizen yang baca. Apa hubungannya speak up sama keluar rumah? Jaka Sembung bawa goblok, kata netizen.
Udah gitu yang dibilang nggak pernah keluar rumah sama Uus adalah Sherina yang mantan duta lingkungan hidup, WWF, dan UNICEF. Sherina mah bukan keluar rumah lagi maennya, keluar masuk hutan malah. Pas nge-tweet salty sama Sherina itu Uus sepertinya nggak tahu. Tapi, hamdalah udah dikasih paham sama netizen, lengkap dengan bukti foto-foto.
Padahal isi tweet Sherina berfaedah loh. “Bagi yang ikuti kasus Canon lalu mengecam Aceh hingga doakan tsunami, saya MENGECAM anda. Jangan asal bicara soal bencana tanpa memikirkan perasaan & trauma bagi yang pernah mengalami. Jangan menyamaratakan kelakuan oknum berseragam dengan satu Aceh. Fokus pada permasalahannya!”
Heran, sih, tweet yang poinnya jelas dan isinya mudah didiskusikan begini malah di-salty-in sama Uus. Salty-nya brekele pula macem ghibah emak-emak tetangga kurang bahagia butuh perhatian.
Ada beberapa maksud tweet Uus. Bisa saja mengkritik Sherina ngomong doang tanpa aksi nyata, bisa juga mau bilang percuma koar-koar di Twitter tanpa turun lapangan, atau menganggap tak tahu apa-apa karena anak rumahan. Persepsi audiens bisa beragam. Banyak yang tertawa, menganggap lucu, tapi yang diketawain bukan jokes Uus melainkan Sherina.
Jadi, sebagai komika Uus gagal. Tapi sebagai “si paling keluar rumah dan paham dunia luar”, Uus berhasil.
Komika yang lawaknya lahir batin sampai offside kayak Uus mah ada aja. Kayak telur sekeranjang ada yang busuk barang satu-dua. Masih ingat Coki?
Mereka dikenal netizen sebagai sebagai komika yang sok relevan padahal nggak ngotak dan udah sering kena kutuk di Twitter. Kalau pun komika terpeleset, atau kepengin julid tapi samar-samar aja. Bisa bilang “Gue nge-jokes loh”, atau “Gue kan cuma bercanda”. Ini memang privilese Uus sebagai komika.
Mau opininya pintar atau pun goblok, yang penting Uus bisa bikin ketawa. Audiens tinggal bikin pilihan ganda buat alasan ketawa: ngetawain jokes yang lucu, ngetawain jokes yang terpeleset, ngetawain Uus, ngetawain orang yang disebut di jokes Uus. Tinggal pilih mana narasi yang kira-kira pas buat ngeles.
Satu hal yang seringkali kurang disadari komika adalah jokes yang dibawakan itu sebenarnya representasi dirinya sendiri. Ketaker lah, simpelnya. Salty murah meriah sama Sherina yang bahas kasus animal abuse di Aceh, ya, berarti memang segitu aja kemampuan Uus untuk bikin jokes dibungkus speak up. Berarti hanya segitu aja bobotnya sebagai komika.
Tweet speak up Uus soal speak up Sherina ini merupakan logical fallacy atau sesat pikir. Uus mendiskreditkan Sherina, tanpa menyangkal argumen secara langsung. Beretorika, untuk membelokkan atau menggeser permasalahan yang sedang dibicarakan. Jika Uus bahas speakup vs keluar rumah, orang lain bahas kasus Canon di Aceh vs kasus dog meat di Solo. Dan seterusnya, dan sebagainya. Uus dan mereka yang whataboutism di kasus Canon melakukan kebodohan yang sama.
Bantu perjuangan animal welfare kagak, banyak bacot iya.
Tapi, salah saya sendiri juga berekspektasi mendapatkan tweet salty penuh gaya dan bergizi dari seorang Uus. Kosong, nyaring, bangga, komika pula. Profesi sebagai komika ini yang paling ironis, sih.
Berkat Uus image profesi komika jadi ngedrop di mata khalayak. Padahal masalahnya ada di kemampuan orang per orang dalam meracik jokes, bukan di profesinya.
“Apa yang lo harap dari seorang Uus?”
Komentar-komentar dari netizen seperti ini seharusnya sudah cukup untuk menghentikan kebiasaan bacot dan nyampah yang nggak relevan untuk profesi komika.
Padahal proses menulis materi lawak itu seharusnya susah. Saya tahu ini dari menyimak tayangan pencarian bakat komika di televisi. Sampai ada mentor untuk tiap peserta dan juga juri. Materi lawakan peserta dikomentari panjang lebar oleh juri. Setelah menonton acara tersebut saya jadi tahu bahwa bikin materi lawak juga perlu pakai penalaran dan riset. Kemudian mulai bisa respek pada mereka yang susah payah menulis materi lawak yang lucu sekaligus bernas. Menengok ke belakang ada Warkop DKI, Bagito, aktif bersuara dalam lawakan mereka.
Di saat ada banyak sekali usaha membangun image komedian yang smart, modern, kritis pada persoalan sosial. Muncul komika yang merasa bisa berpikir kritis padahal jadi agen pembodohan. Seperti Uus, nge-jokes tapi yang disenggol adalah penyampai pesan seperti Sherina dan isunya yang lekat dengan kemanusiaan dan kebinekaan pula.
Meski begitu, ada hikmahnya Uus “si paling keluar rumah dan paham dunia luar” aktif speak up di dunia maya. Apalagi setelah nyenggol Sherina punya karya dan idealisme. Orang jadi kritis pada komika yang sok relevan dan cuma bikin noise aja di media sosial.
Sumber gambar: Pixabay