7 Fakta Sisi Gelap Negara Jepang: Dari Industri Seks hingga Gelandangan

7 Fakta Sisi Gelap Negara Jepang: Dari Industri Seks hingga Gelandangan Terminal Mojok.co

7 Fakta Sisi Gelap Negara Jepang: Dari Industri Seks hingga Gelandangan (Unsplash.com)

Negara Jepang memang dikenal sebagai negara yang disiplin, jujur, dan taat aturan. Meskipun masyarakatnya homogen, ketertiban negara tersebut memang boleh diacungi jempol. Namun, fakta-fakta tentang sisi gelapnya negara Jepang juga tak kalah mengejutkan. Fakta tentang Jepang ini tentu saja tak akan diungkap Jerome Polin di vlog-nya. Lantas, fakta apa saja kah itu? Mari kita simak, ya!

#1 Industri seks

Industri JAV adalah salah satu sisi gelap Jepang yang mendunia. Kalau tahu Kakek Sugiono, bisa “dipastikan” bahwa orang tersebut pernah menonton film dewasa buatan Jepang. Di Jepang, komik, buku, maupun film berisi konten dewasa memang tak dilarang, tetapi dibatasi. Hanya yang sudah berusia 18 tahun ke atas yang boleh membelinya.

Fenomena joshi-kousei (siswi SMA) juga termasuk salah satu sisi gelap dalam dunia industri hiburan Jepang. Entah mereka beneran siswi SMA atau perempuan dewasa yang menyamar, faktanya di “lokalisasi” Tokyo banyak sekali perempuan berkostum siswi SMA menawarkan “paket hiburan” ini. Tak kalah di situ, lelaki “penghibur” yang berdandan sangat keren juga ikut menarik perhatian.

Gunung Fuji (Unsplash.com)

#2 Bullying (ijime)

Di balik disiplin dan mandirinya anak sekolah Jepang, ada fakta mengejutkan bahwa hampir setiap anak pernah mengalami bullying di sekolahnya, baik verbal maupun secara tindakan. Yang paling banyak adalah siswa kelas 2 SD (data pada 2019, sebanyak 96.366 siswa kelas 2 SD mengaku pernah mengalami bullying). Menurut data juga, dibanding siswa SMP dan SMA, siswa SD justru lebih banyak yang mengalaminya, lho. Nobita, salah satunya. Sedih, ya.

Hal yang lebih parah lagi, budaya bullying sudah ada sejak dulu, bahkan sampai ada yang melakukan bunuh diri. Mereka meninggalkan suicide note dan menulis kalau mereka mengalami bullying. Lantas, apakah pelaku bullying bisa dipenjara? Tentu saja tidak semuanya bisa dikenakan pasal hukum yang berlaku.

#3 Pelecehan seksual

Selain budaya patriarki yang dipegang erat Jepang sampai sekarang, kenyataan bahwa Jepang masih bias terhadap perempuan memang tak bisa dimungkiri. Meski mengalami pelecehan seksual di tempat kerjanya, banyak perempuan yang malu dan takut untuk speak up.

Banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual di kereta saat jam-jam sibuk. Saat melapor ke polisi, urusannya panjang dan malah ribet sendiri jadinya. Oleh karena itu, banyak perempuan yang akhirnya tak melaporkannya. Meski sebetulnya ada solusi dari pemerintah dengan menyediakan gerbong khusus perempuan dan sedikit mengurangi kasus pelecehan ini, tapi itu tidak berdampak terlalu besar.

Hal pang paling mengejutkan adalah banyaknya pencurian pakaian dalam perempuan. Tak jarang, ini dilakukan ke perempuan yang tinggal sendiri atau justru malah sudah berkeluarga. Meskipun begitu, hal tersebut juga tak dilaporkan ke polisi.

Tokyo, Jepang (Unsplash.com)

#4 Aman, sih, tapi tetap ada kriminalitas

Seaman-amannya Jepang, tetap saja ada kriminalitas, kok. Banyak kisah yang menceritakan pengalaman bagaimana dompet yang hilang bisa kembali ke alamat pemilik dan itu bukan kebohongan. Tapi ya harus digaris bawahi juga, nggak semua juga akan kembali atau kalaupun kembali, bisa jadi isi uang dalam dompetnya hilang.

