Boikot pemerintah bisa menunjukkan betapa besar kekuatan rakyat.
Rakyat diposisikan sebagai elemen yang spesial dalam demokrasi. “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” begitu kurang lebih adagiumnya. Suka tidak suka, hal itu nyatanya tidak berjalan dengan baik di Indonesia.
Cobalah tengok pada kebijakan pemerintah akhir-akhir ini yang tidak mendengar dan berpihak pada rakyat. Melihat itu saya rasa kita bisa sepakat bahwa demokrasi kita sekarang ini lebih kental feodalisme. Posisi rakyat hanyalah sebagai sapi perah. Apalagi ada wacana diberlakukannya lagi Tax Amnesty. Bayangkan, masyarakat dengan kantong pas-pasan menanggung berbagai jenis pajak, termasuk kenaikan pajak PPN menjadi 12% yang akan diterapkan awal tahun depan. Eh, mereka yang taipan malah dapat pengampunan pajak.
Lantas, sebagai masyarakat, apakah kita hanya bisa diam saja? Tentu tidak. Sebagai masyarakat yang cerdas, tentu ada banyak cara ampuh yang bisa dilakukan sebagai wujud protes kepada pemerintah. Selain unjuk rasa, memboikot segala hal yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah salah satu caranya.
Aksi boikot pemerintah sebenarnya bukan hal baru. Aksi ini pernah dilakukan oleh masyarakat di beberapa negara. Misal, Di Amerika Serikat, pernah terjadi boikot Bus Montgomery oleh warga kulit hitam selama setahun pada 1955. Pada saat itu berlaku sistem segregasi rasial yang mengharuskan warga kulit hitam duduk di bagian belakang bus. Boikot ini berhasil menekan sistem transportasi publik dan memicu perubahan hukum. Mahkamah Agung AS kemudian memutuskan bahwa segregasi di bus tidak konstitusional. Contoh lain, di India ada fenomena boikot garam yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi. Dan, masih banyak aksi boikot lain yang sah dilakukan sebagai wujud protes masyarakat kepada mereka yang berkuasa.
Berikut ini saya uraikan 5 cara legal untuk boikot pemerintah dan kebijakannya yang tidak memihak dan mendengarkan suara rakyat.
Daftar Isi
#1 Kurangi aktivitas konsumsi yang menambah PPN
Momok yang saat ini sedang membuat sebagian besar dari kita ketar-ketir adalah kenaikan PPN menjadi 12%. Kenaikan ini jadi salah satu kebijakan yang membuat daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, benar-benar ajab menurun. Nah, karena sudah dipastikan bakal naik tahun depan, kita bisa menahan diri untuk tidak sering-sering mengeluarkan barang atau jasa yang ber-PPN. Dengan menahan konsumsi yang tidak esensial, masyarakat dapat memberikan tekanan ekonomi secara kolektif kepada pemerintah.
Cara sederhananya bisa dimulai dari berhenti sementara untuk tidak nongkrong di cafe-cafe atau restoran besar. Kalian juga bisa batasi pembelian barang-barang bermerek internasional atau impor. Selain itu, kurangi belanja di swalayan atau supermarket hingga menunda liburan dengan fasilitas transportasi pesawat pemerintah. Jadi, tahan dulu deh keinginan ganti HP, beli motor baru, jalan-jalan atau peleserin, serta kurang-kurangi belanja online.
Sebaliknya, kalian bisa membeli kebutuhan di sektor informal seperti di pasar-pasar tradisional dan pelaku usaha kecil. Mereka memang terkena pajak, tapi porsinya tidak sebesar PPN. Selain bentuk protes dan langkah berhemat, membatasi belanja di sektor-sektor tersebut bisa memaksimalkan potensi diri kita yang lain lho. Misal, dalam bidang memasak dan berkebun, kita bisa mulai membiasakan diri memasak sendiri dan menanam berbagai produk pertanian sederhana untuk menahan belanja.
#2 Boikot pemerintah dengan membatasi transaksi cashless
Saya pernah membaca cuitan dari seorang ekonom bahwa transaksi digital atau cashless jadi salah satu penyumbang besar perputaran uang di Indonesia. Itu ceruk transaksi konsumtif yang jadi salah satu pendapatan bagi pemerintah. Membatasai transaksi nontunai dan beralih ke transaksi tunai bisa jadi aksi boikot yang bikin repot pemerintah.
