4 Alasan Bumbu Ulek Lebih Nikmat daripada Bumbu yang Diblender

4 Alasan Bumbu Ulek Lebih Nikmat daripada Bumbu yang Diblender

4 Alasan Bumbu Ulek Lebih Nikmat daripada Bumbu yang Diblender (Unsplash.com)

Kalau kalian tim bumbu ulek atau diblender, Gaes?

Konon katanya bumbu yang dihaluskan manual tanpa mesin akan menghasilkan rasa masakan yang lebih mantap. Masih cukup banyak orang yang mengamini pendapat ini. Salah seorang bude saya misalnya. Blio merupakan emak-emak pengabdi ulekan dan lumpang-alu garis keras. Tipikal manusia yang sama sekali anti dengan bumbu yang diblender.

Hal ini nggak cuma berlaku untuk keperluan masak sehari-hari. Kalau bude saya punya hajat di rumahnya, sudah bisa dipastikan bumbu-bumbunya dihaluskan secara manual alias diulek dengan tangan. Padahal undangan selametan itu nggak sedikit, lho. Setidaknya ada 30 orang, bisa juga mencapai 50 orang lebih.

Menurut saya, masaknya pun sama sekali nggak sepele. Harus menyiapkan konsumsi untuk dimakan di tempat dan berkatan dengan lauk pauk sesuai pakem. Belum lagi berkatan buat tonjokan dan asul-asulnya yang dibagikan ke tetangga maupun tamu sebelum acara dimulai. Banyak banget, kan?

Tentu saja kenyataan itu membuat saya tercengang. Menurut pengakuan bude saya, blio akan tetap setia dengan bumbu ulek selama fisiknya masih mampu melakukannya. Wah, jelas saya nggak bisa relate. Lha wong ngulek sambel aja nggak pernah tuntas.

Berdasarkan kondisi di atas, tentunya sangat layak jika kita keheranan. Di zaman yang serba modern ini, mesin-mesin penghalus telah hadir dengan beragam variasinya untuk mempermudah pekerjaan manusia. Namun tetap saja keistimewaan bumbu ulek atau ditumbuk manual menggunakan lumpang dan alu seolah tak tergantikan. Kenapa bisa gitu, ya?

Proses penumbukan membuat ekstrak bahan baku bumbu keluar secara optimal

Pada saat menumbuk, ada tekanan yang kita berikan terhadap bumbu-bumbu yang masih berbentuk bongkahan. Tekanan itu mampu mengeluarkan ekstraksi dan minyak-minyak alami yang dimiliki bahan baku seperti bawang atau cabai secara optimal. Semacam terperas akibat tekanan pada saat penggerusan. Sehingga rasa dan aroma yang dihasilkan oleh bumbu ulek jadi lebih nikmat.

Bandingkan dengan cara kerja blender. Bumbu-bumbu tersebut menjadi halus karena perputaran bilah pisau yang sangat cepat. Lebih tepat disebut tercincang daripada tergerus. Jus dan minyak-minyak alami dari bahan bumbu tersebut nggak keluar dengan baik sebagaimana yang terjadi pada proses pengulekan.

Baca halaman selanjutnya

Paparan panas dari blender merusak karakteristik bumbu…

Paparan panas dari blender merusak karakteristik bumbu

Perputaran mata pisau pada blender yang begitu cepat akan menghasilkan panas. Paparan panas itu bisa merusak karakteristik bahan baku bumbu. Barangkali struktur kimianya atau apalah itu akan mengalami gangguan.

Misalnya saja seperti proses penggilingan daging untuk bakso, nugget, atau siomay. Air es perlu ditambahkan untuk mencegah adonan menjadi lembek akibat panas yang dihasilkan dari perputaran mata pisau mesin penggiling. Penambahan air es akan memberikan hasil akhir adonan yang tetap kenyal.

Dari analogi itu bisa kita asumsikan bahwa panas akibat perputaran mata pisau blender memang bisa merusak karakteristik bahan-bahan bumbu. Berbeda dengan proses mengulek. Walaupun gesekan antara ulekan dan bahan bumbu juga menghasilkan panas, namun nggak sampai merusak karakteristik alami dari bumbu-bumbu tersebut. Makanya bumbu ulek terasa lebih mantap.

Tekstur bumbu yang diblender jadi terlalu halus

Kita sering menjumpai bahwa bumbu yang diblender cenderung lebih halus dibandingkan bumbu ulek. Teksturnya bahkan menyerupai bubur, sehingga rasanya sudah sangat bercampur. Nggak bisa lagi dibedakan mana yang bawang merah, mana cabai, mana bawang putih.

Sedangkan pada bumbu ulek, kita masih bisa merasakan krenyes-krenyes dari bahan yang nggak tertumbuk dengan sempurna. Jadi karakter masing-masing bahan masih sangat mungkin untuk dikenali. Malahan ada yang menganggap bahwa sensasi serpihan bawang atau cabai yang tergigit itu mendatangkan kenikmatan tersendiri.

Segala sesuatu yang dicapai dengan banyak usaha memang terasa lebih memuaskan

Jika alasan-alasan di atas tadi terasa terlalu fafifu dan memusingkan, barangkali alasan yang terakhir ini akan lebih mudah kita terima. Segala sesuatu yang dicapai dengan usaha besar memang cenderung lebih memuaskan.

Sama seperti Indomie yang terasa lebih nikmat saat disantap di puncak gunung, atau air putih yang tiba-tiba menjadi sangat segar saat berbuka puasa. Begitu juga dengan mengulek. Butuh waktu dan tenaga lebih besar daripada menghaluskan dengan mesin. Padahal jenis bahan dan kuantitasnya sama persis.

Mungkin juga ada peran sugesti bahwa setiap makanan yang diolah secara tradisional akan menghasilkan rasa yang lebih mantap daripada yang diolah dengan mesin. Sebab, ada nilai kenangan di dalamnya. Mengingatkan akan masakan nenek atau ibu misalnya.

Menurut saya pribadi, baik bumbu ulek maupun yang diblender akan menghasilkan masakan yang sama enaknya. Tergantung bagaimana kita meramu bumbunya. Toh saya nggak bisa bedain mana soto yang bumbunya diulek dan mana yang diblender.

Akan tetapi lain ceritanya dengan sambel. Saya jelas lebih suka sambel yang diulek daripada yang dihaluskan pakai mesin. Komponen penyusun sambel akan terasa lebih on point ketika diulek. Kalau kalian tim ulek apa blender, nih?

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Bumbu Instan, Senjata Masak Penyelamat Anak Kos.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version