Komunikasi itu sangat penting. Saking pentingnya sudah jadi sebuah cabang keilmuan sejak ribuan tahun yang lalu. Termasuk di Pandeglang yang sedang diklaim beberapa sejarawan sebagai pemilik kerajaan pertama dan tertua yang lahir di Nusantara. Gaya Komunikasi Pandeglang punya keunikan tersendiri.
Di bawah panji Salaka Nagara, Pandeglang diklaim telah memiliki peradaban sejak abad ke 2 Masehi. Nyontek dari M. Abdul Karim, peradaban merupakan khazanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan sanggup berlangsung terus-menerus. Produk peradaban Pandeglang yang saya maksud adalah gaya komunikasinya yang bisa kita lihat dari beberapa istilah-istilah khas. Perlu teman-teman ketahui, ada lima gaya komunikasi Pandeglang yang paling dahsyat.
Gaya komunikasi Pandeglang #1 Harewos Bojong
Saya sendiri lahir di area kode pos 42274 ini. Jadi saya cukup hafal soal perilaku harewos Bojong. Istilah “harewos” dalam bahasa Indonesia berarti ‘bisikan’. Jadi, Harewos Bojong adalah “bisikan orang-orang Bojong”. Harewos Bojong adalah interpretasi dari orang-orang Bojong yang suka berbisik. Begini, saya jelaskan.
Cewek : “Kamu tahu nggak, kubis apa yang bisa membuat aku bahagia?”
Cowok : “Kubis? apa ya? Nggak tahu. Emangnya apa?”
Cewek : “Kubisikan doaku padaNya agar kau bisa menikah denganku”
Penulis : “Khowek”.
Nah itulah harewos Bojong. Sejatinya, harewos adalah bisikan yang berarti jangan sampai terdengar oleh orang lain. Tetapi, nyatanya harewos Bojong adalah bisikan yang disampaikan di depan pihak yang seharusnya tidak boleh mendengar. Artinya, sang pembisik (orang pertama) menyampaikan kepada temannya (orang kedua) di depan orang yang tidak boleh dengar (orang ketiga).
Parahnya, sedari awal orang pertama akan menyampaikan pesan dengan suara nyaring di telinga orang kedua saat mereka sedang di depan orang ketiga. Tak lupa tangan orang pertama akan mengambil posisi di antara mulut dan telinga si orang kedua.
Gaya komunikasi Pandeglang #2 Kowetan Sodong
Sodong adalah sebuah desa dan merupakan peristirahatan terakhir ulama besar dan pendiri Organisasi Massa Islam Mathla’ul Anwar. Kowetan terdiri dari satu kata kerja yang ditambah imbuhan “an”. Kowet hampir sepadan dengan noel atau mencolek dalam bahasa Indonesia. kowetan Sodong berarti kowet(colek)an orang-orang Sodong. Kowetan Sodong adalah interpretasi orang-orang Sodong yang tidak suka ribut, ricuh, atau ramai tentang suatu hal. Misalnya begini.
Di suatu sore yang cerah di tanggal tua, di depan kos-kosan kaum batangan di seberang pom bensin berlatar Gunung Pulosari, enam orang mahasiswa berkerumun nongkrong sambil ngopi dan sok serius membicarakan masalah negara. Lalu lewatlah para mahasiswi dengan celana kulot, blouse lengkap dan tak lupa kerudungnya yang berwarna sama dengan celananya. Tak ketinggalan tas gantung yang ukurannya bahkan tak cukup untuk satu binder.
Bak melihat oase di Padang Sahara, mahasiswa yang pertama kali melihatnya akan melakukan kowetan pada teman disampingnya. Ia cukup menunjuk ke arah mahasiswi yang berjalan dengan dagunya. Maka empat orang gerombolan mahasiswa yang duduk di satu meja akan segera melirik, menengok atau berbalik badan kalau perlu.
Gaya komunikasi ini adalah gaya komunikasi tak berisik ala orang-orang Sodong. Cukup satu “kowetan”, satu petunjuk arah, sisa anggotanya akan paham maksud dari kowetan ini.
Gaya komunikasi Pandeglang #3 Tajongan Cikedal
Tajongan berasal dari kata Tajong yang berarti tendang atau sepak. Cikedal adalah sebuah daerah pecahan Kecamatan Menes yang memiliki legenda buaya putih di Situ Cikedal. Tajongan Cikedal adalah gaya komunikasi dan merupakan interpretasi orang-orang Cikedal dalam menyampaikan pesan, tetapi tidak ingin ada pihak lain tahu.
Misalnya begini. Jika mahasiswa pada cerita sebelumnya adalah orang-orang Cikedal, mahasiswa yang melihat “oase” di Padang Sahara itu akan melakukan tajongan atau menendang kaki orang tertentu saja. Maka, orang yang ditajong akan segera mendelik ke arah si penajong dan memastikan apa pesannya.Dalam kasus ini, hanya mereka berdualah yang tahu ada mahasiswi yang kekinian dan tidak layak dikesampingkan.
Gaya komunikasi Pandeglang #3 Kiceupan Menes
Menes adalah sebuah kecamatan yang diambil dari nama seorang pedagang Portugis zaman Baheula bernama Don Jorge Meneses. Menes merupakan daerah yang ramai dan pusat perdagangan sejak dahulu.
Kiceupan berasal dari kata “kiceup” atau kedipan yang ditambah imbuhan “an”. Kiceupan Menes berarti kiceupan (kedipan) orang-orang Menes. Masih ingat presenter sebuah acara yang identik dengan mengedipkan satu matanya? Seperti itulah orang Menes. Komunikasi ini hanya akan dipahami oleh mereka yang aseli orang Menes.
Jika cerita mahasiswa yang nongkrong di suatu sore sebelumnya adalah orang Menes, maka ia tak perlu tangan dan dagu sebagai simbol tanda. Cukup kiceupan Menes. Maka para mahasiswi akan datang menghampiri meja mereka.
Gaya komunikasi Pandeglang #5 Singsatan Kananga
Kananga adalah nama sebuah desa di kaki gunung Pulosari. Perlu saya beritahu, jika MAW Brouwer berpendapat, “Pasundan diciptakan ketika Tuhan tersenyum.” saya dapat katakan, “Tuhan telah menurunkan Bidadari di Kananga hanya untuk orang Pandeglang”.
Jika cerita mahasiswa nongkrong di atas melibatkan orang Kananga, maka ceritanya akan jadi begini.
Sadar menjadi pusat perhatian, sekelompok mahasiswi itu menjadi salah tingkah dan berusaha mempercepat langkahnya. Secara refleks, salah satu mahasiswi menggerakkan kedua tangannya dan menarik sedikit celana kulotnya yang lebar. Walhasil, dengan tidak sengaja terlihatlah setengah betis mahasiswi itu.
Itulah singsatan. Singsatan berasal dari kata “singsat” atau menyingsingkan. Maka, singsatan Kananga adalah orang–orang Kananga yang melakukan singsatan (menyingsingkan).
BACA JUGA Hikayat Bola Api Terbang yang Identik dengan Kota Pandeglang dan tulisan Luqman W lainnya.