5 Dosa Pembeli Bensin di Pertashop yang Bikin Kesal Operator

5 Dosa Pembeli Bensin di Pertashop yang Bikin Kesal Operator

5 Dosa Pembeli Bensin di Pertashop yang Bikin Kesal Operator (Firzafp via Wikimedia Commons)

Setelah kemarin saya menulis dosa-dosa oknum operator Pertashop di Terminal Mojok, kok rasanya nggak fair kalau saya hanya menyalahkan satu pihak. Memang harus diakui, berdasarkan pengalaman studi banding yang saya lakukan, beberapa operator kurang ramah melayani pelanggan yang membeli bensin.

Tapi, saya percaya dengan hukum sebab akibat dalam dunia ini. Kemarin saya sempat menuliskan ada dua kemungkinan yang bikin suasana hati seorang operator Pertashop jadi uring-uringan sehingga berdampak pada pelayanannya yang kurang ramah kepada pelanggan yang datang membeli bensin. Pertama masalah gaji, dan kedua karena outlet terlalu sepi. Namun itu kan masalah internal yang harus diselesaikan pengelola maupun operator itu sendiri.

Padahal kalau dilihat dari faktor eksternal, ternyata orang-orang yang datang membeli bensin turut mempengaruhi suasana hati operator Pertashop seperti saya. Faktanya di lapangan, ada saja tingkah laku para pembeli bensin yang bikin saya sebal sebagai operator di Pertashop. Meskipun bisa saya pendam saat berhadapan dengan pelanggan, rasa kesal tetap ada di dalam dada. Berikut dosa-dosa pembeli bensin yang bikin kesal operator:

#1 Nggak cek dompet sebelum bilang isi bensin

Mengecek dompet sebelum bilang isi bensin kepada operator memang terlihat sepele, tapi perlu dilakukan, lho. Lebih baik lagi kalau dilakukan sebelum memulai perjalanan menuju Pertashop. Kalau sudah telanjur antre tapi ternyata dompet kosong kan malu sendiri. Selain agar nggak menyebabkan rasa mak jegagik di hati operator, mengecek sisa uang di dompet juga bikin pembeli nggak perlu bolak-balik ke rumah kalau ternyata uangnya kurang.

Beberapa kali saya merasa waswas lantaran pelanggan yang datang sibuk mencari-cari uang di saku dan tasnya setelah saya mengisikan bensin ke kendaraan. Benar saja, setelah menyerah, dia bilang, “Maaf, Mas, uangnya kurang. Saya pulang dulu ambil uang, ya.” Deg, di satu sisi saya pengin membolehkannya, namun di sisi lain saya khawatir pembeli ini nggak balik lagi.

#2 Beli full tank tapi ngatur-ngatur

Berdasarkan pengalaman saya, ada dua tipe pembeli bensin di SPBU. Tipe pertama adalah mereka yang beli bensin dengan menyebutkan nominal uang atau jumlah liter. Sementara tipe kedua adalah mereka yang beli sambil bilang “full”, “full tank”, atau “penuh”. Meski sebenarnya saya agak sebal pada pembeli yang menyebutkan jumlah liter karena harga nggak bulat yang dipatok Pertamina, orang-orang golongan tipe pertama ini lebih asyik dibandingkan beberapa oknum pembeli tipe kedua.

Sebenarnya sah-sah saja mengisi bensin full tank karena tiap mesin pompa di SPBU, Pertamini, maupun Pertashop bisa melayani pelanggan dengan tipe ini. Tanpa memencet tombol angka, mesin pompa secara otomatis mengeluarkan bensin semaunya. Bahkan sampai terkuras habis pun bisa.

Sayangnya, beberapa orang yang isi full tank memaksa saya untuk terus menuang bensin ke tangki kendaraannya. Padahal sebagai operator saya menganggap bensin yang saya isikan sudah lebih tinggi dibandingkan batas besi yang dibuat pabrik motor. Ada juga yang sampai menegakkan motornya secara mendadak sehingga membuat bensin berceceran. Ceceran bensin yang mbleber pun menggenang di bagian atas tangki, bahkan masuk bagasi. Kalau sudah gini kan saya jadi pekewuh sendiri.

#3 Plin-plan dengan nominal pengisian

Selain mengecek uang di dompet, menghitung uang yang ada di dompet sebelum mengisi bensin juga penting, lho. Ini harus dilakukan biar nggak kebingungan mau isi berapa saat berhadapan dengan operator SPBU. Selain bikin sebel pembeli yang antre di belakangnya karena memakan banyak waktu, orang yang bingung mau isi bensin ini juga menyusahkan operator.

