4 Mitos Sunat yang Sama Sekali Ora Mashok

4 Mitos Sunat yang Sama Sekali Ora Mashok

Proses sunat (Casa Nayafana via Shutterstock.com)

Sunat pun tak terlepas dari mitos. Mitos tersebut dipercaya hingga kini. Dan menurut saya, hal tersebut harus segera ditinggalkan

Dari kecil, kita sudah mendengar banyak hal terkait mitos. Bisa jadi itu benar adanya, bahkan malah sebaliknya. Mitos merupakan hal wajar di Indonesia, karena disadari atau tidak, dengan mitos tersebut kita mampu membatasi diri dengan tidak melakukan yang dilarang, yang sebenarnya tidak mengapa kita lakukan.

Banyak mitos yang bahkan bermanfaat buat hidup kita. Tapi tidak sedikit juga mitos tersebut membuat kita menjadi takut bahkan sampai depresi. Salah satunya mitos terkait sunat yang ada-ada saja percaya walaupun belum mencobanya. Dan kali ini, kita bahas mitos tentang sunat yang sebaiknya nggak usah diteruskan.

#1 “Sakitnya kayak digigit semut”

Ini loh mitos yang sampai sekarang, turun temurun masih aja ampuh untuk meyakinkan seorang anak untuk disunat. Mereka didoktrin untuk percaya kalau titit disunat itu nggak perlu takut, sakitnya itu cuman kayak digigit semut saja.

Bener kayak digigit semut. TAPI SEMUTNYA SEGEDE TRUK.

Sunat itu sakit, dah gitu aja. Ya pasti ada yang merasa biasa aja, pain tolerance manusia beda-beda. Tapi, menyederhanakan rasa sakit kan nggak tepat juga.

#2 Berendam di pantai bikin cepet sembuh

Titit yang disunat itu butuh waktu untuk sembuh. Ada yang butuh sehari, seminggu, bahkan ada yang berbulan, tergantung orangnya. Namun ada satu mitos yang masih dipercaya di masyarakat kita, bahwa kalau mau cepat sembuh harus berendam di pantai, karena adanya air garam yang mampu membuat rasa sakit itu cuman diawal doang alias cepat hilang. Sebenarnya nggak hanya untuk sunat sih, mitos ini juga katanya untuk berbagai jenis luka.

Memang mitos tersebut terdengar masuk akal, cuman untuk melakukannya butuh keberanian level dewa. Bayangkan aja coba, luka di tangan saja, ketika diberi air garam, rasanya sangat-sangat wadidaw. Apalagi titik yang sangat dijaga dan dirawat kelestariannya, malah harus disakiti dengan kejam, dengan alasan “cuman sakit di awal kok, setelah itu udah sembuh”. Cot!

#3 Sakitan sunat zaman dulu

Konsep kaum mendang-mending dengan semboyan “lu mah mending, lah gua” sangat-sangat masih berpeluang membuat anak-anak polos tersebut terjerumus dan pasrah untuk disunat. Mitos pada dimensi kehidupan masyarakat itu telah mampu menjadi norma sosial yang sangat amat dipercayai, bahkan di dunia persunatan.

Banyak orang tua, yang mendoktrin anak atau ponakannya untuk mau disunat dengan membandingkan dirinya di masa lalu. Cara sunat zaman dulu memang beda dengan sekarang. Dulu mungkin masih dengan cara tradisional yang super-duper alami. Sekarang sudah ada bius dan dibantu oleh tenaga kesehatan yang profesional. Dulu pakai bambu tanpa bius, sekarang pakai gunting dengan bius.

Namun, yang mesti kita pertimbangkan bapak, om, dan orang tua yang kami muliakan, hal yang harus kita kita junjung tinggi ialah tidak semua hal harus kita bandingkan, termasuk sunat. Kalau sakit ya sakit aja. Nggak usah didoktrin anaknya “sekarang mah enak, dulu kita masih pake bambu”. Itu kan DULUUU. Sekarang mah beda lagi, sakit ya tetap sakit namanya.

#4 Dijanjikan harta berlimpah

Satu lagi mitos persunatan yang nggak bakal hilang. Setiap anak yang disunat pasti akan dijanjikan berbagai janji-janji duniawi yang belum tentu ditunaikan. Dijanjikan duit yang melimpah, dibelikan mainan yang diimpikan, difasilitasi kamar yang ekslusif, bahkan dijanjikan tokoh-tokoh idolanya bakal diedo-tensei. Ini adalah segala harta karun anak-anak yang bakal susah untuk ditolak.

Persoalannya kemudian adalah, apakah ini suatu investasi bodong bagi sang anak. Bagaimana mungkin kita bisa yakin kalau anak nggak ngambek ketika yang dijanjikan tidak ditepati. Di mana rasa peri-kemanusiaan orang tua terhadap anaknya? Tidak berpikir kah untuk menjanjikan yang realistis saja, yang masuk akal saja? Ayolah, jangan sampai keharmonisan orang tua dan anak dihancurkan gara-gara titit yang disunat.

Itulah empat mitos yang masih terus dijadikan simbol perjuangan oleh orang tua untuk meyakinkan anaknya menunaikan kewajiban sunat. Ini adalah hal remeh temeh secara ide, tapi serius secara tindakan. Kreativitas sangatlah dibutuhkan dalam masa kini, inovasi tentang titit dipotong tidaklah harus yang wadiwaw, cukup beda dengan sebelumnya itu sudah menjadi keberhasilan tersendiri.

Jangan biarkan masa yang serba canggih ini, harus dilalui dengan tradisi yang sudah usang dan nggak relevan lagi. Apalagi membuai anak dengan kebohongan. Wah, jangan!

Penulis: Rahmatullah Syabir
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Saking Kuatnya, Mitsubishi Colt Baru Akan Tamat Sehari Setelah Kiamat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version