Sebenarnya saya diliputi rasa segan yang tak habis-habis ketika menggarap tulisan ini, mirip perasaan yang dialami oleh seorang siswa lugu yang disuruh kepala sekolah untuk menyebutkan segala kekurangan personalnya pas upacara bendera. Toyota adalah juara abadi di pasar roda empat tanah air, sampai-sampai muncul jargon bahwa apa pun yang berlogo Toyota pasti laku. Masa iya saya mengulas produk-produknya yang gagal laris?
Tapi kenyataannya memang ada produk-produk Toyota yang membuat divisi penjualannya merasa sangat putus asa. Produk-produk ini, dalam sejarah penjualan Toyota yang tanpa cela, adalah anomali yang justru membuktikan bahwa ia pantas menggenggam gelar kampiun. Bagaimanapun, kita cenderung mudah mengingat satu dua kesalahan sepele dari sederet kebenaran yang tak berujung.
Ulasan saya di bawah ini, sekalipun berisi daftar produk Toyota yang gagal total di pasaran, juga tak bermaksud mengekspos noda tersebut agar Anda menjual mobil Toyota di garasi gara-gara berkecil hati. Mobil terbaik di muka bumi—mari kita sepakati saja—adalah mobil yang Anda miliki sendiri sekalipun ia dibikin oleh perusahaan tak ternama dari Pyongyang sana.
Saya cuma kepingin menawarkan alternatif pembacaan atas frasa “produk gagal”. Orang-orang biasanya menyematkan frasa tersebut kepada produk yang jeblok dalam urusan penjualan, lalu mengaitkannya dengan kualitas inheren produk itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami: produk yang gagal memenuhi target penjualan, pikir orang-orang itu, sudah pasti punya kualitas yang remuk.
Padahal kita tahu bahwa mutu produk tidak selalu berbanding lurus dengan catatan penjualan. Bisa saja suatu produk punya kualitas terbaik sejagat raya, tapi jeblok tidak ketulungan karena strategi pemasaran yang salah, pemilihan waktu rilis yang kurang tepat, harga produk rival yang lebih kompetitif, atau memang lagi apes saja. Yah, mirip-mirip nasib sebagian besar motor Suzuki lah.
Apalagi kalau menyangkut produk-produk Toyota. Empat mobil yang akan saya ulas ini punya kualitas khas mobil Jepang: irit, suku cadangnya murah dan melimpah, dan mesinnya baru bakal jebol seminggu sebelum sangkakala dibunyikan. Intinya, produk Toyota jarang membuat konsumennya tiba-tiba menderita darah tinggi.
Namun, kenapa keempat produk ini bisa-bisanya kurang laris di pasaran? Itulah yang akan kita cari tahu. Ulasan ini akan lebih panjang dibandingkan standar artikel Terminal Mojok, oleh sebab itu kencangkan dulu sabuk pengaman Anda.
#1 Toyota Etios Valco
Mobil ini adalah contoh sempurna dari kegagalan penjualan yang disebabkan oleh permainan takdir.
Setelah dekade pertama milenium ketiga ini terlampaui, permintaan terhadap mobil mungil bermesin kecil semakin naik saja, dan untuk itulah Nissan merilis March, Suzuki meluncurkan Splash, dan Mitsubishi menerjunkan Mirage. Trio mobil tersebut menguasai pangsa pasar city car selama beberapa tahun.
Mobil terkecil yang dimiliki Toyota saat itu adalah Avanza, tetapi sang CEO, siapa pun dia, mendapat pencerahan pada suatu senja ketika dia menatap keluar jendela kantornya dan melihat sebiji Starlet terparkir manis di pelataran. Sang CEO kemudian berpikir bahwa akan sangat menguntungkan bila Toyota membangkitkan kembali mobil legendaris tersebut dari kuburnya untuk diminta bertarung di segmen pasar city car.
Itulah awal mula kemunculan Etios Valco di tanah air. Meskipun mobil tersebut tampak seolah didesain dengan memakai Microsoft Paint, DNA Starlet berhasil disuntikkan ke dalam hatchback mungil tersebut melalui kubikasi mesin, fitur khas mobil ’90-an—yang berarti tidak ada fitur apa pun—dan ruang kabin yang cukup untuk menampung 4 orang dengan layak. Diluncurkanlah Etios Valco pada tahun 2013, dan dimulailah kerja para akuntan Toyota untuk menaksir besaran laba.
Pada tahun pertamanya, Etios Valco terjual nyaris 13.000 unit, jumlah fantastis untuk ukuran city car. Mobil tersebut tampak tinggal menunggu waktu untuk menggeser rekor penjualan Avanza, tetapi suratan takdir berkata lain.
