5 Orang yang Seharusnya Nggak Naik Bus Ponorogo-Trenggalek

5 Orang yang Seharusnya Nggak Naik Bus Ponorogo-Trenggalek Terminal Mojok

5 Orang yang Seharusnya Nggak Naik Bus Ponorogo-Trenggalek (Unsplash.com)

Sebagai warga asli Ponorogo yang dapat pekerjaan di Trenggalek, saya terhitung amat sering menaiki bus jurusan Ponorogo-Trenggalek. Setidaknya dua minggu sekali saya pasti pulang kampung. Sebanyak itu pula lah kesempatan bagi saya untuk menaiki bus, kecuali di saat-saat tertentu ketika saya memutuskan untuk mengendarai sepeda motor.

Satu-satunya transportasi umum yang tersedia antara Ponorogo dan Trenggalek hanya bus. Sayangnya, bus yang tersedia berukuran kecil. Hanya memiliki sekitar tujuh baris bangku penumpang. Kendati demikian, saya nggak pernah berdiri karena nggak kebagian bangku, sebab penumpangnya pun sedikit.

Selain berukuran kecil, bus Ponorogo-Trenggalek juga banyak yang kurang layak. Hal ini juga dikeluhkan sebagian orang yang sering menaiki bus tersebut. Kendati merepotkan dan nggak nyaman selama perjalanan, pada akhirnya orang-orang akan tetap memilih menaiki bus ini. Soalnya, nggak ada pilihan bus lain yang lebih besar dan layak. Bus yang di belakangnya pun biasanya baru berangkat dua jam kemudian. Lagi pula belum tentu kondisinya lebih baik daripada yang ada di depan mata.

Mengingat banyaknya kekurangan bus jurusan Ponorogo-Trenggalek tersebut, saya merangkum lima orang yang sebaiknya nggak naik bus itu.

#1 Orang yang tensinya rendah

Sebagai orang yang langganan tensinya rendah, terutama saat menstruasi tiba, saya pernah punya pengalaman buruk saat naik bus Ponorogo-Trenggalek. Hari itu adalah jadwal saya pulang kampung. Sebenarnya tensi saya sudah mulai beranjak normal. Sakit kepala yang menyerang dua hari lalu sudah mulai membaik. Makanya saya memutuskan pulang ke Ponorogo untuk bertemu keluarga.

Sayangnya, saya dapat bus yang dikatakan jelek saja belum bisa. Komponen-komponen besi penyusun bus tua yang katanya beroperasi sejak sebelum saya lahir itu seolah-olah mau mrotol satu per satu ketika dijalankan. Suara gemrodok dari getaran komponen bus mengalahkan suara Christina Perri yang menyanyikan lagu “Human” di earphone meskipun volume sudah saya setel maksimal.

Shock ban belakang pun terasa sudah nggak baik-baik saja. Ketika menghantam jalan berlubang, terasa sekali ambyarnya otak yang berada di dalam tempurung kepala saya. Rasanya seperti telur yang mau diceplok. Alhasil, selama perjalanan saya cuma bisa memegangi kepala sambil sesekali mengoleskan FreshCare. Dalam hati saya berdoa agar perjalanan menyedihkan ini segera berakhir.

#2 Orang yang tensinya tinggi

Orang yang tensinya tinggi juga sebaiknya nggak usah naik bus Ponorogo-Trenggalek. Emosi mereka bakal cepat sekali naik menahan segala ketidaknyamanan yang ada di bus ini. Pernah suatu kali saya mendengar omelan seorang penumpang karena di-PHP sama sopir bus. Ibu ini dijanjikan bus akan berjalan satu jam lagi. Nyatanya bus baru berjalan dua jam kemudian. Padahal perjalanan dari Ponorogo ke Trenggalek hanya memakan waktu satu setengah jam, lho.

