Kayaknya setiap orang Jawa Timur sudah tahu “fenomena” macetnya perempatan Gedangan Sidoarjo. Apalagi warga terdekat yang selalu menderita ketika jam berangkat dan pulang kerja. Pasti rasanya kayak waktu jalan lama banget di perempatan itu ya.
Klakson bersahutan, motor menyelip ke kanan-kiri, dan mobil saling berebut ruang. Seakan-akan, semua orang sedang buru-buru, tapi semua juga harus menunggu.
Tapi sebenarnya, kenapa sih perempatan Gedangan Sidoarjo ini nyaris selalu macet bahkan di luar jam sibuk?
#1 Perempatan Gedangan Sidoarjo jalur padat lintas kota, arus ekonomi tak pernah tidur
Perempatan Gedangan Sidoarjo adalah rute strategis dan sebagai penghubung antara Surabaya dan Sidoarjo. Terutama aktivitas ekonomi yang sangat tinggi. Banyak pekerja asal Sidoarjo yang beraktivitas di Surabaya, dan sebaliknya.
Data dari Dinas Perhubungan Jatim (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 68.000 kendaraan melintas di koridor Waru-Gedangan setiap harinya. Angka ini belum termasuk kendaraan berat seperti truk logistik yang melintas dari arah Porong atau Malang menuju kawasan industri di Surabaya bagian selatan.
Perempatan Gedangan Sidoarjo menjadi semacam “leher botol” dari arus kendaraan yang ingin masuk ke pusat Surabaya via Ahmad Yani, atau ke kawasan industri Rungkut dan SIER. Artinya, bukan hanya warga lokal yang lewat, tapi juga pelaku ekonomi dari berbagai kota di Jatim.
#2 Demografi padat: Banyak penduduk, banyak pergerakan
Kecamatan Gedangan sendiri termasuk salah satu wilayah terpadat di Sidoarjo. Berdasarkan data BPS Kabupaten Sidoarjo, jumlah penduduknya pada 2023 mencapai lebih dari 150.000 jiwa, dengan kepadatan lebih dari 8.000 jiwa/km² di beberapa desa seperti Sawotratap dan Tebel.
Seiring semakin banyaknya kawasan permukiman baru, terutama klaster-klaster perumahan kelas menengah, pergerakan kendaraan pribadi jadi tak terelakkan. Setiap pagi dan sore, warga Gedangan harus berdesakan menuju sekolah, kantor, atau tempat belanja. Ini membuat volume kendaraan lokal sendiri sudah tinggi, bahkan sebelum ditambah dengan arus kendaraan antar-kota.
#3 Budaya lalu lintas di perempatan Gedangan Sidoarjo yang amburadul
Macet bukan hanya soal jumlah kendaraan. Di perempatan Gedangan Sidoarjo, ada satu faktor sosial yang cukup menyumbang kekacauan lalu lintas, yaitu budaya melanggar aturan.
Coba saja perhatikan jam sibuk. Banyak pengendara motor yang menerobos lampu merah, berhenti di zebra cross, atau bahkan melawan arah demi memotong antrian perempatan Gedangan Sidoarjo. Kondisi semakin parah dengan kurangnya petugas lalu lintas yang berjaga secara rutin di titik-titik rawan.
Selain itu, di sekitar perempatan terdapat pasar tradisional, toko, dan PKL yang sering membuat kendaraan berhenti mendadak atau ada saja yang parkir sembarangan. Jalan yang seharusnya cukup untuk 2 lajur, mendadak jadi sempit karena dipakai untuk jualan atau parkir liar.
#4 Infrastruktur yang belum ramah volume besar
Meski sudah ada pelebaran jalan di beberapa titik, perempatan Gedangan Sidoarjo belum memiliki flyover atau underpass seperti di Waru atau Juanda. Ini menyebabkan semua arus, dari arah Surabaya, dari arah Buduran, maupun dari arah Sidoarjo kota, bertemu di satu titik sempit dengan lampu merah yang cenderung lama.
Beberapa inisiatif perbaikan infrastruktur memang pernah diwacanakan. Namun, hingga pertengahan 2025 ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah daerah atau provinsi.
#5 Sidoarjo menuju kawasan satelit: Beban lalu lintas terus naik
Sidoarjo sedang tumbuh pesat. Beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan perumahan, pusat perbelanjaan, hingga sekolah dan kampus swasta menjamur di daerah-daerah seperti Gedangan, Taman, dan Waru.
Hal ini membuat Sidoarjo bukan lagi kota penyangga, tapi sudah berkembang menjadi kawasan satelit aktif bagi Surabaya. Sayangnya, pertumbuhan ini belum diimbangi dengan kebijakan transportasi publik yang kuat. Alhasil, mobilisasi warga tetap bergantung pada kendaraan pribadi.
Jadi, harus bagaimana?
Macet di perempatan Gedangan Sidoarjo bukan cuma soal “kurang sabar” atau “jam sibuk”. Ini adalah kombinasi rumit antara demografi, budaya berkendara, dan perencanaan kota yang belum matang.
Solusinya tentu tidak sederhana. Tapi jika tidak segera diatasi, lewat penertiban lalu lintas, edukasi pengguna jalan, dan infrastruktur layak volume besar, bukan tidak mungkin perempatan Gedangan akan menjadi titik lemah urbanisasi Sidoarjo di masa depan.
Penulis: Caraka Wahyu
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ironi Gedangan Sidoarjo: Jalan yang Tak Ramah bagi Perempuan karena Perilaku “Bejat” Warganya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
