Drama Korea Neverthelessyang bercerita soal toxic relationship, perlu kita tonton untuk pahami tanda-tandanya.
Banyak umpatan dan tarikan nafas panjang saya keluarkan di setiap episode drama Korea Nevertheless. Drama ini padahal bukan genre horor atau thriller, tapi selalu bikin saya ngos-ngosan tiap menontonnya. Awalnya saya cuma penasaran sama drama ini karena banyak dibicarakan sampai-sampai selalu jadi trending topic di Twitter, setiap episode baru drama tersebut tayang. Ada kesempatan nonton, eh malah jadi keterusan.
Kalau kalian belum tahu, drama Korea Nevertheless ini bercerita soal tokoh utama perempuan bernama Yoo Na-bi yang punya hubungan-yang-tidak-bisa-didefinisikan-dengan tokoh utama laki-laki bernama Park Jae-eon. Kenapa saya bilang tidak bisa didefinisikan? Pasalnya, mereka itu dibilang pacaran nggak, dibilang nggak pacaran tapi kegiatannya kok ya (lebih dari sekadar) orang pacaran.
Ceritanya, Na-bi ini punya pengalaman buruk sama mantan pacarnya. Dia diperlakukan dengan buruk dan pernah dipermalukan sama si mantan tersebut. Sementara Jae-eon sendiri tipe cowok yang nggak suka komitmen, tapi dia suka ngegoda cewek dan bikin si cewek kelepek-kelepek sama dia. Nah, Na-bi ini lagi jadi korbannya Jae-eon.
Yang menarik, Na-bi sebenernya sadar kalau dia bukan satu-satunya cewek yang ada di hidupnya Jae-eon, dia juga sadar kalau si Jae-eon ini nggak serius, dan cuma dateng kalau ada maunya aja. Tapi meskipun kayak gitu, Na-bi masih berharap dan tetep baper sama perlakuan si Jae-eon.
Kalau saya lihat percakapan orang-orang di Twitter, mereka yang nonton drama ini terbagi menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang menggoblok-goblokan Na-bi—karena udah tahu si Jae-eon ini red flag berjalan, tapi kok ya nggak segera memutuskan hubungan. Kedua, kubu yang menempatkan diri pada posisi Na-bi—merasa kalau mereka yang dideketin Jae-eon yang digambarkan super ganteng dan misterius pasti akan menjadi pribadi yang rela melakukan apa saja seperti Na-bi.
Saya kubu yang mana? Bukan keduanya. Hehehe.
Saya, sih, kubu yang nggak mau menggoblok-goblokkan Na-bi, tapi juga nggak mau ikut-ikutan jadi pribadi goblok yang rela melakukan apa saja karena terperangkap pesona bad-boy Jae-eon. Pasalnya menurut saya, setidaknya ada dua hal yang salah dari kedua kubu tersebut.
Pertama, apa yang terjadi pada Na-bi adalah apa yang kita kenal sebagai toxic relationship atau hubungan beracun. Hubungan ini terjadi ketika salah satu pihak mencoba untuk mendominasi, memanipulasi, mengontrol, menyalahkan, atau bahkan melakukan kekerasan di dalam sebuah hubungan (bisa pacaran, bisa pertemanan, bisa kekeluargaan). Apa yang Jae-eon lakukan adalah memanipulasi emosi dan perasaan Na-bi. Jae-eon memperlakukan Na-bi seakan-akan Na-bi adalah perempuan yang istimewa. Jae-eon memberikan perhatian, sentuhan, dan perasaan kepada Na-bi untuk kemudian menghilang begitu saja. Atau ia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa setelahnya. Dari sini sebenarnya kita tahu bahwa Na-bi adalah korban dari toxic relationship. Na-bi adalah pihak yang dirugikan. Namun, kok kita malah menyalahkan Na-bi atas perlakuan toxic Jae-eon?
