Meski kau membenci romantisisasi angkringan di Jogja, mau tak mau kau mengamini bahwa angkringan sempat menjadi penyelamat mahasiswa dan pekerja dengan kantong cekak. Saya sebut “sempat menjadi”, karena kini angkringan pun tak lagi bisa disebut terjangkau. Namun, dunia ini memberi ruang untuk pengecualian, dan pengecualian ini bernama Pak Panut.
GOR Klebengan adalah surga bagi orang yang tak tahu mau makan apa. Begitu banyak tempat makan berjejer dengan menu yang berbeda-beda. Dan saya yakin, sepasang kekasih yang makan di foodcourt tersebut memilih tempat itu setelah melalui perdebatan panjang, dan akhirnya memilih jalan moderat. Di ujung deretan tersebut, ada angkringan yang asapnya tak berhenti membubung, dan selalu dikerubungi banyak orang. Bagi yang lumayan lama menjejak Jogja, pasti tahu bahwa itu angkringan Pak Panut.
Saya tak mengetahui sejak kapan Pak Panut berjualan angkringan. Dan seperti banyak orang lain, perkenalan saya dengan warung beliau terjadi karena kantong yang menipis, namun ingin makan “enak”. Saya mulai makan di situ semenjak 2011, dan hingga kini saya menyempatkan makan di situ sesekali, terlebih setelah saya membuat keputusan buruk dalam hal keuangan.
Tak berlebihan jika Pak Panut disebut sebagai penyelamat banyak orang, sebab di tempatnya kau bisa makan kenyang dengan uang cekak. Bahkan jika kau punya uang lebih barang dua-tiga ribu, kau bisa pesan tempe atau usus bakar dengan rasa yang (menurut saya) enak. Tak seperti tempat lain, beliau memberi bumbu kecap pada tiap pesanan yang dibakar. Setidaknya, ketika uangmu cekak, lidahmu masih diberi sedikit kemewahan.
Angkringan Pak Panut tak pernah terlihat sepi, setidaknya terlihat lebih ramai ketimbang warung lain yang ikut berderet di GOR Klebengan. Hal itu saja sudah membuktikan, bahwa yang ditawarkan Pak Panut punya nilai lebih ketimbang warung lain, meski sebenarnya harga makanan di warung lain tak jauh berbeda. Tapi, saya punya keyakinan tersendiri perihal ini
Saya yakin Pak Panut tak hanya menawarkan kuliner yang murah dan rasa yang lumayan, namun juga rasa aman. Setidaknya, kau tak akan menemui tragedi uang yang kurang ketika membayar. Cerita-cerita yang beredar tentang betapa dermawannya Pak Panut menambah keyakinan tersebut. Dan rasa aman ini–sebagaimana keyakinan orang terhadap magisnya Jogja–diyakini betul oleh banyak orang. Oleh karena manusia adalah makhluk sederhana yang terkadang menjalani hidupnya dengan bergantung pada pola-pola sederhana, kembali ke Pak Panut ketika kantongnya terancam adalah sebuah keniscayaan.
Pun saya yakin Pak Panut tahu akan hal ini, meski tak sedetil apa yang saya katakan. Meski waktu sudah berjalan, dan harga makanan mulai tak masuk di akal, harga makanan di angkringan beliau tak naik secara signifikan. Demi Tuhan, saya tak tahu sama sekali harga detil per menu, tapi sejak 2011 hingga kini, saya selalu memesan menu yang sama: nasi tiga bungkus, tempe dua, usus satu, dan es teh. Dan sejak 2011 hingga sekarang, harga yang saya bayar tak pernah melebihi sepuluh ribu.
Padahal dengan nalar yang cekak pun, kita tahu bahwa lapak yang disewa tak mungkin murah. Menaikkan harga secara signifikan pun tetap akan dimengerti, nyatanya ada biaya mahal yang harus dibayar. Sewa lapak atau ruko di Jogja memang tak murah. Beberapa ruko yang jauh lebih buruk ketimbang kamar mandi kampus yang bau punya harga sewa yang tak masuk akal.
Tapi, tetap saja, di tengah asap membumbung tersebut, kau tahu bahwa uang yang kau bawa akan tetap cukup untuk mengisi perutmu.
Pak Panut kini telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta Hidup. Kepergiannya tak ayal membuat orang-orang yang pernah diselamatkannya bersedih. Dan saya yakin, doa-doa yang terpanjat beberapa hari ini muncul dari hati orang-orang yang perutnya begitu lapar dan diselamatkan oleh beliau.
***
Saya selalu senang mereplikasi adegan yang saya lihat di film. Suatu saat nanti, ketika dunia jadi agak mendingan, saya akan berdiri di daerah Klebengan, melihat gapura dan GOR Klebengan dengan mata yang agak sendu. Mirip dengan adegan bagaimana tokoh utama suatu film mengenang apa-apa yang sudah terjadi di masa lalu.
Dulu, ada pemuda kurus ceking berponi lempar makan dengan lahap di dekat gerobak angkringan yang penuh asap. Pemuda tersebut sempat punya prinsip bahwa manusia tak butuh manusia lain untuk selamat di dunia ini. Namun, lelaki berkumis tebal pemilik angkringan itu telah menjebloskan keyakinan pemuda tersebut dan mengubah dunia pemuda tersebut hanya dalam beberapa menit.
Selamat jalan, Pak Panut. Doa-doa yang indah terpanjat untukmu.
BACA JUGA Obituari Markis Kido: Si Ganda Petir Itu Kini Resmi Jadi Legenda dan artikel Rizky Prasetya lainnya.