Sejak SD hingga SMA, saya beberapa kali pernah menjadi bagian dari petugas upacara di sekolah. Menjadi petugas upacara itu ada enak dan nggak enaknya. Enaknya, saya merasa setingkat lebih berguna daripada teman-teman yang lain serta dapat menarik atensi guru dan siswa lainnya, apalagi kalau penampilannya bagus dan nggak keliru sama sekali. Nggak enaknya, beberapa petugas seringkali bertugas di lapangan dan kepanasan.
Saking seringnya jadi petugas upacara, saya bahkan bisa menyusun kasta para petugas upacara berdasarkan tugasnya. Mulai dari yang tugasnya paling eksklusif—hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kemampuan khusus, sampai kasta terendah yang bisa dilakukan oleh siapa saja asalkan ada kemauan.
#1 Pengibar bendera
Kasta tertinggi tentu saja jatuh pada petugas pengibar bendera. Iya, yang tiga orang itu. Mereka adalah inti dari upacara bendera setiap Senin di sekolah. Saat SD dulu, saya pernah bertugas sebagai pembawa bendera yang posisinya di tengah. Sumpah, itu berat banget dan sepanjang jalan saya cuma bisa deg-degan.
Pasalnya, saat pembawa acara mengucapkan kalimat pengibaran bendera merah putih, perut rasanya udah mules-mules duluan. Kepala saya penuh dengan pikiran dan berbagai asumsi. Seperti apakah langkah kami—petugas pengibar bendera—ini selaras? Apakah benderanya sudah dilipat dengan benar? Nanti saat berbelok hitungannya berapa kali, dan pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran lainnya.
Kalau ada salah sedikit saja, siap-siap deh mendapatkan sambutan tawa-tawa tertahan dari para peserta upacara. Selanjutnya, selama sisa Senin tersebut bakalan dilalui dengan penuh rasa malu karena diolok-olok teman sekelas. Makanya, butuh keahlian khusus untuk tugas yang satu ini.
#2 Pemimpin upacara
Saat SMP, saya berkali-kali terpilih menjadi pemimpin upacara. Enak? Nggak! Selain panas, jadi pusat perhatian, saya juga masih harus mempertahankan suara agar tetap on fire dan didengar sampai ke ujung paling belakang.
Jika para petugas lainnya hanya bertugas di waktu-waktu tertentu, tugas pemimpin upacara adalah sejak dimulai hingga akhirnya acara. Panasnya juga berkali-kali lipat, sebanding dengan mereka yang dijemur karena telat. Makanya, saya sering kesal sama teman-teman yang ngeluh kepanasan pas upacara. Rasanya pengin teriak: kamu enak kepanasan bareng-bareng di barisan sambil asyik bergosip, lah aku kepanasan di depan, sendirian sambil dipelototin para guru dengan sikap sempurna, nggak boleh gerak-gerak!
#3 Pembawa acara
Pembawa acara ini biasanya dipilih para siswa dengan suara-suara yang enak didengar, memiliki fokus yang tinggi dan tentunya punya pelafalan yang jelas. Pasalnya, kalau pelafalannya nggak jelas dan orangnya nggak fokus, bisa-bisa para petugas upacaranya kebingungan. Atau, bisa jadi ada salah satu agenda yang kelewatan. Kan, berabe ~
#4 Pembaca teks pembukaan UUD 1945
Para petugas yang berhubungan dengan UUD 1945 ini biasanya dipilih mereka-mereka yang punya suara, pelafalan dan intonasi yang bagus. Mereka juga harus fokus, soalnya teks pembukaan UUD 1945 ini panjang banget. Jeda per kalimat juga perlu diperhatikan biar yang baca nggak ngos-ngosan. Latihannya sih, biasanya dilakukan bersama guru Bahasa Indonesia.
#5 Dirigen
Saya nggak punya pengalaman di bidang ini. Tapi, seingat saya, mereka-mereka yang jadi dirigen biasanya seringkali jadi kesayangannya guru Seni Budaya, soalnya punya bakat yang langka. Saat upacara, tugas dirigen mungkin sekilas hanya terlihat gerak-gerakin tangan aja, tapi percayalah itu sulit. Salah gerakan, anggota paduan suaranya juga ntar salah semua nadanya.
#6 Paduan suara
Hampir sama dengan dirigen, hanya kastanya satu tingkat di bawah. Anggota paduan suara adalah yang paling enak. Posisinya nggak pernah kepanasan, soalnya mereka perlu menyiapkan suara agar tetap merdu saat bernyanyi. Jadi, keringat dan sejenisnya harus jauh-jauh dari mereka.
Anggota padus ini adalah manusia-manusia pilihan hasil seleksi ketat pembina padus. Nggak semua orang bisa gabung. Hanya segelintir siswa yang dikaruniai bakat dan anugerah berupa suara emaslah yang bisa menjadi anggota paduan suara. Apalagi kalau disertai dengan bakat dirigen, makin naik kastanya.
#7 Pembaca doa
Mereka yang bertugas untuk membaca doa biasanya dipilih berdasarkan kemampuan agamanya, khususnya dalam pelafalannya membaca Al-Qur’an. Semakin fasih, semakin bagus, dan para siswa biasanya makin kenceng ngucapin amin.
#8 Pembaca janji siswa
Untuk menjadi petugas pembaca janji siswa, nggak dibutuhkan keahlian apa pun. Pokoknya dibaca saja, nanti para siswa juga bakalan ngikutin. Terkadang, suara pembaca janji siswa malah lebih sering keduluan para siswanya saking hafalnya mereka sama janji-janji kosong yang tiap Senin pagi selalu diucapkan—meskipun langsung dilanggar—itu.
#9 Pembawa naskah Pancasila
Mereka yang bertugas membawa naskah Pancasila seringkali nggak terlihat karena kalah atensi sama pembina upacara. Tugasnya cuma ngintilin ke manapun pembina upacara bergerak. Kalau pembina upacara maju, ya dia ikut maju. Pembina upacara kembali ke tempatnya, dia juga kembali ke tempatnya. Gerakan baris-berbarisnya juga sedikit. Jadi, tugas ini nggak memerlukan keahlian apa pun. Siapa pun bisa jadi pembawa naskah Pancasila asal ada kemauan.
#10 Anggota PMR
Saya biasanya paling iri sama anggota PMR. Mereka bisa bebas berkeliaran dan bergosip sesuka hatinya tanpa perlu berbaris dan kepanasan. Tugasnya ngecekin apakah ada siswa yang sakit, pusing, dan sejenisnya. Senjatanya? Cuma badge PMR yang ada di bahu mereka. Butuh keahlian khusus? Harusnya sih iya. Tapi, praktiknya banyakan yang nggak.
Pasalnya, kalau ada siswa yang pusing atau pingsan, bukannya mereka yang gotong, malah teman-teman di sekitarnya yang disuruh gotong, terus mereka malah panggilin guru-guru yang kebetulan bertugas untuk ngecekin tata tertib di lapangan. Kan, ngeselin. Makanya, kalau mau enak selama masa sekolah, mending jadi anggota PMR saja deh!
BACA JUGA Mengenang Kegiatan Upacara Bendera Pada Masa Sekolah dan tulisan Siti Halwah lainnya.