Beberapa waktu lalu, saya beserta teman seangkatan kuliah di Jakarta berkesempatan untuk mengunjungi Jogja dalam rangka Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Selama berada di kota yang mendapat julukan sebagai “Kota Pelajar” ini, saya mempelajari sejarah lewat bangunan-bangunan bernilai historis,
Saya dan teman-teman dari Jakarta datang ke Monumen Jogja Kembali (Monjali). Saat senggang, kami berselancar di Malioboro dan mencoba nongkrong di salah satu angkringan yang letaknya tak jauh dari Stasiun Tugu. Nah, sebagai orang asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Jogja, saya menemukan 4 hal yang sedikit bikin saya culture shock.
Daftar Isi
#1 Nyaris tidak ada bunyi klakson dan perampas hak pejalan kaki di Jogja
Pertama, selama berada di Jogja, saya hampir tak pernah mendengar bunyi klakson. Saat lampu merah atau lalin sedang padat, jujur saja, saya tidak mendengar bunyi klakson sama sekali.
Saya hanya mendengarnya kurang lebih satu atau dua kali. Itu saja akibat ada kendaraan yang mengerem mendadak atau berpindah lajur tanpa menyalakan lampu sen.
Keadaan seperti ini sangat berbanding terbalik dengan Jakarta. Di sana, di segala situasi, selalu saja ada bunyi klakson. Apalagi saat lampu merah, banyak orang yang nggak sabaran! Mendengarkan sahutan klakson dari sana-sini buat saya pusing, dan untungnya Jogja tak seperti itu.
Berdasarkan pengalaman ini, saya rasa warga Jogja memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap sesama pengguna jalan. Lalu, selain tak ada bunyi klakson, secara kasat mata saya tak melihat ada pemotor yang merampas hak pejalan kaki dengan menaiki trotoar.
Bahkan saat situasi sedang macet pun, saya tak melihat fenomena yang lumrah di Jakarta. Para pengendara rela antre dan mematuhi aturan lalu lintas. Tak ada saling senggol dan marah-marahan. Pokoknya, dalam sudut pandang pendatang, patut mendapat acungan jempol, deh.
#2 Harga makanan dan minuman yang rata-rata masih terjangkau
Jadi, di Jogja, saya dan teman-teman dari Jakarta sempat nongkrong di salah satu angkringan. Saya melihat perbedaan harga makanan antara angkringan di Jakarta dengan Jogja.
Harga makanan dan minuman di sini rata-rata masih lebih murah dengan porsi yang terbilang banyak. Saya yang biasanya memesan teh tarik ala warkop di Jakarta dengan harga 8 ribu rupiah, di angkringan tersebut, saya cukup membayar 6 ribu rupiah. Ukuran gelasnya, jika membandingkan dengan di Jakarta, juga lebih memuaskan.
Berikutnya, salah satu teman juga membandingkan ukuran sate usus 3 ribu rupiah di Jogja dengan Jakarta. Menurutnya, sate usus yang ada di Jakarta hanya berukuran setengah dari sate usus di Jogja, dengan harga yang sama.
Teman SMA yang kebetulan berkuliah di Jogja pun turut mengatakan, kalau makanan di sini murah-murah. Dirinya sendiri penggemar burjo, dan dengan harga 10 ribu rupiah sudah bisa kenyang.
Melihat fakta-fakta di atas, saya yakin kalau makanan-minuman di Jogja memang lebih murah dibandingkan Jakarta. Ya, sebenarnya nggak bisa dibandingkan juga, sih. Terutama ketika melihat gaji dan biaya hidup.
Baca halaman selanjutnya: Bagi orang Jakarta, Jogja itu tak terlupakan.
#3 Tidak sepanas Jakarta
Suhu udara tak luput dari pengamatan saya ketika berkunjung ke Jogja. Cuaca di sini, menurut saya, cukup sejuk dengan panas yang tak menyengat.
Ketika waktu menunjukkan pukul 10 dan 11 siang, cuacanya cerah berawan dan sedikit panas. Namun, embusan angin sepoi-sepoi membuat udara menjadi sedikit lebih sejuk. Untuk perspektif pendatang, saya akui kalau cuaca di sini nggak se-ekstrem Jakarta. Ya, meskipun ada yang menyebut kalau Jogja makin panas akibat polusi udara dan lain-lain. Saya sendiri merasakan kalau panasnya memang tak sepanas Jakarta sehingga bagi saya cukup cocok.
Saya beserta teman se-angkatan sempat berkunjung ke Candi Prambanan sebelum bertolak kembali ke Jakarta. Nah, saat itu cuaca sedang cerah, terik, dan panas. Menurut saya, panas yang saya rasakan nyaris menyamai Jakarta. Tetapi untungnya banyak angin yang bertiup.
#4 Penduduk lokal yang ramah
Ini adalah salah satu yang berkesan bagi saya selaku pendatang yang pertama kali mengunjungi Jogja. Itu adalah keramahan penduduk lokal.
Saya menilai bahwa warga lokal ramah terhadap pendatang. Mereka tak segan melemparkan senyuman yang ramah kepada saya selaku pendatang. Pemandangan seperti ini saya temukan saat berjalan-jalan di Malioboro. Warga lokal yang saya temui di Malioboro, seperti musisi jalanan, pengemudi becak, dan pedagang sate asongan tampak ramah terhadap pendatang atau wisatawan.
Ada satu cerita dari salah satu teman angkatan yang bikin saya makin mengapresiasi keramahan serta kebaikan penduduk lokal. Ketika rombongan kami sedang berada di tempat oleh-oleh, jari teman saya terluka. Kemudian, dia mendatangi seorang pedagang minuman es untuk menanyakan apakah menjual plester atau tidak.
Sang penjual mengatakan tidak dan meminta teman saya untuk pergi ke warung kecil di sebelahnya. Namun, warung tersebut juga tidak menjual plester. Nah, di sini, “keajaiban” terjadi.
Penjual itu mengajak teman saya dengan sepeda motornya untuk mencari plester di warung lain sampai benar-benar dapat. Ketika sudah mendapatkan plester, sang penjual menolak menerima uang dari teman saya.
“Ucapan terima kasih bagi saya sudah cukup. Jadi uangnya disimpan buat adek saja,” ucap penjual itu. Saya yang mendengarnya pun takjub. Ternyata penduduk lokal begitu baik dan sangat membantu orang pendatang.
Begitulah hal-hal menarik yang saya temukan ketika berkunjung ke Jogja untuk pertama kali. Apa yang saya alami ini buat saya ingin kembali berkunjung. Saya yakin, masih banyak cerita-cerita lain yang belum terekspos dan menggugah rasa penasaran saya. Sekian.
Penulis: Muhammad Arifuddin Tanjung
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alasan Logis Siswa Jakarta kalau Piknik Malah ke Jogja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.