Ada saja stereotip orang Jawa atau keturunan Jawa yang merantau ke luar pulau. Ada yang positif dan ada yang kurang menyenangkan.
Suku Jawa adalah salah satu suku terbesar di Indonesia. Pada 2010, setidaknya 40,22% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa.
Sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia, menjadi Jawa tentu saja memberi privilese tersendiri. Bahkan di sebuah skoring iseng-iseng di Twitter tentang seberapa besar privilese yang kita miliki saat hidup di Indonesia, suku Jawa (dan Sunda) memiliki nilai terbesar yaitu +75, mengalahkan blasteran dengan kulit putih yang hanya diberi nilai +50.
Berikut ini beberapa stereotip yang saya hadapi saat harus merantau ke luar pulau.
#1 Dianggap pintar memasak
Terus terang stereotip ini membuat saya besar kepala. Saya yang sama sekali tidak bisa memasak dianggap pandai memasak. Mungkin hal ini pula yang membuat saya ditempatkan di sebuah desa yang sama sekali tidak memiliki warung penjual makanan matang.
Dengan tertatih-tatih dan bermodalkan resep yang saya tanyakan pada ibu via sms, saya berhasil membuat masakan pertama saya: sayur sop. Tetangga yang mencicipi mengatakan sop buatan saya enak sekali, padahal menurut saya biasa saja.
Entah karena tetangga saya termakan stereotip orang Jawa pintar memasak sehingga masakan saya terasa enak, entah memang sop buatan mereka tidak seenak buatan saya. Masih menjadi misteri sampai sekarang.
#2 Dianggap berprofesi pedagang
Ini yang paling sering terjadi. Suku Jawa di luar pulau Jawa agaknya banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Paling tidak pedagang barang perlengkapan rumah tangga seperti kompor, panci, dan sebagainya. Saya juga kerap dikira penjual kosmetik (atau tukang kredit) yang berkeliling dari desa ke desa ketika naik angkutan umum.
Oya, untuk orang yang berasal dari Indonesia timur, semua orang dari Jawa terlihat serupa. Mau suku Jawa, Sunda, atau Betawi, semua dianggap Jawa. Teman saya yang bersuku Betawi, suatu ketika datang terlambat ketika salat Idul Adha. Dia minta izin seorang ibu untuk salat di sebelahnya. Ibu itu mengizinkan dan di tengah-tengah salat masih sempat menanyakan apakah teman saya adalah penjual baju keliling. Kok ya sempat-sempatnya, Bu…
#3 Dianggap “murah”
Nah, ini stereotip orang Jawa yang kurang menyenangkan. Dianggap “murah”, bukan murahan, ya, beda.
Dulu, saya dan teman-teman bersuku Jawa lainnya sering dibercandai untuk diambil sebagai menantu (atau istri) karena menikahi wanita Jawa dianggap “murah”. Maksudnya, tidak perlu membayar mas kawin dalam jumlah besar. Wajar sih karena saya sering mendengar bahwa laki-laki perlu mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk biaya belis (Sumba), uang jujuran (Banjar), uang panai’ (Bugis), dan sinamot (Batak).
Untuk orang Jawa, memang ada yang namanya seserahan, tapi nilainya dianggap tidak sebesar beberapa jenis mas kawin yang saya sebutkan tadi. Mereka belum tahu saja kalau memenuhi syarat bobot-bibit-bebet dari para sesepuh tidak mudah.
Semakin tinggi pendidikan seorang wanita Jawa, semakin besar ekspektasi akan calon menantu. Bukan besaran mas kawinnya, tapi apakah sang calon mantu kelak mampu menghidupi anak perempuannya. Misalnya, apakah punya SK PNS?
#4 Dianggap (pasti) beragama Islam
Stereotip orang Jawa terakhir ini baru saya ketahui setelah menikah. Berulang kali saya ditanya apakah saya pindah agama karena menikahi suami saya, “Dulunya Islam, ya Mbak?”
Terus terang saya heran dengan pertanyaan ini karena nama saya sangat berbau kristiani dan nama inilah yang tercantum di semua ijazah dari TK sampai kuliah. Semuanya sebelum bertemu suami.
Seperti tiga stereotip orang Jawa sebelumnya, penjelasan saya tidak diterima begitu saja. Akhirnya saya mengalah, mungkin ini seperti orang Jawa yang menganggap semua orang Batak dan Manado itu pasti beragama Kristen, keturunan Arab pasti Islam, dan keturunan Tionghoa pasti Konghucu, Buddha, atau Kristen.
Inilah beberapa stereotip orang Jawa yang harus saya hadapi sebagai orang Jawa yang merantau (dan akhirnya tinggal) di luar pulau. Mungkin tidak semua orang bersuku Jawa mengalami hal yang sama. Bisa saja mereka diterima tanpa prasangka sama sekali, namun bisa juga mereka harus menghadapi stereotip lain yang belum saya tuliskan di sini.
BACA JUGA Teori Soal Kenapa Orang Sunda Tidak Menikah dengan Orang Jawa dan tulisan Maria Kristi Widhi Handayani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.