Begini, penggunaan uang tunai itu hak masyarakat dalam bertransaksi ekonomi. Ketika proses transaksi tunai dilakukan secara masif, likuiditas bank dan institusi keuangan sejenis yang dekat dengan pemerintah akan terganggu. Perilaku semacam ini membuat transaksi ekonomi tidak terdeteksi secara langsung oleh sistem keungan, baik oleh perbankan, e-commerce, dan dompet digital lainnya. Kondisi tersebut memungkinkan memberi tekanan pada pemerintah.
Itu mengapa, mulai saat ini mulailah belanja di pasar tradisional, toko kelontong, atau warung menggunakan uang tunai alih-alih kartu debit, kredit, atau dompet digital. Jadi, pastikan untuk mempersiapkan uang tunai yang cukup sebelum keluar rumah agar tidak tergoda menggunakan pembayaran digital.
#3 Hindari penggunaan produk atau jasa perusahaan BUMN
Mengurangi atau menghentikan pembelian produk atau jasa dari BUMN bisa menekan kondisi keuangan yang ujung-ujungnya akan berdampak ke pemerintah. Toh keuntungan para BUMN ini akan masuk ke APBN. Dengan mengurangi atau menghentikan penggunaan produk dan layanan dari BUMN-BUMN vital, kita sebagai masyarakat dapat mengirimkan pesan kepada pemerintah bahwa BUMN itu berjaya karena masyarakat yang jadi konsumennya. Kalau diucapkann secara langsung, kira-kira seperti ini bunyinya “Kalau kami berhenti membeli, kalian mau apa hah?”
Contoh lain, beralih menggunakan provider selain yang ada di bawah naungan Telkom atau Indosat. Selain itu, alih-alih menggunakan jasa layanan POS, gunakan jasa logistik lain, seperti JNT, JNE, atau jastip. Bisa juga mengambil semua dana dari rekening bank-bank BUMN dan beralih ke bank swasta.
#4 Pakai semua layanan subsidi dari pemerintah
Subsidi itu asalnya dari duit masyarakat yang dibayarkan melalui berbagai retribusi di tahun-tahun sebelumnya. Jadi sudah menjadi hak kita sebagai masyarakat memanfaatkan hal itu. Misalnya, manfaatkan layanan transportasi publik dan subsidi listrik. Gunakan layanan itu semaksimal mungkin. Buang gengsi karena toh kita juga butuh dan sudah disediakan juga kok.
#5 Boikot pemerintah dengan menghemat penggunaan energi
Hemat di sini berarti bukan berarti kita menghindari sama sekali penggunaan berbagai kebutuhan energi, mulai dari listrik, bensin, solar, dan lain sebagainya. Bukan seperti itu, tapi benar-benar selektif dalam memanfaatkannya. Gunakan kendaraan bermotor seperlunya, pakai listrik juga secukupnya, dan kurangi penggunaan fasilitas lain yang memakan banyak energi. Mengurangi penggunaan energi ini selain akan mengganggu neraca pendapatan perusahaan energi sehingga berimplikasi terhadap pembagian dividen ke pemerintah juga berimplikasi baik untuk lingkungan.
Selain 5 cara tersebut, ada 2 cara lain yang mungkin agak ekstrem yang bisa dilakukan. Tapi, cara ini lebih baik dilakukan kalau cara sebelumnya masih sulit menyadarkan pemerintah. Pertama, tunda membayar pajak yang sifatnya nonesensial, misalnya pajak motor atau mobil. Kedua, bagi para perokok, beralihlah ke rokok-rokok lokal alih-alih ke rokok bermerk besar yang menyumbang cukai besar bagi negara. Setahun aja kita menjalani perilaku di atas secara kolektif, berkesinambungan, dan konsisten. Saya rasa akan memberikan effect kejut bagi pemerintah. Hmm … rasakno !!!
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA PPN Tetap Naik, Kelas Menengah Harus Siap Jadi Sapi Perah (Lagi)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.