Ketua KPK dalam acara penyuluhan di Lapas Sukamiskin (31/3) mewacanakan akan menjadikan narapidana (napi) korupsi menjadi agen antikorupsi. Ini adalah sebuah ide yang nyaris cemerlang. Dalam kesempatan ini, para pejabat akan memetik pembelajaran langsung dari ahlinya.
Sayangnya, bagi sebagian masyarakat, gagasan tersebut dianggap aneh bin ajaib. Namun, coba kita meresapi bersama. Melalui ide tersebut, Ketua KPK ini sesungguhnya sedang memikirkan sesuatu yang sangat visioner, yaitu memikirkan hak serta kehidupan para mantan koruptor (atau istilah baru yang ia gunakan adalah penyintas korupsi). Ia sedang berusaha memberikan lapangan pekerjaan bagi para koruptor selepas mereka keluar dari penjara dengan menjadi penyuluh atau agen antikorupsi.
Coba bayangkan, bisa jadi cap mantan koruptor yang selama ini disematkan kepada mereka adalah label yang terlalu menjijikkan. Sampai-sampai para penyintas korupsi ini sudah tidak dapat lagi menjadi manusia seutuhnya ketika keluar dari penjara. Dijauhi, dicaci-maki, dikucilkan, bahkan diolok-olok baik oleh masyarakat luas maupun oleh rekan-rekannya yang juga korupsi, tapi tidak ketahuan. Hidup isinya cuma susah dan prihatin, ditambah menanggung malu seumur hidup.
Pun ketika mantan koruptor, eh maksudnya penyintas korupsi yang sudah bebas dari penjara berusaha hidup lebih barokah dengan bekerja selayaknya insan manusia yang lain, selalu saja terhambat masa lalunya. Para pemilik usaha atau bos-bos besar, bisa jadi akan berpikir berulang kali untuk merekrut pekerja yang memiliki sejarah kelam melakukan korupsi. Mereka takut lah, kalau-kalau usahanya sukses dan menjadi besar, tapi justru yang tajir melintir bukan si pemilik usaha melainkan malah pekerjanya itu. Jelas, ini akan menyimpang dari sisi teori ekonomi mana pun. Palingan tinggal tersisa satu harapan pekerjaan yang bisa mereka geluti: nyaleg jadi anggota dewan. Itu pun harus melalui modal dan perjudian yang besar karena belum tentu berjalan mulus.
Alhasil, dikhawatirkan para penyintas korupsi ini tidak mempunyai jaring pengaman sosial yang cukup setelah mereka keluar dari penjara. Mereka bakal terkatung-katung, susah mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarga. Lagipula, tidak elok rasanya jika melihat mantan anggota dewan, negarawan, menteri pejabat daerah, dan sebagainya itu keluar dari penjara dan hanya jadi pengangguran. Malu sama negara-negara tetangga. Cukup freshgraduate saja yang banyak menyandang label pengangguran dan nyari lowongan pekerjaan sana-sini.
Nah, yang lebih mengkhawatirkan lagi, bisa-bisa para penyintas korupsi ini justru terjebak untuk kedua kalinya menjadi seorang kriminal demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Misalnya nyolong kayu bakar di hutan, nguntit beras impor, atau bahkan menjadi makelar bikin KTP di dinas kependudukan. Kita bisa menerka, ujung-ujungnya mereka bakal dipenjara lagi. Begitu terus, begitu terus bagaikan lingkaran setan yang tiada ujung.
Oleh karena itu, terpaksa atau tidak kita harus mengakui bahwa gagasan mempekerjakan penyintas korupsi menjadi agen atau penyuluh antikorupsi ini merupakan ide yang nyaris brilian. Ditambah lagi, ide untuk menyebut mereka sebagai penyintas korupsi alih-alih mantan koruptor adalah suatu hal yang nyaris bijaksana. Sangat terlihat sekali bahwa ide ini menginginkan hukuman yang berperspektif perlindungan korban.
Yang jahat dari korupsi pastilah sistemnya, tidak mungkin pelaku korupsinya. Semua pelaku korupsi itu hanya korban dari jahatnya sebuah sistem yang korup. Kurang lebih seperti itu.
Lantas masyarakat yang setiap awal tahun selalu diingatkan untuk bayar pajak ini apa tidak menjadi bagian dari korban dari korupsi juga? Ya korban juga, tapi kan itu urusan presiden sebagai pemimpin untuk menyejahterakan warga negara. Bukan urusan KPK. Kira-kira demikian.
Menahbiskan para penyintas korupsi sebagai agen antikorupsi yang akan menjadi pembicara di acara penyuluhan antikorupsi, rasanya bakal membawa lesson learned yang sangat melimpah. Pejabat lain yang beruntung belum tertangkap KPK atau yang memang tidak mau berurusan dengan rasuah, sudah tentu akan mendapat pelajaran penting dari kisah-kisah para penyintas korupsi.
Proses negoisasi harga, tawar-menawar kepentingan, menjual-belikan pengaruh, itu membutuhkan seni tersendiri yang naudzubilah rumit. Hal demikian pasti bisa sangat fasih dibagikan oleh para penyintas korupsi yang tentu saja pernah mengalami langsung. Belum lagi modus memutar uang, mengakses bank luar negeri yang “primpen” untuk menyimpan harta, sampai tips memilih tipe-tipe kerabat dekat yang bisa dipinjam nama untuk membeli aset.
Segala kerumitan itu kalau diceritakan dengan gamblang, rinci, detail, dan terstruktur dalam sebuah seminar antikorupsi dengan peserta para pejabat dan penyelenggara negara aktif, hampir bisa dipastikan mereka akan langsung mundur alon-alon. Jelas, ini menciutkan nyali untuk korupsi. Mereka akan berpikir, lha wong yang rumit dan matang begitu saja bisa kecokok KPK, apalagi modus yang ecek-ecek saja.
Sulit memang menyangkal gagasan yang nyaris brilian dengan menjadikan mantan koruptor sebagai penyuluh atau agen antikorupsi. Tak terlalu sulit juga sepertinya menerima kebijaksanaan bahwa sebaiknya mulai hari ini kita menyebut para koruptor itu sebagai penyintas korupsi. Lalu kita juga bisa mulai sebut seluruh rakyat indonesia yang selalu ditagih-tagih lapor pajak setiap tahun ini sebagai penyintas korupsi layer dua. Setidaknya, supaya kita juga dianggap sebagai pihak yang perlu dipikirkan kehidupannya karena terkena dampak korupsi yang dilakukan oleh sistem yang jahat.
Soal Pak Setya Novanto dan Pak Anas Urbaningrum yang kabarnya tidak terlihat di acara penyuluhan tersebut. Barangkali beliau-beliau ini justru sedang semangat di ruangannya membuat materi pendidikan antikorupsi untuk partai politik. Seandainya benar demikian, tiada kata lain selain: Salut!
BACA JUGA KPK dan Masa Depan Anti Korupsi yang di Ujung Tanduk