Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Culture Shock yang Bakal Dihadapi Santri Saat Jadi Alumni

Muhammad Lutfi oleh Muhammad Lutfi
7 Februari 2021
A A
Culture Shock yang Bakal Dihadapi Santri Saat Jadi Alumni terminal mojok.co

Culture Shock yang Bakal Dihadapi Santri Saat Jadi Alumni terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Sebagai alumni salah satu pesantren di Jawa Timur, begitu keluar menjadi alumni—walaupun sebenarnya masih suka dengan sebutan santri—melihat kehidupan luar antara kaget juga tertegun. Kehidupan luar yang jauh dari kesan mashook dan menjadi culture shock bagi seorang santri.

Seperti apa yang sudah saya katakan sebelumnya mengenai Stereotip Menyebalkan Masyarakat Awam pada Lulusan Pondok Pesantren bahwa hidup santri itu kalau nggak ngaji, ngopi, ya ngabdi. Ya memang itu hidupnya di pesantren. Mau bagaimana lagi? Sudah paten.

Selain perihal anggapan aneh masyarakat luar terhadap anak lulusan pondok, yang kadang kalau saya dengar bikin geli dan loro ati. Ternyata, sikap santri yang identik dengan kalem, andap ashor juga nggah nggeh, sedihnya terbawa sampai ia lulus menjadi alumni dan terjun ke masyarakat.

Kita sepakat kalau karakteristik seseorang tergantung pada lingkungan sekitar. Tak terkecuali santri, apalagi sudah lama hidup di lingkungan pesantren. Ya mau nggak mau, sikap-sikap di atas sudah mendarah daging pada pribadi santri. Berikut beberapa culture shock yang dialami santri ketika sudah keluar dari kehidupan pesantren.

Culture shock #1 Phobia ketemu cewek

Lingkungan pesantren melulu tentang pengabdian kiai, ibadah, tirakat hingga ngaji. Lebih dari itu, tahu sendiri lah ya, namanya pondok kan antara laki dan perempuan dipisah. Jadi jarang bahkan sama sekali nggak pernah ketemu dengan cewek. Jangankan ketemu, lihat saja sudah senengnya nggak main.

Maka tidak heran, santri ketika sudah menjadi alumni untuk sekadar ketemu cewek saja lho rasanya melebihi takut menunggu hasil interview kerja. Antara gugup, grogi, juga salting campur jadi satu kayak gado-gado. Namun, sejauh pengamatan saya, teman-teman alumni pesantren walaupun agak canggung ketemu cewek justru malah malu-malu mau. Wajar, kayak macan habis keluar dari kandang.

Nggak usah jauh-jauh, deh. Ketika pulang waktu liburan, diajak teman lama ngopi yang di situ ada ceweknya, itu saja sudah bingung. Antara ingin ikut tapi takut atau nggak ikut tapi kesempatan nggak datang dua kali. Serba dilema memang. Akan tetapi ya nggak masalah, seiring berjalannya waktu sikap seperti itu akan sirna yang penting nggak pakai sarung waktu pergi ke mall. Wes angel kalau ini.

Culture shock #2 Nggak bisa diajak makan di tempat mewah

Percaya deh, keseharian santri itu selalu bareng dari makan, tidur hingga mandi pun terkadang satu kamar mandi bisa buat dua tiga orang. Saya pikir, mungkin ideologi yang tertanam pada pikiran santri itu adalah paham komunis. Tidak ada istilah “kepemilikan pribadi” dan dilakukan bersama. Kalau kata santri, “Wekku wekku, wekmu wekku.” Punyaku punyaku, punyamu juga punyaku.

Baca Juga:

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Alumni UNNES: Setelah Lulus pun Harus Berdamai dengan Stereotipe Miring

Sebut saja misalnya ketika makan. Di pondok salaf, terkenal dengan istilah “mayoran”. Bahasa kerennya mukbang, lah. Cuma yang besar bukan karena enak banyaknya makanan tetapi banyaknya orang. Lha gimana, satu tumpeng saja bisa buat tujuh hingga sepuluh orang.

Belum lagi ada seleksi alam. Siapa saja yang kuat dengan panasnya makanan yang baru saja diangkat dari wajan maka dia akan kenyang. Lha yang nggak kuat ini bagaimana? Apalagi santri baru yang belum terbiasa dengan kehidupan pesantren dan masih kebawa hawa rumahan.

Sama ketika saya dan teman santri lainnya njajal beli makan di Mie Gacoan. Tahu sendiri kan ya, rumah makan yang bagi kami sedikit elite hanya karena makannya pakai supit. Saking begitu kuatnya jiwa santri pada diri teman saya, tanpa rasa malu, nggak sampe lima menit, mie itu sudah habis ditelan masuk ke dalam perut dia. Makannya saja muluk, je. Bagaimana nggak cepat habis.

