Ketika Bapak saya wafat, otomatis sebagai anak sulung saya ditugasi menjaga peninggalan beliau, termasuk mobil Gran Max miliknya. Orang-orang mungkin berpikir saya mendapat durian runtuh—dapat mobil tanpa harus keluar duit—tapi yang saya rasakan cuma seperti mendapat jeruk mentah jatuhan (enak, tapi bukan yang diinginkan).
Jauh dalam lubuk hati saya membidik mobil-mobil yang levelnya sedikit di atas “warisan yang tak diinginkan ini” semisal Avanza, Ertiga, atau Jazz tahun tua. Namun, faktor range cicilan yang belum bisa disinergikan dengan pendapatan dan nantinya sang Gran Max jadi tidak bertuan, terpaksa mobil yang Bapak beli pada 2012 itu saya pelihara.
Akhirnya peribahasa “makan buah simalakama” mewarnai hari-hari saya. Di satu sisi saya amat terbantu ketika akan pergi kondangan sekeluarga ke tempat yang agak jauh, apalagi muatannya cukup banyak dengan kabin yang cukup lega. Namun di sisi lain, saya sering mengalami sakit hati. Dengan strata sosial Gran Max yang cuma dianggap setara angkot, saya mengalami berbagai berbagai kejadian yang semacam asu.
Selalu ditanya “mau pakai bon apa enggak?”
Dengan citranya sebagai mobil operasional perusahaan dan badan profit, setiap kali melakukan hal yang berhubungan dengan pengeluaran—apalagi yang nominalnya di atas Rp100.000—saya selalu ditanya, “Butuh bon/kwitansi atau tidak?” Hal ini biasanya terjadi di pom bensin atau tempat parkir bertarif jam-jaman seperti di mal atau rumah sakit.
Jujur, ditanya seperti itu rasanya hati saya seperti dikoyak-koyak. Bukan karena saya merasa mampu secara finansial, tapi sebelum bilang begitu tolong dilihat tampang dan dandanan saya dulu. Masak rambut sudah klimis, tampang sudah glowing, sepatu kinclong, dan pakai baju batik dua ratus ribuan disangka sedang dinas mengantar barang?!
Sering dikira mobil jemputan
Pengalaman ini lebih tidak mengenakkan lagi. Ketika itu saya baru saja pulang dengan mengemudikan si Silver (nama pemberian Ibu saya untuk Gran Max Bapak). Tiba-tiba saja anak tetangga depan rumah keluar rumahnya dan menghampiri saya sambil berteriak, “Maaah, aku berangkat. Jemputannya udah dateng.” Dan ketika saya membuka kaca, dia melongo ketika mendapati saya di bangku pengemudi. Mamah anak itu kemudian berkata, “Owh bukan, itu jemputannya Dimaz.” Dimaz adalah nama anak saya.
Saya tahu itu cuma gojekan antar-tetangga, eh tapi kok ya rasanya makjleb-makjleb aja. Mungkin karena tetap menyertakan kata “jemputan”. Akhirnya saya pundung lantaran merasa mirip Izrail.
Disepelekan di jalanan
Saya adalah pembayar pajak yang taat, artinya saya berhak mendapatkan perlakuan yang sama di jalan. Namun, lagi-lagi karena citra kaumnya si Silver, saya menjadi anak tiri di jalanan. Saya sering disalip dengan cara tidak menyenangkan: digunting! Jangankan kendaraan-kendaraan eksklusif, pengemudi Ayla dan Datsun Go yang notabene harganya nggak jauh berbeda pun terkadang berani menggunting saya. Dan yang lebih mirisnya lagi, pengemudi yang kasta mobilnya masih di bawah kaum si Silver, seperti GM pick up dan angkot, berani menggunting sambil mengintimidasi saya. Mungkin karena mereka menyangka saya sama-sama “mengemudi untuk orang lain”, jadi kemampuan finansial dan kedudukan di mata hukum saya sama dengan mereka. Sungguh itu sangat menyakitkan, meskipun kenyataannya mungkin iya.
Jadi sasaran pungli
CV-CV Teknik biasanya menggunakan Gran Max sebagai kendaraan operasional untuk mengangkut barang-barang kecil. Biasanya mereka memasang lambang dan nama CV pada bodi mobilnya. Namun, entah karena buta huruf atau apa, para pelaku pungli menyamaratakan Gran Max berlambang dengan yang yang tidak.
Pernah suatu pagi yang lumayan sepi (karena hari Minggu, hari Minggu jarang yang masuk kerja) saya berangkat kerja dengan si Silver, saya dibuntuti oleh sebuah motor berpenumpang dua orang. Ketika masih berjarak seratus meter dari gerbang tempat kerja, saya dicegat dan dimintai uang rokok. Mereka mengira saya karyawan CV yang sedang mengirim barang. Untungnya saya memakai seragam kerja, membawa ID card, kedua orang itu tahu tempat kerja saya. Sambil menggerendeng, mereka pun pergi.
Saya memang selamat, tapi sesudahnya saya terkadang ragu untuk mengajak si Silver ke tempat kerja.
Atas kejadian-kejadian itu, saya terkadang berpikir untuk nekat menjual si Silver dan menggantinya dengan mobil yang saya inginkan. Masalah setorannya, saya back up gaji dengan honor dari menulis artikel. Sebuah gagasan yang cukup masuk akal dan pas di kantong jika artikel saya tembus media berhonor lima ratus ribu ke atas. Namun, berhubung tembusnya di Terminal Mojok, rasa-rasanya saya harus berdamai dengan keadaan sedikit lebih lama lagi.
Hehehe, bercanda loh.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Toyota Corolla DX, Mobil Tua Idaman Generasi Muda dan tulisan Agung Setoaji lainnya.