Bulan Ramadan telah usai. Kita patut sedih sebab tak ada yang menjamin kita akan sampai di bulan Ramadan tahun depan. Namun, apa kita benar-benar berduka? Coba muhasabah diri deh, apa benar kita sedih lantaran perkara ibadah-ibadah yang tak maksimal kita lakukan di bulan puasa? Atau karena daya beli kita yang dibatasi di bulan-bulan lainnya dibanding bulan puasa?
Tapi sesedih apa pun, Lebaran tetap harus kita sambut dan patut kita rayakan. Meskipun Lebaran kali ini terpaksa dirayakan dengan berjauh-jauhan dari sanak saudara. Lantaran di jalan kita mesti putar balik ketika dicegat isilop sewaktu mau mudik ke kampung halaman. Semoga saja semua masalah yang kamu hadapi tidak mengurangi kekhidmatan dan kebahagiaan dalam Lebaran kali ini.
Lagipula kamu masih bisa kok ikuti saran Pak Jokowi. Kamu masih bisa order Bipang Ambawang empek-empek Palembang di lapak-lapak online. Kamu juga masih bisa melaksanakan ritual maaf-maafan secara virtual kepada keluarga tercinta di kampung.
Namun, meski ini Lebaran, masih banyak muncul orang-orang yang menyebalkan khususnya perkara ritual maaf-maafan, yakni mereka yang sudah beri maaf duluan padahal nggak ada yang minta maaf.
Saya masih bisa memaklumi orang-orang yang mengisi kaleng Khong Guan dengan rengginang. Saya juga bisa bodo amat dengan orang-orang yang salin-tempel kata-kata mutiara saat Lebaran. Namun, bagi saya, tidak ada pemakluman untuk orang-orang yang pasang status di WhatsApp dan Facebook dengan kata-kata bernada memaafkan. Buat saya, mereka spesies yang tak sempurna dalam berevolusi.
Begini, bukankah perkara maaf-memaafkan setidaknya melibatkan interaksi dua orang manusia sebagai peminta maaf dan pemberi maaf? Namun, apa jadinya jika yang memberi maaf lebih dulu menyampaikan maksudnya padahal tak ada permintaan maaf sebelumnya dari orang pertama, yakni peminta maaf.
Fenomena ini terjadi pada makhluk-makhluk di lingkup pertemanan saya. Mereka kadung percaya diri menulis status di Facebook dan status WhatsApp dengan kata-kata yang nadanya memberi maaf pada saat Idul Fitri tiba.
“Kalian semua saya maafkan,” tulis mereka.
Dengan dalih terlalu capek membalas satu persatu pesan atas permintaan maaf yang masuk ke ponsel mereka, makhluk ini rela menggadaikan kinerja otak mereka dalam memahami teori maaf-memaafkan.
Saya tahu bahwa status mereka ditujukan kepada kawan-kawan mereka yang menggempur ponsel mereka dengan beraneka pesan permintaan maafnya. Namun, status mereka kan bukan cuma dibaca oleh rekan mereka yang pernah salah dan minta maaf padanya. Akan tetapi, juga mereka yang nggak berniat minta maaf. Maupun mereka yang justru menunggu permintaan maaf dari makhluk menjengkelkan tersebut.
Saya jadi mikir, sesibuk apa sih makhluk-makhluk ini sehingga menganggap bahwa membalas permintaan maaf dari kolega dapat menyita sebagian besar waktu Lebaran mereka? Lantas, mereka merasa hanya cukup menulis satu kali pemberian maaf melalui status Facebook dan WhatsApp untuk mewakili semua permintaan maaf yang masuk?
Padahal fitur-fitur di aplikasi menyediakan sticker yang bisa mereka gunakan dengan sekali pencet untuk menanggapinya. Kalau memang waktu yang dimiliki makhluk-makhluk ini sudah sesibuk waktu dinas Pak Jokowi, mereka masih bisa kok mengabaikan pesan yang masuk dan membalasnya saat senggang.
Bagi saya, apa yang makhluk-makhluk ini lakukan menunjukkan kesan rasa sombong sekaligus punya rasa malas akut. Bukankah begitu?
BACA JUGA Jangan Sedih jika Tidak Ada yang Mengirimkan Hampers Lebaran untuk Kamu atau tulisan Fahmin lainnya.