Kenapa, sih, manusia itu suka sekali membanding-bandingkan? Bahkan untuk sesuatu yang nggak urgent untuk dibandingkan, lalu berlanjut pada perdebatan yang tak berujung. Sejak manusia dilahirkan, kalimat-kalimat pembanding tak henti-hentinya terlontar dari mulut-mulut tak berperasaan. Salah satu bentuk membanding-bandingkan itu lahir dalam bentuk mom shaming.
Para ibu, terutama new mom, tentu sudah khatam dengan hal ini karena new mom merupakan sasaran empuk untuk dibanding-bandingkan. Bayangkan, perempuan yang baru punya bayi sangat rentan mengalami baby blues, tapi masih harus menguatkan mental untuk meladeni perdebatan yang hanya menguras emosi. Berikut adalah top 5 topik terhangat mom shaming di kalangan ibu-ibu abad ini.
#1 ASI vs susu formula
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ASI eksklusif adalah yang terbaik untuk bayi, tapi mbok ya sudah gitu, lho. Kalau ada seorang ibu yang terpaksa memberikan susu formula kepada bayinya karena suatu hal, hendaknya kita menjadi pihak yang suportif. Sayangnya, sejauh yang saya lihat, alih-alih dukungan positif, para ibu sufor justru lebih banyak mendapat mom shaming.
Begini, lho. Boleh banget memberikan edukasi tentang pentingnya ASI, manfaat ASI, serta tips dan trik agar ASI lancar. Tapi ternyata di lapangan banyak yang belum paham bahwa mengedukasi dan menghakimi itu berbeda. Saya pernah melihat seseorang berujar, “Kasihan sekali bayimu nggak mendapatkan haknya minum ASI” atau “Kamu kurang usaha, makanya ASI-mu nggak keluar.” Bahkan ada yang lebih nyelekit lagi, “Bayimu kok minumnya susu sapi? Itu anak manusia atau anak sapi?”
Ujaran-ujaran tak bertanggung jawab semacam itu rasanya seperti peluru yang menembus hati para ibu sufor. Sakitnya tak terhingga. Padahal menurut cerita teman-teman saya, mereka itu bukannya tak berusaha, hanya saja mereka memilih keputusan terbaik yang bisa mereka ambil. Lantas, bagaimana dengan para ibu yang memiliki kondisi khusus, di mana mereka memang tak bisa menyusui? Apakah mereka masih pantas dihakimi?
#2 Melahirkan “normal” vs caesar
Lho, memangnya ada proses kelahiran yang dilakukan secara nggak normal? Bukankah yang nggak normal itu kalau bayi lahir dengan cara dilepeh atau membelah diri?
Nggak ada yang salah dengan operasi caesar, toh sama-sama bertujuan menyelamatkan ibu dan bayi. Namun, sering kali ibu-ibu yang melahirkan pervaginam (baca: normal) merasa paling superior dan meremehkan para ibu yang melahirkan secara caesar. Haduh, jahitan di perut belum juga kering, sudah mendapat nyinyiran, “Kasihan banget ya kamu nggak bisa ngerasain jadi perempuan seutuhnya.” Ooo, your eyes!
#3 Ibu rumah tangga vs ibu bekerja
Ini dia topik perdebatan paling panas abad ini, tak lain dan tak bukan adalah IRT versus working mom. Sejauh ini, IRT dianggap bukan pekerjaan karena nggak menghasilkan uang dan hanya bergantung pada penghasilan suami. Padahal kenyataannya, menjadi ibu rumah tangga itu sangat melelahkan dan menjenuhkan karena aktivitasnya berulang dan nggak ada habisnya, dari pagi sampai pagi lagi.
Eits, ibu rumah tangga juga ada, lho, yang menganggap working mom itu egois karena sehari-hari bekerja selama 8-9 jam, sedangkan biasanya anak diasuh oleh nanny atau ART. Saya cuma bisa mbatin, kalau working mom itu egois, kenapa pula mereka repot-repot bekerja? Kalau suaminya sekaya Ardi Bakrie, sih, pasti mereka lebih memilih di rumah saja seperti imbauan pemerintah, sambil momong anak. Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan para ibu memilih bekerja justru demi anak. Biaya hidup semakin mahal, dan sebagai orang tua tentu harus aware akan hal ini karena ada dana pendidikan anak juga harus disiapkan. Working mom juga mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup mereka, yaitu waktu bersama anak.
#4 MPASI homemade vs MPASI instan
Mungkin yang ini agak masuk akal, ya, karena dalam pikiran orang awam, makanan yang dimasak sendiri pasti lebih baik daripada makanan instan. Tapi, apakah benar seperti itu?
Kenyatannya, MPASI instan sangat aman dan direkomendasikan. Embel-embelnya memang instan lantaran penyajiannya praktis, cukup dengan diseduh saja, tapi kandungan gizinya nggak kalah dengan MPASI yang dimasak sendiri. Walaupun buatan pabrik, tentunya kebersihan dan kualitasnya sangat terjaga, serta menggunakan bahan-bahan yang aman untuk bayi. Selain itu, untuk membuat MPASI instan atau MPASI terfortifikasi, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar sesuai dengan standar dari WHO.
#5 Popok sekali pakai vs clodi
Apa ini? Perkara sesuatu yang digunakan untuk menampung kotoran bayi juga dipermasalahkan?
Sebelum mempunyai anak, saya juga kurang paham masalah beginian, tapi ternyata beneran ada, lho. Ibu-ibu yang mengaku sebagai pemerhati lingkungan pasti mengutuk ibu-ibu lain yang menggunakan popok sekali pakai (pospak) karena dianggap menimbun sampah sehingga mencemari lingkungan. Tentu hal tersebut nggak salah, mengingat bumi kita sudah menampung banyak sekali sampah. Penggunaan popok kain atau clodi merupakan alternatif agar urusan buang hajat bayi tetap berjalan lancar dan kita nggak terlalu banyak nyampah.
Saya sendiri termasuk golongan ibu yang memilih pospak semata-mata untuk mengejar tujuan praktis, agar nggak perlu repot cuci-cuci popok karena bayi berekskresi berkali-kali dalam sehari. Pospak sangat membantu menjaga kewarasan para ibu, terutama yang nggak memiliki asisten rumah tangga.
Secara naluriah, seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Sudah saatnya kita menghentikan budaya mom shaming yang memecah belah kaum ibu. Kita nggak tahu sejauh mana mereka berjuang untuk tetap waras. Ironisnya, yang menciptakan versus-versusan seperti di atas adalah sesama ibu. Padahal saya yakin, dunia akan sangat indah apabila kita sebagai perempuan saling mendukung satu sama lain, biar nggak ada lagi ungkapan, “Woman support woman, tapi yang satu circle doang.”
BACA JUGA Bagaikan Template, Berikut Tipe Postingan New Mom di Media Sosial yang Sering Kita Temui dan tulisan Dini Sukmaningtyas lainnya.