Sejak di sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, saya tidak pernah tau bahwa di dunia ini ada banyak jenis buku yang bisa dibaca selain buku cetak pelajaran sekolah dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Sebetulnya saat itu, di SD saya ada perpustakaannya. Ia dibangun ketika saya sudah kelas 5. Namun, entah kenapa perpustakaan tersebut selalu tutup. Ia hanya dibuka saat ada orang-orang berbaju dinas lain selain guru-guru yang datang.
Kalau mereka datang, barulah kami disuruh masuk ke perpustakaan yang di dalamnya banyak buku bergambar dan tersusun rapi di rak yang masih bau pernis cat. Namun, itu hanya beberapa kali. Setelah itu kami tidak pernah diberikan izin untuk masuk lagi.
Kata salah satu guru, nanti buku-bukunya bisa dirusak sama anak-anak yang nggak terbiasa dengan buku.
Apa itu minat baca dan literasi? Boro-boro mau baca komik Conan atau serial Harry Potter ala anak-anak remaja perkotaan, sentuh buku cerita bergambar saja kami jarang.
Syukurnya pada 2012, saat saya naik ke kelas dua SMP, ramalan Mama Laurent soal kiamat dunia keliru. Andai betul, barangkali saya tidak akan pernah kenal yang namanya novel.
Ketika SMP, ada sepupu saya, sebut saja Fai, dia diterima di salah satu kampus negeri di Makassar, jurusan Sastra Indonesia. Lantaran memilih jurusan itu, mau tidak mau dia harus baca banyak buku. Sepupu saya inilah yang berjasa terhadap awal mula saya menamatkan bacaan pertama saya.
Kala itu, Fai membawa sekarton penuh beragam buku ke kampung saya yang jaraknya semalaman naik bus dari Makassar. Saya bongkar-bongkar karton itu, eh ketemu sama satu buku berjudul Baby Proposal yang belakangan saya tau ditulis oleh Dahlian dan Gielda Latifa. Dulu saya kira, ini buku anak-anak karena ada kata “baby” di judulnya. Selain itu, di sampulnya ada gambar pita merah. Jelas bikin saya penasaran, dong. Saya buka buku tersebut perlahan-lahan.
Saya baca kalimat demi kalimat, wah menarik! Buku itu tentang perempuan bernama Karina dan laki-laki bernama Daniel yang bertemu dalam pesta di atas kapal. Singkat cerita, mereka bertemu dan berproses bikin baby bersama. Ah, sudahlah, detailnya saya lupa. Sungguh!
Saat sampai di bagian bikin baby, saya kaget. Wuih, isinya, kok, begini? Saya takut berdosa karena baca cerita seperti itu. Akan tetapi, saya sebagai remaja tanggung yang rasa ingin tahunya sedang menggebu-gebu, ya, saya lanjutkan.
Memulai bacaan perdana ini sungguh tidak mudah. Saya harus datang ke rumah Fai di siang hari saat seisi rumah sedang tidur siang. Saya khawatir saja kalau ada yang lihat saya baca buku novel 18+ itu.
Sensasi membaca secara sembunyi-bunyi semakin menarik ketika saya sampai pada bagian inti cerita. Tepatnya, ketika si Karina dan Daniel yang awalnya nggak kenal bisa saling suka karena selalu bersama dalam proses merawat jabang bayi di kandungan Karina.
Kurang dari seminggu, novel Baby Proposal saya tuntaskan. Keren rasanya bisa baca novel 331 halaman dalam beberapa hari. Seingat saya kala itu, tidak ada teman sepantaran saya di kampung yang punya aktivitas membaca buku, novel lagi!
Tidak mau berakhir bangga dan girang sendiri, diam-diam saya bawa Baby Proposal alias novel 18+ tersebut ke sekolah dan menceritakan kisah di dalamnya kepada teman-teman perempuan di kelas. Kebanggaan saya bertambah lagi, semua mata mereka berbinar memandangi saya menceritakan isi novel 18+ itu.
Saya sengaja menceritakan kisah romantis Karina dan Daniel di awal. Lalu saat mereka berlomba ingin pinjam novelnya, saya patahkan harapan berlebih mereka dengan bilang bahwa novel ini ada cerita bikin anak bayinya. Ternyata, beberapa di antara mereka justru tidak masalah dengan itu. Jadilah, novel Baby Proposal dibaca oleh angkatan remaja tanggung di kelas saya satu demi satu.
Mereka juga sama dengan saya: baru merasakan aktivitas membaca buku lain selain buku pelajaran.
Dari Baby Proposal, libur semester berikutnya Fai datang lagi dengan sekarton novel Islami, seperti Ketika Cinta Bertasbih dan Ayat-ayat Cinta. Aktivitas membaca saya terus berlanjut ke novel-novel itu, lalu membawanya lagi ke sekolah untuk digilir ke teman-teman. Begitu seterusnya. Apa pun yang Fai bawa dari Makassar, apa pun genrenya, saya dan teman-teman sekolah akan bergantian membacanya.
Sembilan tahun berlalu sejak masa menggebu-gebu remaja tanggung tadi, saya kini sudah tinggal dan kuliah di Makassar juga. Berjumpalah saya dengan angkatan remaja di kota ini yang menghabiskan masa remaja mereka dengan membaca Conan dan Harry Potter. Agak minder juga rasanya tidak bisa bergabung dalam obrolan mereka. Padahal, saya baru akan memamerkan kebiasaan membaca saya yang rupanya nggak ada apa-apanya dibanding mereka: yang akhir pekannya dipakai ke toko buku.
Akan tetapi, kalau dipikir-pikir beginilah contoh kesenjangan kesempatan terhadap akses bacaan remaja di pelosok nusantara. Seperti saya dengan mereka yang tinggal di wilayah yang ada toko bukunya.
Meskipun begitu, bagaimanapun hal ini perlu disyukuri. Setidaknya saya sudah mulai membaca saat remaja. Jadi, untuk kamu yang juga punya pengalaman menumbuhkan minat baca melalui novel 18+, tenang, kamu nggak sendirian, kok!
BACA JUGA ‘Max Havelaar’, Novel yang Harus Masuk dalam Kurikulum Diklat PNS