Saya setidaknya pernah mengalami payung dan barang belanjaan yang ditaruh keranjang sepeda di parkiran tahu-tahu hilang. Kaget dong, katanya aman, kan? Atau uang yang saya tarik dari ATM tetapi lupa saya ambil, ya akhirnya hilang diambil orang lain. Lapor polisi, ya hanya sekadar mengisi laporan. Apes.

Oh iya, sekalinya ada kasus kejahatan, biasanya sangat freak, sih. Masih ingat soal kasus Joker yang mengacau di kereta Jepang? Banyak kasus serupa juga, lho. Horor, ya.

#5 Jaga jarak dengan orang asing

Kalau ini sih, harus siap mental sebelum merantau ke negara Jepang. Diskriminasi sih nggak, tetapi mereka memilih untuk jaga jarak dengan orang asing. Kalau yang nggak terpaksa sekali, mereka memilih nggak berurusan. Ini antara mereka nggak percaya diri atau memang nggak mau repot, sih. Atau ya memang dasar orang Jepang itu individualismenya tinggi.

Selama kuliah di Jepang, saya punya teman Jepang yang sedikit. Alasan kesibukan dan kendala bahasa mungkin menjadi alasan mereka susah bergaul dengan orang asing. Bagi pekerja migran pun sama. Butuh waktu lama agar pekerja Jepang bisa “menerima” pekerja migran asing. Jadi, nggak usah kaget.

Saya sendiri pernah diomel-omeli oleh kakek Jepang entah karena alasan apa. Saya dan teman juga pernah “dimarahi” oleh pria paruh baya di dalam bus yang berpenumpang sedikit. Ini agak serem, sih.

#6 Gila kerja

Sebenarnya kalau urusan kerja, orang Jepang itu terkenal sebagai pekerja keras. Namun di sisi lain, mereka terkesan ambisius dan menggebu-gebu. Bekerja maksimal saat jam kerja itu memang sudah seharusnya, tetapi kalau di luar jam kerja dan nggak dibayar itu bukanlah hal lumrah. Minum-minum setelah kerja atau main golf saat weekend adalah “budaya kerja” mereka. Sesekali sih oke, kalau tiap hari ya capek juga.

Oleh karena itu, pemandangan salaryman yang tertidur mabuk di stasiun daerah Tokyo bisa jadi hal biasa. Pulang kerja masih berjas rapi jam 1 pagi itu juga biasa. Nggak heran sih kalau akhirnya banyak pekerja Jepang yang meninggal dunia karena kelelahan bekerja (karoushi).

Orang Jepang suka jalan kaki (Unsplash.com)

#7 Gelandangan

Tadinya saya pikir negara Jepang adalah negara maju yang rakyatnya nggak mungkin ada yang miskin. Akan tetapi, pemikiran itu hilang saat melihat sendiri ternyata ada tuna wisma di Osaka dan Tokyo. Siang hari mereka mungkin “bersembunyi”, tetapi saat malam hari mereka mulai tidur di bawah jembatan layang, stasiun, bantaran sungai, atau taman kota. Berita tentang pemerintah Jepang yang menertibkan gelandangan di Tokyo menjelang olimpiade Tokyo kemarin juga sempat viral, kok.

Kota Kamagasaki (berganti nama menjadi: Airin-chiku) yang terletak di Nishinari-ku, Osaka juga menjadi topik kalau membicarakan kemiskinan di Jepang. Kalau merunut sejarahnya, pada 1960-an Kamagasaki merupakan tempat para pekerja buruh harian lepas seluruh Jepang yang ingin mencari pekerjaan harian. Mereka merupakan pekerja non terampil sehingga rela dibayar murah. Menurut data, pada 2012 – 2016 ada sekitar 6.235 “tuna wisma” yang tersebar di seluruh Jepang dan terbanyak ada di Osaka dan Tokyo.

Agak miris, sih, karena sebenarnya di Jepang juga banyak lowongan pekerjaan. Akan tetapi, lagi-lagi kalau tanpa ketrampilan, tentu saja nggak bisa dipekerjakan. Alih-alih, pemerintah Jepang malah “mengimpor” pekerja asing padahal banyak pengangguran.

Setidaknya 7 fakta tersebut mengingatkan kita bahwa di balik indahnya wisata dan majunya negara Jepang, ada sisi gelap yang menjadi persoalan tersendiri.

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Audian Laili

BACA JUGA Perbedaan Starbucks di Jepang dan Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version