Kabupaten Sukoharjo, meski hanya sepelemparan batu dari Solo, tapi jangan anggap mereka “sekeren” Solo. Benar, mereka punya Solo Baru yang amat standout ketimbang daerah lain di Soloraya, tapi Sukoharjonya sendiri sebagai induk nggak ada mirip-miripnya sama Solo baru.
Keadaan di Sukoharjo yang sebenarnya jauh dari ekspektasi kalian, yang mungkin beranggapan bahwa Sukoharjo adalah kabupaten yang maju dan makmur. Itu cuma slogannya aja sih. Hal ini terbukti dengan tulisan-tulisan di Terminal Mojok yang banyak membahas Sukoharjo dari sudut pandang negatif. Karena memang begitulah fakta di lapangan.
Namun berbagai tulisan itu sepertinya tidak digubris atau tidak diambil pusing oleh pemerintah. Mereka seolah nggak sadar bahwa Sukoharjo itu punya segudang potensi yang belum terekspos oleh orang banyak, misalnya destinasi wisata, kuliner, budaya, dan masih banyak lagi.
Melalui tulisan ini saya tidak hanya mengkritik kinerja pemerintah, tapi saya mencoba memberi usulan kebijakan. Mungkin dapat dipertimbangkan dan ditempuh oleh elite pemerintah untuk memajukan kabupaten Sukoharjo.
Branding potensi pariwisata Sukoharjo
Siapa sangka potensi pariwisata di Sukoharjo itu amat besar. Selain pemandangan sawah yang sudah jarang ditemukan di perkotaan, Sukoharjo menyimpan destinasi wisata yang nggak kalah dengan kota lain. Contohnya Waduk Mulur, Dam Colo, Bukit Sepikul, Batu Seribu, Pesanggrahan Langenharjo, Telaga Biru, Gunung Taruwongso, dan The Heritage Palace.
Saya yakin di antara nama-nama destinasi tersebut, telinga kita lebih familiar dengan nama terakhir. Mirisnya lagi, Sukoharjo kerap kali tidak dianggap sebagai daerah pemilik The Park Mall dan Pakuwon Mall, mesakne tenan.
Beberapa kenyataan di atas menunjukkan bahwa masalah utama tenggelamnya Sukoharjo di mata masyarakat adalah kurangnya pemasaran dan branding potensi daerah. Coba cek saja, apakah website pemerintah Sukoharjo turut mempromosikan destinasi wisata, kuliner khas, ataupun produk unggulan UMKM? Malahan isinya berupa kegiatan operasional pemerintah saja.
Well, sejujurnya itu bukan hal yang nggak penting, tapi memperkenalkan keunggulan diri sendiri nggak kalah krusial.
Ditambah lagi kondisi destinasi-destinasi yang saya sebutkan sebelumnya tidak terawat dengan baik. Hanya dihias ala kadarnya dan dibiarkan begitu saja. Nggak menarik blas. Bila Waduk Mulur dibandingkan dengan Waduk Cengklik, waduh kami kayaknya mundur duluan deh. Maka tak mengagetkan kalau Kabupaten Sukoharjo kalah saing dengan daerah sekitarnya seperti Solo atau Karanganyar yang gencar memanfaatkan potensi daerahnya.
Usulan saya simple, pemerintah perlu memaksimalkan pengadaan website dan media sosial untuk mem-branding diri serta berusaha tidak ketinggalan dengan tren zaman sekarang. Tujuannya untuk menarik wisatawan datang dan nantinya juga akan menambah pemasukan APBD Sukoharjo. Ya apa gunanya pejabat dibayar mahal-mahal tapi daerah yang dikelolanya ambyar?
Daftar Isi
Optimalisasi area alun-alun
Keberadaan alun-alun seolah menjadi destinasi utama pelancong ketika mengunjungi suatu daerah. Alun-alun Kidul dan Lor Solo, Alun-alun Joga, Alun-alun Karanganyar, Alun-alun Bandung, dan Alun-alun Wonosobo adalah sedikit dari banyak alun-alun terkenal di Indonesia.
