5 Budaya Perusahaan yang Toxic dan Sebaiknya Tak Perlu Ada Lagi

5 Budaya Perusahaan yang Buruk dan Sebaiknya Tak Perlu Ada Lagi Terminal Mojok.co

5 Budaya Perusahaan yang Buruk dan Sebaiknya Tak Perlu Ada Lagi (Unsplash.com)

Tidak semua budaya perusahaan baik untuk kondisi mental kita. Tidak sedikit perusahaan yang melanggengkan budaya buruk dan menganggap itu bukan masalah. Benarkah seperti itu?

Beberapa hari lalu teman saya yang berkerja di salah satu perusahaan besar di Surabaya bercerita pada saya. Ia cerita kalau sudah hampir satu tahun ini dia rutin ke psikolog karena mengalami burnout. Bornout adalah kondisi kelelahan mental, emosional, serta fisik karena stres berat yang dipicu pekerjaan. Burnout yang terjadi terus menerus selain mengakibatkan mental seseorang terganggu. Ini juga bisa sampai mempengaruhi kesehatan fisik seseorang.

Di kantor rasanya pengin tidur aja. Bye kerjaan (Unsplash.com)

Sebagai karyawan, saya merasa perusahaan di Indonesia memang masih banyak yang mempertahankan budaya kerja yang toxic seperti ini. Meskipun nggak tertulis, ada beberapa budaya perusahaan yang buruk dan dianggap bukan sebagai sebuah masalah. Padahal, budaya semacam itu dapat membuat karyawan sengsara dan berisiko terkena burnout. Sedikitnya, lima budaya perusahaan yang buruk berikut ini harus segera dihentikan. Ini penting supaya pekerja di negeri ini nggak semakin menderita.

#1 Karyawan pulang kantor tepat waktu dianggap nggak loyal

Kontrak kerja dari perusahaan memang menyebutkan kalau jam kerjanya adalah delapan jam sehari (jika tidak ada lembur). Namun pada kenyataannya, kita sebagai karyawan hampir nggak pernah benar-benar bekerja selama delapan jam. Bukannya kurang dari itu, justru lebih.

Kami terpaksa pulang nggak tepat waktu. Pasalnya, jika kita keseringan pulang tepat waktu akan dilabeli sebagai karyawan yang kurang loyal terhadap perusahaan. Nggak jarang, sikap kami juga dicibir dan dijadikan bahan rasan-rasan atasan. Jika predikat karyawan rajin pulang dan nggak loyal tersebut menempel di diri kami, secara otomatis kami susah mendapatkan promosi jabatan. Meskipun hasil kerja kami atau kualitas kerja kami bagus sekalipun.

Sumpah, kebiasaan pulang terlambat atau baru pulang setelah atasan juga pulang adalah budaya perusahaan tidak tertulis, tapi menyengsarakan karyawan dan wajib dihentikan. Percayalah, budaya pulang terlambat ini membuat produktivitas karyawan menurun karena mengurangi jam istirahat di rumah.

Untuk bapak dan ibu pimpinan perusahaan di mana pun berada, mulailah menerapkan habit kerja baru. Nilailah karyawan bukan berdasarkan durasinya (lama kami berada di kantor), tapi berdasarkan kualitas pekerjaannya.

#2 Karyawan ambil cuti harus memberi alasan

Dalam satu tahun, kita selalu punya jatah cuti. Masalahnya, kenapa setiap kali mau ambil cuti, karyawan selalu di tanya, “Mau ada agenda apa? Kok ambil cuti?” Loh, mau saya gunakan jatah cutinya untuk rebahan sambil nonton Netflix seminggu penuh, seharusnya nggak masalah, dong? Lha wong cuti itu hak karyawan.

Parahnya lagi, terkadang meskipun kita sudah menjelaskan alasan kita mau ambil cuti ke atasan, bukannya diizinkan, malah disuruh menunda cutinya dulu. Biasanya, dengan dalih perusahaan lagi sibuk-sibuknya. Lah, kalau nunggu perusahaan longgar itu kapan? Saya rasa, memiliki atasan yang nggak pernah bertanya cutinya untuk apa dan mudah memberikan izin cuti adalah privilese.

