Saya baru saja membaca tulisan berjudul “Alasan Saya Lebih Suka Ambil Uang di ATM Indomaret”. Sebuah tulisan yang ringan, menyenangkan, dan jujur—mirip obrolan iseng di warung kopi yang ujung-ujungnya malah bikin mikir. Mbak Intan menuliskan dengan penuh percaya diri bahwa mengambil uang di ATM minimarket, khususnya yang berlogo Domar, adalah pilihan hidup yang lebih aman, praktis, dan efisien.
Saya akui, argumennya cukup masuk akal. Bahkan, saya sempat hampir mengangguk-angguk saat membacanya.
Tulisan itu sukses membuat saya refleksi. Sebagai orang yang juga cukup sering narik uang di minimarket, saya mendapati banyak kesamaan dengan apa yang Intan rasakan. Apalagi kalau pas mepet belanja tapi saldo dompet tinggal plastik member. ATM dalam minimarket terasa seperti oasis kecil dalam gurun dompet kering. Sekali berhenti, bisa ambil uang, beli teh kotak, dan sekalian ngadem. Multitasking kelas ekonomi rakyat jelata.
Tapi, seperti hubungan LDR yang kelihatannya manis di awal namun ternyata penuh ujian, pengalaman ambil uang di ATM minimarket juga nggak semanis itu. Ada sisi-sisi gelap yang jarang dibicarakan. Bukan soal mesin yang error atau saldo yang mengejutkan, tapi hal-hal sepele yang bisa bikin urusan tarik tunai berubah jadi pengalaman yang bikin dongkol. Di tulisan ini, saya cuma mau ngasih sudut pandang lain, biar kita nggak terlalu larut dalam euforia tarik uang sambil beli ciki.
Ada tukang parkir, membuat saya dua kali mikir
Salah satu kelemahan paling nyata kalau ambil uang di ATM minimarket adalah kehadiran makhluk paling tangguh di peradaban urban: tukang parkir. Entah dari mana asalnya, tapi mereka selalu sigap muncul saat motor atau mobil kita baru saja direm pelan di depan minimarket. Bahkan kadang lebih dulu menyambut dari pada satpam atau kasir.
Bukan berarti saya pelit. Apalagi anti terhadap profesi tukang parkir. Mereka pun cari nafkah, saya paham betul. Tapi bayangkan, cuma mau ambil uang sebentar, motor nggak sempat dimatikan, dompet belum ada isinya, eh pas balik malah harus bayar parkir. Ironis sekali rasanya: baru ambil duit, langsung keluar lagi dua ribu. Itu belum kalau kita mampir ke minimarket lain setelahnya. Kalau sehari mampir tiga kali, ya habis juga buat retribusi informal.
Kadang saya mikir, kenapa ATM di dalam minimarket ini terasa seperti jebakan kecil buat dompet yang sedang sekarat. Mau nggak bayar parkir, rasa bersalah menyerang. Mau bayar, tapi uangnya juga masih di dalam mesin. Jadilah kita terjebak dalam dilema moral-finansial yang nggak pernah diajarkan di pelajaran PPKn. Dan sialnya, kalau bilang “nggak usah dijagain, Mas, saya cuma bentar”, kadang dijawab dengan senyuman tipis penuh kode: “Nggak papa, Mas, yang penting ikhlas.” Nah lo.
Kartu ATM sering tertelan, dan itu bukan mitologi
Kalau kamu pikir mitos paling menakutkan itu cuma pocong di pojokan kamar mandi atau suster ngesot di lorong rumah sakit, berarti kamu belum pernah ngalamin kartu ATM tertelan di mesin yang nempel di tembok minimarket. Ini bukan kisah horor, ini kenyataan. Dan rasanya? Campuran antara panik, malu, dan dongkol: apalagi kalau di belakang kita sudah ada antrean emak-emak yang bawa dua anak kecil dan keranjang belanja.
Entah kenapa, mesin ATM minimarket kadang suka punya mood swing. Baru aja dimasukin kartu, bukannya nyambut dengan layar selamat datang, malah langsung gelap dan diam membisu kayak mantan yang blokir WA. Kita tekan-tekan tombol, berharap ada reaksi, tapi nihil. Ujung-ujungnya, kartu lenyap ditelan dan nggak dikembalikan. Dan masalahnya, ini sering terjadi tanpa aba-aba. Tidak ada countdown, tidak ada bunyi peringatan. Pokoknya hilang aja.
Masalahnya bertambah karena tidak semua minimarket punya petugas yang paham cara bantu. Biasanya cuma disuruh “hubungi bank-nya aja ya, Mas”. Ya, terima kasih atas saran yang sangat… standar. Padahal, pada hari itu, kita cuma ingin ambil duit buat beli telur dan sabun. Tapi malah pulang dengan tangan kosong dan mental retak. Mau marah ke siapa juga bingung karena pelakunya cuma mesin tanpa perasaan.
