5 Privilese Orang Desa yang Nggak Dimiliki Orang Kota

5 Privilese Orang Desa yang Nggak Dimiliki Orang Kota Terminal Mojok

5 Privilese Orang Desa yang Nggak Dimiliki Orang Kota (Unsplash.com)

Ini yang dirasakan orang desa dan nggak bisa dirasakan orang kota.

Bicara mengenai letak geografis pedesaan dan perkotaan, banyak orang yang seolah-olah meromantisasi kehidupan di kota. Katanya, di kota segalanya serba mudah, serba mewah, dan serba-serba lainnya. Sementara pedesaan dianggap sebagai lokasi yang tertinggal dan nggak menguntungkan, sehingga sering dianaktirikan.

Sebagai orang yang lahir, besar, dan hidup di desa—walau kini harus pindah ke kota untuk menyelesaikan pendidikan—saya ingin menjelaskan bahwa tinggal di desa merupakan sebuah hak istimewa atau privilese. Saya juga telah bertanya pada teman-teman saya yang berasal dari berbagai desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mengenai privilese yang juga mereka rasakan sebagai orang desa. Dan inilah beberapa privilese orang desa yang nggak dirasakan oleh orang kota.

#1 Punya rumah mewah

Kebanyakan rumah orang desa seperti saya nggak memiliki banyak lantai dan juga nggak tinggi. Namun, rumah kami mewah alias mepet sawah. Nggak semuanya mepet sawah, sih, ada juga yang mepet kebun dan mepet laut. Ini patut disyukuri mengingat jarak rumah kami dengan tempat melepas penat alias healing relatif lebih dekat.

Orang-orang kota biasanya healing ke tempat-tempat wisata alam. Misalnya orang kota Jogja, pengin healing ke daerah Gunungkidul yang masih banyak wisata alamnya seperti pantai atau goa. Ada juga orang kota yang sengaja datang ke desa untuk melihat hijaunya persawahan. Tentu hal ini nggak bakal repot-repot dilakukan orang Gunungkidul sendiri yang rumahnya memang sudah berdekatan dengan pantai atau dekat sawah.

#2 Harga kebutuhan pokok murah

Tanah pedesaan yang begitu subur membuat penduduknya nggak pernah khawatir akan kebutuhan pangan. Pangan adalah kebutuhan nomor satu dalam kehidupan. Kami yang tinggal di desa nggak perlu repot-repot pergi ke mal untuk memperoleh bahan makanan. Cukup datang ke warung kelontong terdekat yang harga jualnya juga jauh lebih murah ketimbang harga di toko besar.

Kadang, kami pun nggak perlu membeli bahan makanan. Kebutuhan pangan kami sudah disediakan oleh alam. Buah-buahan, sayur-sayuran, hingga lauk pauk bisa kami dapatkan dari rumah dengan menanam dan beternak. Memang pilihannya yang terlalu banyak, tapi setidaknya cukup untuk menghilangkan lapar.

#3 Lingkungan yang asri dan nggak sesak

Lingkungan di pedesaan yang nggak banyak diubah manusia membuat suasana di sana tetap asri dan sejuk. Nggak ada polusi udara yang bisa sampai mengubah warna langit dari biru jadi kelabu. Di desa, masih banyak orang yang menggunakan sepeda atau bahkan berjalan kaki untuk pergi ke suatu tempat. Di desa juga nggak ada cerobong asap pabrik.

Merasakan sesaknya kota tiap jam berangkat dan pulang kerja kadang membuat saya rindu untuk pulang kampung. Di desa jelas nggak pernah terdengar suara klakson yang bersahutan hanya karena buru-buru untuk sampai di tempat tujuan. Pun nggak ada antrean kendaraan mengular di jalan raya.

#4 Rumah yang ramah

Saya kira ungkapan “kehidupan di kota itu keras” adalah salah, namun ternyata ada benarnya. Keras di sini dalam artian kehidupan yang individualis. Terkadang, masih ada orang yang nggak kenal dengan tetangganya sendiri di kota, padahal di desa nggak demikian. Kami bahkan bisa mengenal dan tahu tetangga dari desa lain.

Oleh karena itulah, tempat paling ramah untuk pulang adalah desa. Dengan kebiasaan mengenal tetangga, silaturahmi akan terjalin. Ketika silaturahmi terjalin, rasa persaudaraan dan simpati yang besar tentu akan muncul.

#5 Lekat dengan kegiatan keagamaan

Setiap rumah di desa, khususnya di kampung halaman saya di Kabupaten Bangkalan, lazim memiliki langgar terpisah dari rumah. Bangunan langgar dijadikan sebagai tempat ibadah orang-orang di rumah tersebut. Selain difungsikan sebagai tempat ibadah, langgar juga biasa dijadikan tempat berkumpulnya tokoh agama dan sesepuh dengan penyelenggara acara. Biasanya, setiap ada peringatan tertentu ahlul bait akan mengundang para tetangga untuk berdoa dan makan bersama. Misalnya, peringatan Maulid Nabi, haul, yasinan, dan tahlilan.

Itulah lima privilese orang desa yang tentunya nggak bisa dirasakan orang kota. Kelima hal di atas pula yang jadi alasan kami betah tinggal di desa. Sebenarnya dari sekian banyaknya kekurangan maupun kelebihan tinggal di desa, yang menentukan betah atau nggaknya adalah individu masing-masing. Nggak ada yang salah dengan tinggal di desa atau kota, toh kita sendiri yang menjalaninya.

Penulis: Siti Nurkhalishah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version