Memasuki tahun kedua hidup di Jakarta sebagai perantau, saya merasa banyak stereotip yang selama ini diidentikkan atau disematkan dengan Jakarta ternyata kurang tepat atau keliru. Stereotip Jakarta itu biasanya berkembang dari mulut ke mulut melalui para perantau itu sendiri atau dari media mainstream.
Sebelum merantau ke Jakarta, dalam benak saya dan beberapa kawan, bahkan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia, beranggapan bahwa Jakarta adalah kota yang begitu sulit, kompetitif, keras, tidak ramah, dan horor. Meski punya UMR tinggi, tapi semua bisa dipangkas habis untuk memenuhi biaya “gaya hidup“. Hal itu kemudian melahirkan stereotip soal Jakarta sebagai Ibu kota yang lebih kejam dibandingkan ibu tiri.
Stereotip Jakarta itu memang tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga. Ada beberapa stereotip yang setelah saya amati dan tanyakan pada kawan-kawan asli Jakarta, ternyata hanya sebuah ungkapan hiperbolis yang sengaja disebarkan oleh para perantau itu sendiri supaya terlihat tangguh dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Dan bahkan kemungkinan lainnya stereotip ini sengaja “diciptakan” secara sistematis untuk mencegah arus urbanisasi masif masyarakat dari daerah lainnya. Tujuannya biar Jakarta nggak sesak-sesak amat.
Berikut saya rangkum sedikitnya 4 stereotip soal Jakarta yang tidak sepenuhnya benar.
#1 Sulit menemukan makanan murah
Stereotip ini yang pertama kali dilontarkan seorang kawan ketika tahu saya akan ke Jakarta. Dia dengan yakin mengatakan bahwa biaya makan di Jakarta sangat mahal dan susah menemukan makanan-makanan dengan harga yang terjangkau, meski itu di warteg sekalipun.
Tapi pada kenyataannya, di setiap distrik di wilayah Jakarta, selalu ada penjual makanan, mulai dari warteg, rumah makan padang, hingga jajanan ringan yang menjual dengan harga yang terjangkau. Banyak warteg yang ketika kalian masuk membawa uang 10 ribu, sudah dapat seporsi nasi plus lauk dan sayur.
Asal gaya hidup kalian mau membumi aja, tidak gengsi dan harus di tempat-tempat tertentu, persoalan makanan murah itu banyak di Jakarta.
#2 Orang Jakarta individualistik
Ini yang sering saya dengar. Jakarta itu isinya orang-orang ambisius dan individualistik. Orang di Jakarta memang ambisius, karena Jakarta adalah kota kompetitif, tanpa ambisi yah hanya jadi manusia yang terombang ambing di Jakarta. Tapi kalau individualistik, saya rasa tidak sepenuhnya benar. Sering kali terlihat di permukiman tempat saya bekerja atau di beberapa pemukiman tempat kawan-kawan saya tinggal tampak banyak aktivitas sosial yang begitu kolektif.
Hanya perumahan-perumahan elit yang terlihat sepi dan kesannya seperti masing-masing dari mereka punya kehidupan sendiri-sendiri.
Itupun lebih ke apatis ketimbang individualistik, karena tentunya rutinitas padat yang mereka jalani seharian bikin mereka lebih memilih di rumah untuk beristirahat.
Banyak eksperimen sosial yang dilakukan juga menunjukkan bahwa orang-orang di Jakarta masih sering memberikan pertolongan dan berempati terhadap orang lain yang membutuhkan. Karena itulah, orang Jakarta sering jadi sasaran penghimpunan donasi juga. Jadi, stereotip Jakarta yang satu ini, masih kurang tepat.
#3 Jakarta adalah kota dengan tingkat religiusitas yang rendah
“Hati-hati kalau ke Jakarta, banyak orang agnostik dan tidak bertuhan, jangan sampai kamu jadi liberal dan meninggalkan salat (bagi yang muslim),” begitu nasihat dari seorang kerabat.
Nasihat itu didasarkan pada kehidupan Jakarta yang terkenal bebas dan hedon. Setiap orang bebas melakukan apapun meski itu melanggar norma agama, yang penting itu tidak melanggar norma hukum. Begitulah citra Jakarta di mata orang-orang di desa.
Tapi sebenarnya, citra begini tidak sepenuhnya benar. Orang Jakarta masih banyak yang mau ibadah kok dan masih banyak yang mengedepankan pertimbangan agama dalam mengambil keputusan. Bukti yang paling frontal kalau Jakarta itu tingkat religiusitasnya nggak rendah-rendah banget bisa dilihat dari maraknya aktivitas politik, sosial, dan kemanusiaan yang seringnya nebeng dengan unsur-unsur keagamaan.
“Lah tapi tingkat intoleransi di Jakarta itu tinggi loh!”
Ingat, kita bicara soal religiusitas bukan spiritualitas. Religiusitas tentang ritual, ritus, dan aktivitas yang tampak. Sementara sikap toleransi itu sikap yang berkaitan dengan spiritualitas, yang mengarah pada sesuatu yang mengedepankan keharmonisan, keterbukaan, dan penerimaan terhadap sesuatu yang berbeda.
#4 Gaji yang selalu di atas 4 juta
Upah Minimum Regional (UMR) di Jakarta itu kalau dibulatkan memang sekitar 4.6 juta. Sehingga banyak yang menganggap kalau orang kerja di Jakarta itu uangnya banyak karena gaji UMR aja sudah mau menyentuh angka 5 juta. Padahal kenyataannya banyak pegawai swasta yang harus menjalani kehidupan dengan gaji dikisaran 2-3 Juta sebulan.
Bahkan seorang kawan yang bekerja di salah satu institusi kenamaan saja hanya mendapat upah di bawah 3 juta dalam sebulan. Jadi jangan anggap perantau di Jakarta itu selalu menerima upah sesuai UMR.
Jadi kira-kira itulah beberapa stereotip yang menurut saya perlu diluruskan. Jakarta, pada umumnya sama dengan kota besar lainnya di Indonesia. Ada sisi gelap dan ada sisi terangnya.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menunggu Jakarta Menjadi Atlantis di Bawah Ridwan Kamil dan Fahira Idris