Tahun berikutnya, pemerintah resmi menggandeng semua pabrikan otomotif yang mau digandeng untuk menciptakan mobil super-murah bertajuk Low Cost Green Car (LCGC). Toyota tentu saja tidak melewatkan kesempatan tersebut. Dibuatlah mobil mungil bermesin sama seperti Etios Valco yang bernama Agya. Daihatsu, di sisi lain, juga membuat kembaran Agya dengan mesin yang lebih mini lagi bernama Ayla. Maka dimulailah era mobil LCGC, dan dimulailah pula era suram Etios Valco.
Rentang harga Etios Valco pada saat itu berada di angka 120-170 juta, dan rentang harga ini tiba-tiba menjadi bumerang. Konsumen berduit cekak bakal memilih Agya-Ayla yang dibanderol sedikit lebih murah dengan kubikasi mesin dan luas kabin yang relatif sama, sedangkan konsumen berkantong agak dalam—yang mampu menebus Etios Valco trim termahal—tentu bakal memilih Avanza tipe G, mobil yang punya semua kelebihan yang tak dimiliki adik kecilnya.
Lagi pula, Honda ikut meramaikan segmen LCGC dan city car dengan seri Brio, dan seri tersebut bukan hanya menjadi mimpi buruk bagi Etios Valco, melainkan juga mobil lain yang bersaing dengannya. Maka, mudah untuk menebak nasib Etios Valco selanjutnya: mobil tersebut berhenti diproduksi pada tahun 2017 dengan catatan penjualan di tahun terakhir mencapai hanya sekitar 500 unit. Ya ampun.
#2 Toyota Nav1
Secara umum, strategi bisnis Toyota mengingatkan saya kepada Amerika Serikat ketika Perang Dunia II: lihat dulu, gempur kemudian. Toyota biasanya membiarkan kompetitornya mengisi atau menciptakan segmen pasar terlebih dahulu, baru kemudian ia menelurkan produk ciamik untuk menggempur segmen pasar tersebut.
Toyota Nav1 adalah pembuktian strategi jempolan itu. Setelah merasa cukup dengan ulah Nissan Serena dan Mazda Biante yang menguasai segmen medium station wagon selama bertahun-tahun, Toyota akhirnya merilis sang penggempur pada tahun 2012 dengan keyakinan bahwa mobil ini bakal membuat Serena dan Biante terbirit-birit seperti setan kala mendengar kumandang azan.
Keyakinan tersebut terbukti jitu, meski pihak yang terbirit-birit malah Toyota sendiri. Nav1 gagal digandrungi konsumen karena kesalahan pemosisian Toyota yang malah menjadikan Nav1 sebagai rival langsung Innova. Tolong catat, harga mobil ini mencapai 390-an juta rupiah.
Konsumen sejati Toyota, yaitu orang-orang pragmatis-konvensional-ortodoks, sudah pasti memilih Innova yang lebih sanggup diajak ke pelbagai medan. Sekalipun tak memiliki pintu geser dan kabin yang bisa dipakai bermain ping-pong, Innova punya mesin yang lebih badak ketimbang Nav1, dan ia juga bisa diajak mudik ke ujung dunia tanpa perlu merisaukan bumper yang kepentok jalan atau kondisi jalur yang sehancur permukaan bulan.
Lagi pula, desain Nav1 tidak mencerminkan mobil mahal sama sekali. Bayangkanlah, Anda sudah keluar duit nyaris empat ratus juta untuk memboyong mobil yang ketika Anda bawa arisan malah dikira teman-teman Anda sebagai Luxio modifan. Perih, perih sekali.
Maka, orang-orang menyambut gembira keputusan Toyota yang menyuntik mati Nav1 pada tahun 2016. Posisinya kemudian digantikan oleh Voxy, si cantik nan canggih yang bisa membuat penumpang baris kedua muntah-muntah kala bermanuver.
#3 Toyota C-HR
Ada 3 segmen pasar otomotif yang sampai hari ini dikuasai Honda: LCGC, city car, dan compact crossover. Brio menguasai dua segmen pasar, sementara sisanya menjadi milik HR-V.
Toyota mungkin sudah melempar handuk di segmen pasar mobil murah, tetapi membiarkan HR-V jumawa adalah kesalahan tak terampuni. Atas dasar pemikiran tersebut, diluncurkanlah pesaing HR-V pada tahun 2018, mobil luar biasa canggih di kelasnya yang dengan bangga Toyota namai C-HR.
Oh, betul, mobil ini benar-benar canggih bila dibandingkan HR-V. Contohnya, Toyota C-HR adalah produk Toyota pertama di Indonesia yang memakai platform TNGA (Toyota New Global Architecture). Suspensinya juga sudah independen, punya beragam sensor yang bakal membikin HR-V minder berat, dan punya mesin 1800cc terbuas yang pernah dibuat Toyota.
Intinya, Toyota C-HR sangat bagus di atas brosur. Namun, apakah catatan penjualannya sebagus spesifikasinya?