Emang Sukoharjo punya alun-alun? Ya punya lah, namanya Alun-alun Satya Negara. Sangar ya. Tapi kondisi alun-alun ini tidak sesangar namanya karena suasananya sepi walaupun cukup banyak warga yang berkunjung. Jajanannya pun tidak variatif. Kebanyakan menjajakan wedangan, warung ayam goreng, warung nasi goreng, dan bakso bakar. Sangat berbeda dengan alun-alun Solo yang selalu ramai pengunjung dengan aneka makanan enak dari ujung sampai ujung.
Saya curiga, banyak anak muda Sukoharjo yang lebih memilih alun-alun Solo untuk nongkrong di malam hari, termasuk saya. Ya habis gimana lagi. Sayang banget kalau potensi alun-alun Sukoharjo cuma dianggurin dan sekadar numpang lewat aja. Diperlukan effort dalam mengembangkan area alun-alun agar lebih modern dan menjadi pusat basecamp anak muda. Bisa melalui pembuatan spot-spot menarik dan penataan lokasi.
Selain itu variasi jajanan perlu ditambah. Mungkin dengan menyediakan tenda-tenda gratis bagi pedagang yang mau berjualan atau memberikan modal usaha. Di tempat saya tinggal, Solo Baru, sudah terlampau banyak yang menjajakan makanan minuman. Setidaknya usulan itu juga bisa membantu relokasi pedagang Solo Baru ke Alun-alun Sukoharjo.
Menggaet investor untuk mengurangi pengangguran
Menurut data dari BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Sukoharjo tahun 2023 meningkat sebesar 0,93% yaitu berada di angka 3,4%. Sebelumnya pada 2022, TPT Sukoharjo sebesar 2,47%. Hal ini disebabkan oleh bangkrutnya industri padat karya, terutama sektor tekstil yang mendorong terjadinya PHK.
Artinya saat ini banyak warga yang menganggur dan butuh lapangan pekerjaan. Sangat sulit bila hanya mengandalkan pendapatan daerah dalam membuka lapangan pekerjaan. Solusi yang bisa saya tawarkan adalah pemerintah menggaet investor-investor agar menanamkan modalnya ke Sukoharjo.
Hal ini bertujuan untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat. Misalnya di industri padat karya, agribisnis, pengolahan pangan, dan berbagai lini bisnis lainnya. Tentunya dengan menerapkan regulasi yang tepat bagi penanaman modal asing ini agar tidak merugikan pemerintah dan masyarakat.
Pemerataan pembangunan di Kabupaten Sukoharjo harus segera dikebut
Walaupun Kabupaten Sukoharjo sangat luas, namun pembangunan di sini masih sangat timpang. Seperti yang sudah diketahui, Sukoharjo kota penuh dengan infrastruktur kantor pemerintah, trotoar, jalur pesepeda, halte bus, dan berbagai fasilitas lain. Jalanannya saja sudah mulus dan luas bagaikan jalan tol. Solo Baru apalagi, sudah jadi kota satelit berkat fasilitas mewahnya.
Namun berbeda dengan daerah pinggiran Sukoharjo yang kondisinya kerap dikeluhkan oleh jamaah mojokiyah Sukoharjo. Banyak daerah pinggiran yang justru “terbengkalai” karena minimnya pembangunan fasilitas publik di sana. Misalnya jalan rusak, ketiadaan halte bus, rumah sakit, fasilitas rekreasi dan olahraga, pariwisata, hingga sarana pendidikan.
Urusan pemerataan pembangunan nggak bisa pandang bulu atau terbatas pada daerah tertentu. Meredupnya potensi dan distribusi pendapatan yang tidak merata ujung-ujungnya menyasar rakyat juga. Jadi, sangat penting pembangunan infrastruktur di daerah pinggiran Sukoharjo agar selevel dengan pusat kotanya.
Itulah beberapa usulan dan masukan saya kepada pemerintah dan bupati Sukoharjo periode selanjutnya agar nggak malu-maluin daerahnya sendiri. Jelas Kabupaten Sukoharjo harus berbenah kalau nggak mau ditinggal warganya. Tapi setidaknya kalau ditanya asal daerah, kita nggak malu lagi mengakui Sukoharjo sebagai kampung halaman tercinta kita.
Penulis: Yessica Octa Fernanda
Editor: Rizky Prasetya