Betul, Na-bi seharusnya bisa menyelamatkan dirinya sendiri dengan segera mengakhiri hubungan dengan Jae-eon. Terdengar mudah dan sederhana, kan? Sayangnya, bagi seseorang yang terjebak dalam toxic relationship, hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena kemampuan manipulasi yang dimiliki pasangan toxic-nya (Jae-eon) sering kali sangat menyeramkan. Pasalnya, ia mendapati dirinya sudah terperangkap dan tidak dapat keluar begitu saja. Menyalahkan Na-bi atau bahkan menggoblok-goblokkannya artinya melakukan victim blaming. Dan itu… jahat.
Kedua, saya heran kenapa banyak perempuan menyukai Jae-eon yang jelas-jelas toxic? Apa benar kalau perempuan lebih menyukai lelaki bad boy?
Menyoal bad boy, saya jadi ingat lirik lagunya Julia Michael, yang bilang: They say, “All good boys go to heaven”, But bad boys bring heaven to you.
Menurut saya anggapan soal perempuan menyukai lelaki bad boy ini anggapan yang berbahaya. Selain tidak ada data statistik yang menunjukkan soal preferensi perempuan yang lebih memilih bad boy dibandingkan dengan good boy, saya penasaran sejak kapan, sih, anggapan ini muncul? Apa sejak zaman dulu sudah ada? Kalau iya, apa dulu ibu kita memilih ayah karena dia bad boy?
Saya pikir anggapan kalau perempuan lebih suka lelaki bad boy ini aslinya cuma akal-akalan pop culture aja. Maksud saya, budaya populer nih suka banget mengobjektifikasi laki-laki (dan perempuan, tentu saja). Bad boy selalu digambarkan sebagai tipe lelaki yang “hot”, dan “misterius”. Sementara good boy biasanya digambarkan sekadar “pelengkap”. Mereka nggak terlalu menonjol, tipe lelaki normal—biasanya cupu dan nerd, yang baru dicari ketika si perempuan “sadar” kalau mereka dipermainkan lelaki bad boy.
Bad boy dianggap selalu bisa membuat perempuan untuk melepaskan sisi liar mereka. Menjalin hubungan dengan bad boy selalu menantang dan menyenangkan. Akal-akalan ini akhirnya bikin bad boy jadi sangat atraktif dan akhirnya menempatkan mereka dalam urutan teratas dalam kasta “potensial mating partner”. Saya curiga hal ini sengaja dibentuk karena…
…budaya pop memang akhlakless (astagfirullah).
Faktanya, menurut berbagai penelitian yang dipaparkan Prof Viren Swami, Psikolog Sosial dari Anglia Ruskin University dalam artikelnya di The Conversation yang berjudul “Do women really go for ‘bad boys’? Here’s the science that settles the question”, perempuan (dan laki-laki) lebih memilih menjalin hubungan dengan orang yang “baik”.
Anggapan soal perempuan yang lebih menyukai lelaki bad boy kata Prof Viren adalah anggapan yang misoginis. Pasalnya, ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang disalahkan ketika sebenarnya si lelaki sendiri lah yang tidak kompeten dalam menarik hati mereka. Di Barat, lelaki inkompeten ini dikenal dengan Incel Movement, di Indonesia kita sebut saja bujang lapuk. Bujang lapuk ini menyalahkan kelapukan mereka karena perempuan cuma mau sama bad boy dan meninggalkan mereka yang (mengaku) “good boy”.
Saya pikir semua perempuan (dan laki-laki) pasti menginginkan hubungan yang sehat dan saling membahagiakan. Saling ada ketika satu sama lain membutuhkan. Saling mendukung, saling meringankan beban. Saya berani jamin nggak ada perempuan (dan laki-laki) yang rela menginvestasikan perasaannya hanya untuk ditinggalkan begitu saja.
Terakhir, saya pikir kita bersepakat bahwa semua perempuan lebih memilih punya relationship goal dengan good boy seperti Darius Sinathrya daripada sama bad boy macam Gofar Hilman yang bangga pernah bersama 100 wanita, kan?
BACA JUGA Dear Love, Jangan Pernah Takut Bilang Cukup Untuk Toxic Relationship, Kamu Berhak Bahagia atau tulisan Nia Lavinia lainnya.