Sebagai mahasiswa pertanian, saya kerap mendapat banyak pertanyaan. Salah satunya yang kerap dilontarkan, yaitu kenapa mahasiswa pertanian hanya sedikit yang mau jadi petani. Yah, memang tidak bisa dimungkiri, persentase mereka yang terjun ke dunia percangkulan sangat sedikit. Banyak yang lebih memilih banting setir ke pekerjaan lain, sebut saja menjadi pegawai bank, pekerja swasta, atau wartawan.
Saya mencoba mengulik sederet data dan fakta yang ada di lapangan, mengenai alasan mahasiswa pertanian hanya sedikit yang terjun ke dunia pertanian. Mereka tidak sepenuhnya salah, karena sejatinya fenomena antara tidak sinkronnya jurusan kuliah dan pekerjaan ini banyak terjadi. Hanya saja masalah regenerasi petani ini masih menjadi PR yang belum terselesaikan, sehingga mahasiswa pertanianlah yang kerap dikambinghitamkan.
Sebenarnya ada banyak faktor kenapa mahasiswa pertanian hanya sedikit yang terjun ke dunia pertanian, tapi karena alasannya sangat banyak yang kalau ditulis bisa jadi skripsi atau buku, saya tulis lima alasan saja yah, yuk simak baik-baik!
Pertama, tidak punya lahan
Lahan itu modal utama bagi petani. Bagaimana tidak, tumbuhan itu perlu dan wajib ‘ain memiliki tempat untuk berkembang biak, sama seperti manusia yang membutuhkan bumi untuk berpijak. Walaupun sekarang juga sedang banyak sistem hidroponik atau aquaponik, yaitu budidaya menanam dengan menggunakan media pengganti tanah. Tapi hemat saya, kalau tidak di tanah tentu akan kurang dalam mencukupi kebutuhan pangan. Sebab, tidak semua tanaman cocok dibudidayakan secara hidroponik atau aquaponik. Beda dengan lahan di sawah. Hampir semua komoditas bisa ditanam dalam jumlah yang banyak. Tapi eh tapi, sekalipun memiliki lahan, itu juga hasil warisan dari orang tuanya. Ndilalahnya juga jumlahnya rata-rata di bawah 1-2 hektar. Sungguh nasib.
Kedua, modal besar
Jadi, pertanian itu prosesnya panjang. Dari persiapan lahan, penanaman, pengairan, pemupukan, pengendalian hama, panen, hingga pasca-panen. Dan di setiap kegiatan tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja serta tetek bengeknya. Alhasil membutuhkan modal yang banyak. Belum lagi harga sarana dan prasarana pertanian yang semakin mahal. Ditambah risiko di sektor pertanian ini terbilang cukup tinggi yang bisa saja menjadi momok bagi petani.
Ketiga, kepastian
Hal ini merupakan salah satu hal yang memberikan pengaruh besar dalam pola pikir mahasiswa pertanian. Sebab kegiatan pertanian pada akhirnya akan menjadi sebuah jalan untuk mendapatkan penghasilan, maka kepastian akan harga dan pasar menjadi penyebab para sarjana pertanian dilema untuk terjun bertani. Terlebih, di saat masih baru sarjana tentunya banyak tekanan mental yang dialami, baik dari lingkungan sekitar maupun dari dalam diri sendiri. Hingga akhirnya, karena tidak adanya kepastian yang bisa didapatkan, serta tekanan masih menghantui mengakibatkan sarjana pertanian lebih memilih untuk bekerja di tempat lain yang sudah memiliki kepastian penghasilan yang didapatkan. Belum lagi banyak orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi petani membuat tekanan segera mendapatkan pekerjaan semakin besar.
Keempat, gengsi
Petani digambarkan menjadi pekerjaan yang dekil, kotor, berpenghasilan rendah, orang miskin, dan hal-hal sinis lainnya. Sementara pemuda kebanyakan malah berkebalikan dengan kegiatan semacam itu. Ditambah saat ini mahasiswa pertanian tidak hanya orang desa, tetapi juga orang kota. Artinya memang kemungkinan kecil mereka akan menekuni pekerjaan ini, sawah aja nggak ada loh.
Kelima, nggak ada minat
Sebagian besar mahasiswa pertanian itu memang tidak menjadikan jurusan pertanian menjadi pilihan pertama bagi mereka. Termasuk saya ya hehehe. Jurusan ini biasanya jadi pelarian atau batu loncatan saja. Walaupun memang banyak juga yang menikmati dinamika menjadi mahasiswa pertanian. Tapi, kalau ditanya apakah mau jadi petani, mungkin yang benar-benar minat hanya segelintir saja. Itulah faktanya.
Itulah sederet fakta mengenai penyebab mahasiswa pertanian ogah menjadi petani. Walaupun demikian, ada banyak juga yang terjun di pertanian. Bahkan menjadi petani yang sangat sukses. Sebut saja Sandi Octa Susila, petani milenial yang memiliki omzet 500-800 juta per bulan. Atau Sofyan Adi Cahyono dengan omzet 300-400 juta per bulan. Dan masih banyak lagi petani muda yang sukses menekuni bidang pangan ini.
Terakhir, kepada pemerintah Republik Indonesia, wabil khusus Pak Menteri Pertanian, untuk bisa lebih meningkatkan dan memperhatikan minat generasi muda di bidang pertanian. Terlebih memanfaatkan potensi mahasiswa pertanian yang tumpeh-tumpeh itu. Saya sudah nyumbang penyebabnya lewat tulisan ini, tinggal bapak yang mencari solusinya hehehe.
Indonesia, negara khatulistiwa dengan sumber daya alam yang melimpah, hampir semua tanaman bisa ditanam di sini, lantas kurang apalagi? Ya benar, orang-orang yang akan menjadi petani.
BACA JUGA Teruntuk Mahasiswa Pertanian, Berikut Jawaban yang Ampuh Jika Jurusanmu Diremehkan atau tulisan Khanif Irsyad Fahmi lainnya.