Karena ia berada di daftar ini, jawabannya adalah tidak. Harga mobil ini pas launching tidak ketulungan absurdnya: 490 juta! Bandingkanlah dengan harga termahal HR-V tipe Prestige 1.8L, yang saat itu cuma 395 juta. Selisih nyaris seratus juta adalah selisih yang bukan main banyaknya.
Apalagi C-HR adalah crossover, bukan SUV. Konsumen sejati Toyota bakal rela ngeluarin setengah miliar buat menebus Fortuner, tetapi mereka bakal pikir-pikir ribuan kali untuk menebus sebiji crossover di rentang harga yang sama.
Namun, mobil ini belum dihentikan penjualannya. Sampai hari ini Anda masih bisa memboyong generasi baru C-HR yang jauh lebih canggih dengan harga, ehem, 567 juta rupiah. Mantap, Toyota!
#4 Toyota Sienta
Di antara semua produk gagal laris Toyota, mobil yang satu ini memiliki paling banyak ragam penyebab kegagalan. Sulit untuk menentukan penyebab mana yang paling dominan, sehingga saya memutuskan untuk menyerahkan tugas mulia tersebut kepada Anda di kolom komentar.
Blunder Sienta yang pertama ada pada sisi desain. Oh, saya pribadi menyukai desain Sienta, tetapi ingatlah baik-baik bahwa mobil ini berlogo Toyota, logo yang dicintai oleh mereka yang berkepribadian tenang, kalem, yang dengan teliti menghitung semua tanggal merah di kalender tahun depan untuk segera merencanakan anggaran liburan bersama keluarga.
Ringkasnya, pakem desain Sienta menyalahi adat Toyota. Lihatlah aksen lampu depannya yang seperti cambang dan perhatikan pula bentuk bemper dan lubang grilnya yang menyerupai seringai ikan louhan. Pencinta produk Suzuki kayak saya bakal merasa baik-baik saja sama desain Sienta, tetapi desain begini sudah pasti dibenci oleh fans militan Toyota sendiri.
Blunder kedua adalah harga dan segmen usia konsumen yang disasar. Harga Sienta berada di rentang 312-405 juta rupiah, dan ia dibuat untuk mengakomodir kebutuhan keluarga muda. Kedua variabel tersebut kocak karena, ya ampun, kecuali keluarga muda yang dimaksud adalah Raffi Ahmad, kecil kemungkinan keluarga muda di Indonesia rela merogoh kocek sedemikian dalam untuk memboyong Sienta. Para pasangan yang buku nikahnya masih beraroma doa-doa mustajab sang naib biasanya memilih city car atau small hatchback sebagai tunggangan utama. Sementara pasangan yang saban hari dibikin senewen oleh ulah balitanya yang berpusing seperti kitiran, biasanya memilih low MPV seperti Xpander, Ertiga, dan Avanza.
Membeli station wagon seharga tiga ratus juta, secara ringkas, adalah keputusan yang hanya bisa diambil oleh keluarga muda yang sudah kaya sejak mereka masih berupa embrio.
Blunder ketiga Sienta agaknya tidak benar-benar dipahami oleh jajaran direksi Toyota. Ini, boleh dikata, adalah blunder yang berkaitan dengan campur tangan takdir.
Begini. Sienta sejatinya dirilis untuk melawan keperkasaan Honda Freed. Saat itu, memang cuma ada Freed yang bermain di segmen low station wagon, dan tentu saja Toyota tak bisa tinggal diam. Maka meluncurlah Sienta pada tahun 2016, tepat pada tahun ketika Honda memutuskan untuk tidak berjualan Freed lagi di Indonesia.
Keputusan Honda bisa kita sebut tidak masuk akal, tetapi nasib Sienta selanjutnya malah berada di luar nalar. Ia tiba-tiba sendirian di segmen sesempit itu. Barangkali Anda menyebutnya berkah karena ia bisa memonopoli pasar, tetapi kadang-kadang kita membutuhkan rival untuk menjadi dominan. Tanpa pesaing, Sienta tampak seperti mobil kemahalan yang kelewat ambisius. Padahal andai Freed masih bercokol, harga dan segmentasi pasar Sienta akan tampak kompetitif dan masuk akal.
Takdir Sienta barangkali mirip dengan Naruto andai Lord Kishimoto tak menciptakan Sasuke: ia bakal tetap menjadi bocah bandel hingga akhir hayat yang kemampuan terbaiknya adalah menciptakan jutsu cabul. Tanpa rival, Naruto tidak akan tergerak untuk menjadi shinobi yang lebih jago; kerjaannya sudah pasti menghabiskan ramen dan menggombali Sakura melulu.
Sienta, malangnya, mesti menanggung takdir berat semacam itu.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Rekomendasi Mobil Bekas dengan Biaya Perawatan yang Murah.