Pertashop milik bapak yang saya jaga pernah didatangi seorang ibu yang dibonceng anaknya. Anaknya bilang ingin mengisi bensin Rp10 ribu saja, sementara si ibu sibuk merogoh tas belanjanya. Setelah saya memencet tombol pengisian 10 ribu, saya arahkan nozzle ke lubang tangki, eh belum sempat mengisi si ibu menyela. “Rp15 ribu wae, Mas!”

Oke, saya berusaha sabar sambil me-reset dan memencet ulang tombol di pompa. Ketika sudah mengarahkan nozzle ke lubang tangki, lagi-lagi si ibu menyela, “Eh, Rp20 ribu deh, Mas.” Haduh, Bu, rasanya seperti dipermainkan tahu nggak!

#4 Sudah diisi baru tanya jenis bensin

Tahu nggak sih, ada lho beberapa orang yang datang ke Pertashop hanya untuk melihat atap modular lalu pergi dengan kecepatan tinggi. Meskipun orang-orang ini nggak berkata apa pun, saya tahu maksud dan tujuan mereka, yakni melihat tulisan Pertamax atau Pertalite yang biasanya ada di bagian atas pompa di SPBU. Kalau di Pertashop, tulisan itu memang nggak terpampang di atas pompa, melainkan ada di papan harga yang terpasang di pinggir jalan beserta harga per liternya.

Ada juga sih beberapa orang yang bertanya langsung mengenai jenis bensin di Pertashop yang saya jaga. Padahal ya nggak usah tanya seharusnya para pembeli bensin ini sudah tahu karena semuanya kan tertulis jelas di papan harga.

Saya pernah mendapat pembeli yang bertanya setelah proses pengisian tengah berjalan. “Ini bensin jenis apa ya, Mas?” Ketika saya jawab Pertamax, pembeli yang awalnya bilang full tank lantas memaksa saya untuk segera menghentikan pengisian. Saya minta izin untuk membuat hitungan pas karena saat itu angka yang muncul di mesin pompa nanggung, namun dia nggak mau. Alhasil saya rugi beberapa ratus rupiah. Memang kecil sih kerugiannya, tapi kan saya nggak ikhlas.

#5 Membeli tanpa suara

Saya paham, beberapa orang memang ada yang memiliki kekurangan nggak bisa bicara, tapi bukan mereka yang saya maksud. Beberapa pelanggan yang datang ke Pertashop saya ada juga yang tuna wicara. Saya melayani mereka dengan baik seperti saya melayani pelanggan lainnya. Namun biasanya saat melayani pelanggan yang bisu atau tuli, saya sambil menunjuk layar monitor di pompa untuk menegaskan jumlah bensin yang hendak dibeli.

Namun, pernah suatu ketika ada seorang kakek yang datang membeli bensin ke Pertashop saya dengan mengacungkan satu jari telunjuk. Saya bertanya maksudnya satu liter atau sepuluh ribu, tapi kakek tersebut nggak menggubris saya. Oh, mungkin kakek ini tuli, begitu pikir saya. Saya pun menunjukkan monitor di pompa, eh tapi nggak digubris sama blio. Kakek itu malah kekeuh dengan satu jari telunjuknya.

Ya sudah, saya isikan bensinnya satu liter. Setelah saya isikan, lha kok si kakek menyodorkan uang Rp10 ribu, padahal kan harga Pertamax saat itu satu liternya Rp13.900. Lantaran nggak mau rugi, saya tagihlah kekurangan uangnya sambil menunjuk papan harga. Eh, tiba-tiba si kakek bilang, “Lha, di sana kemarin Rp10 ribu!”

Lha, itu kakek bisa bicara, kenapa dari tadi saya tanya cuma kasih telunjuk aja, begitu batin saya. Sungguh menyebalkan. Mana saya tahu satu telunjuk itu maksudnya sepuluh ribu atau satu liter saja.

Itulah beberapa dosa pengisi bensin yang bikin sebal operator Pertashop seperti saya. Memang nggak semua pembeli yang datang menyebalkan kayak yang saya ceritakan di atas. Ada juga kok pembeli yang ramah dan sat set sehingga memudahkan pekerjaan saya sebagai operator. Yah, intinya, siapa pun pembeli yang datang akan saya layani dengan baik. Tenan, lho.

Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Dosa Operator Pertashop yang Membuat Lapak Mereka Sepi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version