Culture shock #3 Kaget dengan budaya los-losan

Sebagai santri yang hanya manut lan nunut kepada dawuhnya kiai, pasti sedikit kaget kalau sudah menjadi alumni dan berbaur dengan kehidupan luas nan bebas. Seenggaknya pernah lah terbesit di pikiran mereka ketika melihat pergaulan luar, “Kok iso ngene yo dunia jobo?”

Apalagi dulunya untuk keluar pondok saja susahnya minta ampun. Bukan masalah sanksi gundulnya, terkadang kalau sudah keluar suka bingung saja mau pergi ke mana saking jarangnya keluar pondok. Paling banter ya cari warung kopi. Nggak di luar maupun di dalam pondok jangan lupa rutinitas wajibnya, the one and only, ngopi.

Seringnya, ketika saya sudah menjadi alumni maupun waktu pulang libur semester atau lebaran, first impression saya melihat dunia luar itu kagetnya bukan kepalang. Kontras banget dengan kehidupan pesantren yang ayem tentrem lan bungahne ati. Namun, lama kelamaan ya biasa. Hanya saja, apa yang sudah dipelajari selama nyantri setidaknya bisa membentengi diri agar tidak kebablasan.

Culture shock #4 Takut disuruh untuk menjadi apa-apa

Dulu waktu mondok sering kiai mewanti-wanti saat belajar pidato atau kitab kuning. Kalau salah selama mondok itu biasa sebelum akhirnya terjun ke masyarakat yang kalau salah malunya luar biasa. Ya iya lah, sudah lama menjadi santri masa masih salah? Walaupun santri juga manusia, tetapi selama nyantri memang ngapain saja? Mungkin itu pikir mereka.

Namun seringnya justru sebaliknya. Misalnya ketika santri disuruh ngisi kultum habis Subuh. Jauh-jauh hari sebelumnya sudah disiapkan, hafal dengan materi, dan yakin siap menyampaikan. Nah, pada waktunya, phobia panggung itu pasti ada. Apalagi santri jarang sekali bersosialisasi dengan masyarakat luar.

Atau misal disuruh menjadi imam salat di masjid kampungnya. Walaupun sebenarnya imam tetap itu ada, setidaknya orang-orang kan ya ingin tahu bagaimana “kemampuan” si santri itu sebenarnya. Kalau misal dia cakap dalam mengimami salat, bisa jadi pertimbangan bagi mereka untuk memondokkan anaknya di pesantren. Ya, kan siapa tahu.

Masih banyak lagi culture shock yang bakal dihadapi santri melihat kehidupan luar ketika sudah menjadi alumni. Meski biasanya secara perlahan kami bisa beradaptasi dengan kehidupan yang bebas dan luas.

BACA JUGA Mempertanyakan Alasan Santri Suka Ngerokok dan Ngopi dan tulisan Muhammad Lutfi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 8 Februari 2021 oleh

Tags: alumniculture shocksantri
Muhammad Lutfi

Muhammad Lutfi

Suka cari makan dan kopi di pinggiran jalan.

ArtikelTerkait

Curhatan Santri: Kami Juga Manusia, Jangan Memasang Ekspektasi Ketinggian Mojok.co

Curhatan Santri: Kami Juga Manusia, Jangan Memasang Ekspektasi Ketinggian

10 Agustus 2024
3 Hal Sepele yang Sebaiknya Diperhatikan Orang Sunda saat Berkunjung ke Jogja Terminal Mojok

3 Hal Sepele yang Sebaiknya Diperhatikan Orang Sunda Saat Berkunjung ke Jogja

3 September 2022
sastra pesantren

Sastra Pesantren Kekinian: Jangan Cuma Bahas Kasih Tak Sampai

4 Oktober 2019
Kota Bandung dan Kabupaten Bandung: Namanya Mirip, Jaraknya Dekat, tapi Kondisinya Jauh Berbeda Mojok.co

Kota Bandung dan Kabupaten Bandung: Namanya Mirip, Jaraknya Dekat, tapi Kondisinya Jauh Berbeda

4 Mei 2024
Culture Shock yang Saya Alami Saat Kulineran di Gresik nasi krawu

Culture Shock yang Saya Alami Saat Kulineran di Gresik

28 Juli 2022
Mempertanyakan Mengapa Santri Dilarang Punya Rambut Gondrong terminal mojok.co

Logika New Normal Jelas Nggak Cocok sama Kehidupan Pesantren, Titik!

13 Juni 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop Mojok.co

4 Alasan Saya Lebih Memilih Ice Americano Buatan Minimarket ketimbang Racikan Barista Coffee Shop

4 Desember 2025
Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka Mojok.co

Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka

1 Desember 2025
3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

30 November 2025
Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern Mojok.co

Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern 

5 Desember 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
QRIS Dianggap sebagai Puncak Peradaban Kaum Mager, tapi Sukses Bikin Pedagang Kecil Bingung

Surat untuk Pedagang yang Masih Minta Biaya Admin QRIS, Bertobatlah Kalian, Cari Untung Nggak Gini-gini Amat!

5 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.