Capek banget, lohhh (Unsplash.com)

Jika ada pemimpin perusahaan yang membaca tulisan ini, tolong berhentilah mempersulit hidup karyawan dengan bertanya macam-macam saat kami minta cuti. Mudahkanlah kami untuk cuti. Pasalnya, memudahkan urusan orang lain termasuk hal yang dicintai Tuhan itu pahalanya besar. Selain itu, pasti suatu saat Anda juga akan dimudahkan urusannya oleh orang lain. Amiiin.

#3 Dihubungi di luar jam kerja

Sebagai karyawan, dihubungi atasan di luar jam kerja tentu bukanlah hal yang asing. Atasan biasanya akan berkata, “Minta tolong cek email kamu bentar, dong.” Namun, nggak mungkin hanya itu. Kita biasanya akan diminta membalas email atau diajak mikirin kerjaan lagi. Sumpah, hal seperti ini tuh menyengsarakan karyawan banget, loh. Bapak dan ibu pimpinan perusahaan yang kami hormati, bisa kan, minta tolong pas kami di kantor saja? Saat kami sudah pulang, berilah kami waktu untuk beristirahat.

Udah di rumah, tapi terpaksa masih buka laptop (Unsplash.com)

Sebagai karyawan, kami ini bukannya nggak loyal dengan perusahaan. Akan tetapi, dihubungi di luar jam kerja membuat kami merasa terus-terusan memikirkan kerjaan dan hal tersebut dapat memicu burnout. Pasalnya, itu membuat kami merasa terbebani dengan pekerjaan kantor meskipun posisi kami di rumah. Banyak, loh, budak korporat yang sampai harus menonaktifkan HP-nya saat di rumah hanya karena ingin beristirahat dengan tenang.

#4 Menjilat atasan adalah jalan menuju promosi jabatan

Pernah, kan, kalian punya teman di kantor yang performanya B saja, tapi karena teman kalian tersebut dekat dengan atasannya, akhirnya dia mudah mendapatkan promosi jabatan. Atau, sering kali kita mendapati karyawan yang selalu ingin tampak rajin di depan atasan (menjilat) agar jalan untuk naik jabatan lebih mudah.

Saya rasa, tradisi karyawan menjilat atau caper ke atasan atau pimpinan perusahaan ini lahir dari para pemimpin itu sendiri. Kalau para pemimpinnya fair, nggak akan memilih seseorang secara subjektif. Saya kira para karyawan lebih suka menunjukkan performa kerja yang baik, deh, daripada sekadar tampak manis dan karyawan-able di hadapan atasan.

Kebiasan buruk pimpinan memberi peluang pada orang yang disukai atau yang dekat dengannya adalah budaya perusahaan yang buruk dan wajib dihentikan. Pasalnya, hal tersebut berisiko membuat perusahaan dipimpin oleh orang yang nggak kompeten.

#5 Bekerja di luar job description

Salah satu hal yang paling banyak dikeluhkan pekerja atau karyawan adalah diberi pekerjaan di luar job description-nya. Misalnya saja, job description kita tuh drafter, tapi nggak hanya diminta menggambar, melainkan dibebani pula dengan pekerjaan dokumentasi, admin, sekaligus survey lapangan. Kita dituntut multitasking. Padahal multitasking itu berbahaya bagi kesehatan otak.

Lagipula, bekerja di luar job description itu menyengsarakan karyawan. Lantaran ini akan membuat karyawan mudah kelelahan dan berisiko besar terkena burnout.

Itulah lima budaya perusahaan yang buruk dan sering kali terjadi. Jika di perusahaan tempat kalian bekerja nggak ada lima budaya perusahaan yang buruk di atas, percayalah, kalian termasuk kaum yang beruntung.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Audian Laili

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version