Jadi tergoda belanja, padahal cuma mau ambil uang di ATM minimarket
Awalnya niat cuma satu: ambil uang. Tapi, seperti mantan yang ngajak balikan tiba-tiba, godaan itu muncul begitu saja. Begitu kaki menginjak lantai minimarket, suasananya langsung berubah. AC sejuk, lampu terang, rak penuh makanan ringan dengan diskon menggiurkan. Tau-tau, bukannya keluar sambil megang uang tunai dan semangat baru, kita malah keluar sambil nenteng dua bungkus keripik, sabun cair ukuran promo, dan satu botol kopi susu yang nggak kita butuhkan, tapi terlihat gemes banget.
Inilah salah satu jebakan paling lihai dari ATM minimarket. Mesin uang itu diletakkan persis di dalam semesta penuh godaan impulsif. Apalagi kalau habis tarik tunai, duit masih anget di tangan. Rasanya kayak dapet warisan dadakan: semua barang terlihat bisa dibeli, semua promo terlihat masuk akal. Padahal, di rumah stok sabun cair masih ada, dan camilan pun masih setengah stoples.
Kadang saya mikir, mungkin inilah kenapa bank dan minimarket saling bekerja sama. Satu ngasih duit, satu lagi langsung bantu ngabisin. Saling mengisi, saling melengkapi. Dan kita, rakyat biasa, jadi korban dari kolaborasi yang terlalu rapi ini. Jadi kalau kamu pernah merasa uangmu cepat habis setelah “cuma ambil ATM”, percayalah: kamu tidak sendiri. Kita semua pernah jadi korban “jebakan” visual merchandising ini.
Privasi transaksi yang tipis kayak tisu
Di antara banyak hal yang bikin tarik tunai di ATM minimarket terasa kurang nyaman, privasi adalah salah satu yang paling sering dikorbankan. Gimana nggak, mesin ATM biasanya diletakkan di pojokan sempit yang hanya dibatasi sekat tipis—kalau ada. Seringkali, kita berdiri tarik uang sambil punggung kita nyaris bersentuhan dengan pengunjung lain yang lagi antre beli pulsa atau ngambil roti sobek.
Saat kita sibuk pencet-pencet PIN, di belakang ada ibu-ibu yang ngintip sisa saldo kita dari pantulan kaca kulkas minuman. Belum lagi kalau mesin ATM-nya agak berisik. Suara mesin yang keras saat ngeluarin uang kadang mengundang perhatian satu ruangan, seakan-akan panggilan buat semua orang nengok ke arah kita.
Saya sering merasa sedang jadi tontonan gratis. Bukan karena terkenal, tapi karena posisi ATM-nya strategis banget buat diliatin. Kita nggak bisa santai, apalagi mikir lama. Salah masuk PIN dua kali aja udah bikin deg-degan, karena sadar ada dua pasang mata di belakang yang mulai gelisah, satu pasangan tangan bersilang, dan satu motor yang udah nyala sejak tadi.
Maka dari itu, kalau kamu tipe yang butuh waktu berpikir sebelum tarik uang, ATM minimarket bukan tempat ideal buat kamu. Di sana, kamu cuma dikasih waktu berpikir secepat harga promo berakhir.
Antrean ATM minimarket yang nggak masuk akal
Fenomena antrean di ATM minimarket kadang terasa seperti misteri kosmis yang belum bisa dijelaskan ilmu pengetahuan modern. Jumlah mesinnya cuma satu, ruang tunggunya sempit, tapi jumlah pengantre bisa mengular sampai depan rak detergen. Kadang kita udah niat datang pagi biar sepi, eh ternyata ada bapak-bapak pakai sarung yang dari tadi mondar-mandir sambil pegang slip transfer. Belum selesai. Setelah dia, muncul mbak-mbak yang transaksi lima kali berturut-turut. Kita yang cuma mau ambil seratus ribu jadi kelihatan seperti pengganggu profesional.
Yang bikin tambah gemas, ada pula yang kelamaan karena baca petunjuk di layar satu per satu, seakan mesin ATM itu portal menuju ujian nasional. Sambil sesekali nengok ke belakang dan bilang “bentar ya, Mas”, tapi tetap lanjut pencet-pencet sambil mikir. Padahal kita di belakang udah pasrah, ngelus dada sambil mainin ujung kuitansi ATM kemarin.
Belum lagi kalau ternyata setelah menunggu 15 menit, mesinnya tiba-tiba ngambek: “Maaf, transaksi tidak dapat diproses.” Nah lo. Dan karena cuma ada satu mesin, nggak ada pilihan buat pindah ke unit sebelah. Rasanya kayak masuk bioskop buat nonton film favorit, tapi malah dapet bangku rusak paling pojok. Mau marah, tapi ke siapa?
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Aturan Tidak Tertulis Saat Pakai Mesin ATM, Salah Satunya Adalah kalau Ngitung Uang, Minggir!




















