Beberapa waktu lalu, pengusaha kuliner langganan saya mengeluh. Katanya, harga cabai di pasar mahal. Belakangan, cerita meroketnya harga cabai memang sering saya dengar. Dari tukang sayur, dari tetangga, dari berita, dll. Padahal cabai ini kan memegang peranan penting dalam dunia masak-memasak. Saya saja sering kali batal masak begitu lihat stok cabai di kulkas ternyata habis.
Nah, sebagai pencinta makanan pedas, saya jadi berpikir. Kalau harga cabai naik terus, apa jadinya, ya? Lalu saya pun tersentak. Ngeri membayangkan hal-hal ini terjadi sebagai dampak tak terjangkaunya si cabai.
#1 Punahnya kasta ayam geprek
Sebagai elemen penting dalam penyajian ayam geprek, nggak mungkin ayam geprek tampil tanpa cabai. Sudah cukup kami memaafkan ayam geprek yang nggak digeprek. Haruskah sekarang kami juga memaklumi keberadaan ayam geprek tanpa sambal? Oh, tidak!!! Jangan sampai terjadi. Saya nggak sanggup membayangkan ada makanan bernama ayam geprek, tapi setelah dibeli ternyata ayam goreng tepung yang di atasnya dikasih encrotan saus. Tidakkk!1!11!
Maka, yang paling mungkin terjadi adalah, ayam geprek akan tersingkir dari khazanah dunia kuliner tanah air. Pengusaha ayam geprek yang belakangan dengan mudah kita jumpai setiap 200 meter akan beralih profesi. Mungkin membuka kedai kopi kekinian yang setelah dicicipi nggak lebih enak dari kopi sasetan.
#2 Tersingkirnya tren level-levelan pada makanan
Level-levelan dalam makanan, baik mi, nasgor, atau apa pun itu, mengandalkan campur tangan cabai. Makin tinggi levelnya, makin banyak cabai yang digunakan. Sekarang, kalau cabai sudah jadi barang mahal, masih mungkinkah tren level-levelan makanan eksis? Kalau dipaksakan, pasti harga makanannya jadi selangit. Bikin pembeli jadi berpikir dua kali. Masa iya hanya demi mencari kepedasan harus membuat lubang di dompet dulu? Memangnya mulut tetangga kurang pedas apa?
Dan ternyata, di Tegal sudah ada loh tempat makan yang mulai menurunkan level-levelannya. Kalau biasanya sampai level 15, sekarang cuma sampai level 5. Mahal bos cabainya. Bingung kasih harga mereka.
#3 Omzet minuman turun
Kalian pasti setuju bahwa makanan pedas itu butuh minuman ekstra untuk menetralisir rasa pedas yang ditimbulkan. Saya ingat, dulu, saya dan suami pernah beli mi. Harganya nggak seberapa, tapi pas ke kasir, tagihannya banyak. Ternyata ada andil dari minuman yang kami pesan. Jadi, saking pedasnya mi itu, kami sampai pesan minuman berbotol-botol. Nah, kalau eksistensi makanan pedas ini musnah, bisa jadi omzet minuman di tempat makan juga akan turun. Padahal biasanya justru dari minuman inilah para pedagang dapat untung lebih.
#4 Makin maraknya sajian makanan amnesia
Waini! Ini yang paling ngeri menurut saya. Etalase-etalase makanan di warteg akan dipenuhi oleh makanan amnesia. Makanan amnesia kayak gimana? Pucet, Gaes. Nggak ada merah-merahnya. Malah jadi nggak kayak warteg lagi. Kan warteg itu identiknya dengan makanan serba merah membara.
Tapi ya mau gimana lagi, cabai sebagai penyumbang warna merah pada makanan harganya mihil. Masa iya mau diganti pewarna makanan? Iya sih warna makanan jadi merah. Tapi kan nggak pedas. Apa harus digampar dulu biar pedas?
Duh, ngeri. Pokoknya jangan sampai deh cabai jadi barang mahal. Cukup Pringles saja yang mahal. Saya masih bisa tutup mata nggak beli Pringles. Tapi kalau nggak beli cabai… Ah, jangan. Nggak sanggup rasanya bila makan nggak ada pedas-pedasnya. Kamu gitu juga nggak?
BACA JUGA Menggugat Saus Sambal yang Dituang Tanpa Permisi ke dalam Masakan dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.