Saya termasuk orang yang suka sekali menyiapkan hal-hal kecil sebelum bepergian jauh dan lama. Saya kurang nyaman jika saya tidak membawa barang yang saya perlukan meski mungkin banyak tersedia di tempat tujuan. Saat mempersiapkan keberangkatan untuk studi di Wageningen, Belanda, saya pun tak lupa untuk membawa satu benda yang kelihatannya sepele namun menurut saya penting, yaitu payung.
Kenapa payung? Karena saya tidak ingin apabila sewaktu baru sampai di sana langsung disambut hujan, padahal saya tidak membawanya. Ada, kan, peribahasanya? Sedia payung sebelum hujan. Jadi, apa salah saya jika membawanya sebelum kehujanan?
Namun, setelah beberapa saat di Belanda, saya malah menaruhnya ke dalam tempat penyimpanan di kamar. Bukan karena saya mulai tidak suka dengan peribahasa yang saya sampaikan di atas, namun setidaknya ada 5 alasan kenapa kita tidak perlu pakai payung di Belanda.
#1 Angin kencang
Belanda sangat terkenal sebagai Negeri Kincir Angin bukan tanpa alasan. Sepele saja sebenarnya, karena angin di sana kencang dan bertiup hampir tiap saat. Jadi, kalau angin saja bisa menggerakkan kincir dan menjadikannya sumber energi, apa kamu tetap mau nekat memakai payung?
Pengalaman saya pertama kali memakai payung di area kampus sangat kacau. Dalam hitungan detik, payung saya langsung terbalik lantaran diterjang angin selamat datang dari Belanda. Tentu saja pengalaman pertama itu menyadarkan saya bahwa cukup sudah drama payung terbalik karena terjangan angin. Akhirnya saya beralih jadi fans jaket tebal yang sekaligus berfungsi menahan terjangan hujan di Belanda.Â
#2 Gowes mania
Jauh sebelum demam gowes atau bersepeda melanda masyarakat di Indonesia, moda transportasi pribadi itu sudah menjadi andalan masyarakat Belanda. Dikutip dari statista.com, jumlah sepeda di Belanda tahun 2020 mencapai sekitar 23 juta, dengan angka penjualan di tahun itu saja mencapai lebih dari 1 juta sepeda. Perlu kita ketahui bahwa jumlah penduduk di Belanda saja hanya mencapai 17 juta!Â
Saya pun langsung membeli sepeda begitu ada semacam pasar murah di kampus. Tentu saja saya bukan tergolong pesepeda yang andal dengan satu tangan memegang stang sepeda dan tangan lainnya memegang payung. Inilah alasan kedua saya mempensiunkan dini benda yang jauh-jauh saya bawa dari Indonesia.Â
#3 Cuaca mudah berubah
Meskipun aplikasi prediksi cuaca di Belanda sangat canggih, cuaca sering kali berubah tanpa notifikasi di email. Saat sedang santai karena cuaca sejuk, eh tiba-tiba saja turun hujan. Bayangan akan harus selalu sedia payung sebelum hujan tentu saja sangat tidak praktis. Jadi, alih-alih membawa payung, saya selalu sedia jaket tahan air yang setia menemani ke manapun saya pergi.Â
#4 Tidak ada peluang untuk ojek payung
Bila di Indonesia kita akan mudah menemukan ojek payung terutama di daerah perkantoran atau pusat perbelanjaan, jangan harap bisa menemukan yang serupa di Belanda. Awalnya saya pikir bakal lumayan iseng-iseng kerja sambilan jadi ojek payung setidaknya di lingkungan kampus. Yah, tapi karena memang tidak ada yang melakukannya dan malas dipandang aneh oleh mahasiswa lainnya, saya merelakan potensi pundi euro saya tersimpan rapi saja di kamar.Â
#5 Kalau rusak sulit cari tempat servisnya
Alasan terakhir ini lebih dikarenakan saya pengin menghemat uang dengan mencari tempat servis payung apabila rusak. Namun, saya heran tidak menemukan tempat itu satupun di Belanda. Kalau di Indonesia, jangankan tukang servis payung keliling, tukang pasang tirai, sol sepatu, perbaiki baju dan celana semuanya kan lengkap. Nah, kalau di Belanda jangan harap kita bisa menemukan tukang keliling tadi. Semua beroperasi pada jam kerja dan hanya ada di pertokoan dengan harga di luar bujet mahasiswa.Â
Nah, itulah 5 alasan betapa unfaedah-nya bawa payung di Belanda. Cukup bermodalkan jaket tebal yang tahan air jika hendak bepergian atau jalan-jalan. Itu saja sudah praktis dan fungsional, kok.Â
Sumber Gambar: Dziana Hasanbekava via Pexels