5 Fakta ‘Nggak-nggak’ tentang Mahasiswa Indonesia di Mesir

mahasiswa indonesia di mesir universitas al azhar kairo mojok.co

mahasiswa indonesia di mesir universitas al azhar kairo mojok.co

Bagaimana pandangan antum mengenai mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Mesir?

Biasanya, sifat-sifat umum yang sering dikaitkan dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah itu saleh, berakhlak mulia, pandai berdakwah, dan sifat lainnya yang berupa karakter umum seorang pendakwah. Ini stereotip yang saya ketahui mengenai mahasiswa Indonesia di Timur Tengah sebelum menjadi bagian dari mereka.

Pengalaman selama hampir tiga tahun belajar di Mesir, membuat pandangan saya semula mengenai mahasiswa Indonesia di Timur Tengah berbeda. Khususnya di Mesir, tempat salah satu universitas tertua di dunia berdiri: Universitas Al-Azhar. Sebenarnya, setahun sudah cukup untuk menilai dinamika mahasiswa yang ada di sini.

Dari pandangan umum tersebut, ada beberapa fakta nggak-nggak soal mahasiswa Indonesia di Mesir yang tak diketahui orang banyak.

Fakta “nggak-nggak” tentang mahasiswa Indonesia di Mesir #1 Jumlahnya “nggak” sedikit

Mahasiswa Indonesia di Mesir, biasa disingkat masisir, jumlahnya ribuan, yang menurut saya angka ini amat banyak dibanding mahasiswa Indonesia di negara Timur Tengah lainnya. Setahu saya, sampai sekarang jumlah masisir yang ada sekitar tujuh ribuan. Saking banyaknya, ada yang mengatakan kalau Al-Azhar adalah UIN cabang Mesir.

Wah, kalau gitu Indonesia nggak bakal kekurangan stok pendakwah, dong!

Eits, tunggu dulu. Tidak semudah itu, Akhi. Kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas. Banyak permasalahan kompleks yang menentukan kualitas seorang alumni Al-Azhar. Dan juga, menjadi seorang pendakwah yang baik merupakan tanggung jawab yang berat, bukan main-main. Saya belum bilang ulama, lho ya….

Mari kita lanjut dulu.

Fakta “nggak-nggak” tentang mahasiswa Indonesia di Mesir #2 “Nggaksemuanya bakal jadi dai, mubalig, maupun ulama

Kenapa bisa? Sudah jelas-jelas belajarnya Islam, kok nggak mau jadi pendakwah atau ulama?

Ya bisa lah. Nggak ada yang melarang, kan? Dan juga nggak ada salahnya, kan?

Tidak semua alumni Al-Azhar siap atau mau menjadi pendakwah atau ulama karena memang pihak universitas tidak memaksa untuk itu. Setiap alumni bebas menentukan arah hidupnya sendiri tanpa ada paksaan, asal tidak melupakan “tugas” dakwah sebagai alumni Al-Azhar.

Sebagai contoh, ada alumni Al-Azhar yang sekarang menjadi pengusaha tambang batu bara, politikus, dan tour guide umrah. Profesi yang terakhirnya jumlahnya malah banyak banget.

Terlepas dari itu, banyak juga kok yang menjadi ulama kenamaan, pendakwah, maupun dosen. Alumni Al-Azhar terkenal dengan Islam moderatnya yang tidak suka “cari keributan”. Yang paling terkenal ya Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir yang dakwahnya menyejukkan.

Fakta “nggak-nggak” tentang mahasiswa Indonesia di Mesir #3 “Nggaksemuanya fasih berbahasa Arab

Lha, tinggal di negara Arab kok nggak bisa bahasa Arab?

Iya, antum nggak salah baca kok. Banyak alumni S-1 Mesir yang pulang ke Indonesia tanpa membawa pulang kemampuan berbahasa Arab yang baik. Penyebab utamanya, kurang praktik.

Bahasa sehari-hari yang digunakan di sini bukan bahasa Arab asli, melainkan dialek lokal Mesir. Nah, masisir cukup banyak yang menjadikan ini alasan untuk malas mempelajari bahasa Arab. Walaupun nggak banyak-banyak amat, tapi juga ini malu-maluin alumni yang lain. Imbasnya, alumni Al-Azhar menjadi dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan.

Tapi nih, yang jago bahasa Arab juga nggak sedikit kok. Biasanya, orang-orang ini bukan pemalas yang kerjanya cuma rebahan di rumah, walaupun ada juga yang malas tapi pintar.

Tentunya, kemampuan berbahasa Arab ini memengaruhi proses belajarnya selama di Mesir. Ada yang bertahan bertahun-tahun karena setiap ujian gagal naik tingkat dan harus mengulang kembali setahun. Penyebabnya, kurang memahami pelajaran dan malas menghadiri kuliah. Akar permasalahannya, ya pada kemampuan bahasa Arabnya.

Fakta “nggak-nggak” tentang mahasiswa Indonesia di Mesir #4 “Nggaksemuanya lulus tepat waktu

Banyak faktor yang membuat masisir betah bertahan di Mesir dan nggak mau balik ke Indonesia. Di antaranya, urusan bisnis, belajar, hingga yang memang malas balik. Karena masih betah tinggal di Mesir, alhasil sebagian mahasiswa ini sengaja tidak mengikuti ujian atau menggagalkan diri di ujian agar diberikan kesempatan tinggal selama setahun lagi di Mesir.

Dalam urusan bisnis, kebanyakan masisir menjalankan bisnis pengiriman barang via bagasi pesawat. Selain itu, bisnis warung makan juga menjamur di kalangan masisir. Menunya, masakan Indonesia yang dibuat semirip mungkin dengan cita rasa asli Indonesia. Kalau ke sini, untuk masalah lidah masih bisa ditoleransi kerinduannya dengan pergi ke warung makan.

Kalau belajar, ini biasanya masisir yang haus ilmu pengetahuan dan selalu merasa kurang ilmu. Mereka ini adalah panutan di kalangan masisir karena rela mengorbankan waktunya untuk belajar lebih lama. Bahkan ada yang bertahan lebih dari 6 tahun hanya di S-1 demi mencari ilmu lebih banyak.

Berbanding terbalik dengan kaum pemalas yang hidup sebagai benalu di Mesir. Dan ini memang benar adanya. Saya kasihan dengan orang tuanya yang susah payah mencari nafkah, si anak sekolah jauh-jauh malah cuma rebahan.

Fakta “nggak-nggak” tentang mahasiswa Indonesia di Mesir #5 “Nggaksemuanya saleh

Belajar Islam bukan berarti sudah paripurna dalam berislam. Banyak juga kok masisir yang nggak saleh-saleh amat. Dengan masih pacaran, misalnya.

Kebanyakan masisir juga malas salat berjamaah di masjid, suka menunda-nunda salat, malas berpuasa, malas beribadah sunah, suka molor di rumah, dan lain-lainnya yang jadi tanda bahwa orang yang belajar agama belum tentu mengamalkan pelajarannya.

Sebenarnya masih banyak aib-aib yang belum saya spill. Namun, pada intinya tidak semua masisir berakhlak mulia. Jadi, pesan buat akhi atau ukhti yang punya gebetan atau pacar masisir, pertimbangkan baik-baik lagi ya.

Sumber gambar: Wikimedia Commons

BACA JUGA Mengenal Hacker Turki yang Sering Bikin Repot Artis Indonesia dan tulisan Rifqi Luthfianur lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

Exit mobile version