Kejadian selanjutnya terjadi waktu bus yang sudah melaju hampir lima belas menit, memilih untuk putar balik dan kembali ke titik sebelumnya. Ternyata alasannya adalah menjemput dua penumpang yang ada di sana. Kebetulan di titik pemberhentian sebelumnya ada seorang bapak-bapak yang menyimpan nomor sopir bus. Harap bersabar ya, pemirsa.

Selain itu, bus ini juga sering ngetem hingga lima belas menit lamanya di Perempatan Jenes dan Pasar Sawo. Alhasil, tempo perjalanan jadi membengkak dua jam.

#3 Orang yang perhitungan

Orang yang selanjutnya nggak usah naik bus Ponorogo-Trenggalek adalah orang yang perhitungan. Wah, bisa sakit hati tujuh turunan nanti. Gini, harga tiket bus dari Ponorogo ke Surabaya itu sekitar Rp36.000 untuk bus biasa. Padahal dari Ponorogo ke Surabaya butuh waktu sekitar lima jam perjalanan dan melewati enam kabupaten. Sementara itu, harga tiket bus Ponorogo-Trenggalek Rp30.000 untuk perjalanan satu setengah jam. FYI, dua kabupaten ini bersebelahan, lho!

Itu sih belum seberapa. Pernah juga saat jumlah penumpang hanya ada empat orang, kondektur bus terang-terangan meminta kelebihan harga daripada biasanya. Alasannya penumpang hanya sedikit dan nggak cukup untuk membeli solar. Nampak sekali kejujuran dari raut kondektur yang sudah tua itu. Akhirnya dengan berat hati saya rogoh kocek Rp40.000 untuk membayar bus yang saya tumpangi.

Namun, kejadian ini amat jarang dijumpai. Selama tiga tahun terakhir, untungnya saya baru mengalaminya dua atau tiga kali saja.

#4 Orang yang nggak tahan panas

Namanya saja bus kecil dengan rute pendek, sudah pasti nggak akan ada AC yang terpasang. Suhu di dalam bus hampir sama panasnya dengan suhu udara di luar, lho! Tapi, ada bantuan angin yang menerobos melalui pintu yang selalu terbuka dan sela-sela jendela. Selama ini sih saya mengakalinya dengan berangkat pagi atau sore sekalian, biar nggak terlalu kepanasan gitu.

#5 Orang yang nggak tahan hujan

Hah? Di dalam bus kok nggak tahan hujan? Jadi begini, sulit untuk dikatakan bahwa sebagian bus bakal mengalami kebocoran saat hujan. Ada kalanya air menetes dari atap yang berlubang, dari lubang AC yang entah buat apa, atau sela-sela jendela yang nggak tertutup rapat. Maklum, busnya kan banyak yang sudah tua.

Suatu kali di musim hujan, hujan turun dengan derasnya. Kebetulan saya duduk di tempat yang bocor. Sebenarnya air yang menetes nggak banyak, tapi lama-kelamaan ya bakal basah kuyup juga. Akhirnya saya terpaksa pindah dari satu bangku ke bangku lain. Jaket saya sudah hampir basah lantaran hampir seluruh bagian bus mengalami kebocoran. Namun, rasa dongkol saya sirna begitu melihat separuh badan sopir bus basah kuyup. Tentu saja sopir nggak bisa pindah tempat untuk menghindari kebocoran. Saya membayangkan blio masih harus nyetir untuk kembali ke Ponorogo baru bisa mengganti pakaiannya yang basah.

Itulah lima jenis orang yang seharusnya nggak naik bus Ponorogo-Trenggalek. Namun, jika terpaksa harus naik bus lantaran nggak ada pilihan lain ya nggak apa-apa. Saya sudah membuktikannya, kok. Pokoknya kuatkan mental selama perjalanan. Anggap saja dengan menaiki bus itu kita turut berbagi rezeki dengan pak sopir dan kondektur.

Penulis: Rezha Rizqy Novitasary
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version