Kebersamaan selama dua dekade dengan Honda Astrea Grand membuat saya belajar banyak hal, terutama pelajaran otomotif. Misalnya ketika Astrea itu mogok, saya mau nggak mau jadi belajar benerin motor mogok. Misalnya ketika rantai motor putus, saya mau nggak mau harus mencari akal buat benarin rantai itu biar bisa lanjut jalan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman kecil itu, ada kawan yang menanyakan soal plus dan minusnya sebuah Honda Astrea, saya jawab aja ada banyak minusnya ketimbang plusnya. Ya, lagian motor bapacc-bapacc jaman dulu kamu masih kecil ditanyain plusnya segala. Ya, susah. Kalau mau banyak plusnya, beli motor baru. Kali ini saya akan mengulas tiga keunggulan dan tiga penyakit dari Honda Astrea Grand.
Irit
Irit adalah sebuah keniscayaan bagi klan Astrea. Sejauh kemanapun saya melangkah, hal yang paling gampang didengar dari masyarakat apabila menyangkut tentang Astrea adalah keiritannya. Irit memang menjadi sebuah legenda tersendiri. Dahulu ketika saya masih pakai Astrea Grand, selama perjalanan pulang-pergi kerja, saya selalu menunda-nunda buat mampir ke pom bensin. Bukan karena saya malas, tapi karena saking iritnya tuh Astrea.
Dalam sehari, saya dan Astrea Grand menempuh perjalanan 30 KM. Biasanya sih, saya ngisi bensin dua hari sekali. Seringnya sih, besok-besok aja ah ngisi bensinnya. Cara berkendara saya, ya selow, namanya juga naik Astrea Grand nggak bakal secepat Jupiter Z. Tapi, kalau saya bandingkan keiritannya sama motor bebek injeksi jaman sekarang, sebetulnya sama aja sih. Hehehee~
Nyaman
Bagi saya Honda Astrea adalah motor paling nyaman. Joknya yang tebal berasa kayak duduk di sofa. Bokong saya nggak pernah merasakan panas ketika riding jauh dari Bekasi ke Bandung. Selain itu shock breaker depan dan belakang juga empuk. Ketika ada jalanan rusak dan ada polisi tidur secara berbaris, peredam kejut ini bekerja dengan baik sehingga motornya pun mudah dikendalikan dalam medan jalan yang buruk.
Sebab itu juga beberapa teman-teman saya selalu berkomentar; lebih enak dibonceng pakai Honda Astrea Grand ketimbang Supra—saat itu saya juga ada Honda Supra, bukan Toyota Supra. Secara ergonomi, mengendarai Honda Astrea nggak bikin badan saya cepat pegal. Nah, atas alasan kenyamanannya ini—meskipun saya udah ganti motor—hati saya nggak pernah bisa move on dari Honda Astrea Grand. Ya, namanya juga udah nyaman.
Gampang dirawat
Populasi Honda Astrea Grand bisa dikatakan padat. Di mana pun kita berada, sudah pasti akan dengan mudah melihat sosok Honda Astrea Grand. Dengan begitu juga suku cadangnya juga gampang ditemui. Mulai dari yang ori, KW 1, KW 2, sampai KW 3.
Apapun kerusakan—selama saya merawat—Honda Astrea Grand, saya nggak pernah menemukan kendala yang berarti. Sekalipun yang rusak adalah CDI, saya mendapatkannya dengan mudah. Waktu itu pada 2007, saya dapat pilihan CDI original harga Rp350.000, CDI KW 1 Rp150.000, dan CDI KW 2 Rp170.000. Tentu saja, saya pilih yang original, dong~
Sudah, cukup segitu dulu aja keunggulannya. Terdengar klise yah? Ya mau gimana lagi, wong itu yang paling diunggulkan dari Honda Astrea Grand, kok. Kalau bukan itu ya, Honda nggak akan laris di jamannya. Bagaimana dengan penyakitnya? Tentu ada. Namanya juga motor tua, sudah pasti komplikasi. Tapi, cukup tiga penyakit sepele ini aja yang buat saya pribadi bisa sampai kesal.
Gesekan rantai dengan tutupnya
Honda Astrea Grand dibekali dengan tutup rantai bagian atas dan bawah. Wah, rapat banget dah pokoknya. Hal ini bertujuan agar rantai terhindar dari kotoran berupa debu, pasir, dan cipratan oli dari rantai itu sendiri. Tapi, kenyataannya yang saya alami adalah rantai sering sekali bergesekan dengan tutupnya ketika rantai itu kendor. Jadinya timbul suara gesekan yang bikin kuping pegal linu mendengarkannya.
Setelah rantai dikencangin masalah pun beres. Tapi, di kemudian hari kalau kita nggak rajin mengecek kekencangannya, bunyi gesekan itu akan datang lagi. Hal itu sungguh mengganggu saya dan seolah sudah menjadi penyakit dari Astrea Grand. Akhirnya, agar nggak terulang lagi saya lepas aja tutup rantainya dan menggantinya pakai punya Honda Supra. Dengan begini mengecek rantai jadi lebih mudah dan cipratan dari oli rantai pun tetap aman.
Knalpot bocor
Selama memiliki Astrea entah sudah berapa kali leher knalpot saya bocor. Sampai-sampai tukang las yang saya gunakan jasanya sudah hapal apa yang akan dia lakukan ketika saya datang. Bocornya pipa leher knalpot ini diakibatkan oleh karat. Ya namanya juga besi tua pasti ada karat, apalagi dalam sehari-hari pipa knalpot itu selalu kena cipratan air dan tanah dari ban depan.
Sampai di satu titik masalah yang bikin saya pegel sendiri, akhirnya saya mengganti pipa leher knalpot standar dengan pipa leheran knalpot racing yang saya beli untuk diambil lehernya saja. Silincer-nya mah, geletakin aja di rumah nggak pernah saya pakai. Langkah ini saya tempuh lantaran, semasa itu masih belum banyak bengkel knalpot yang menjual leher knalpotnya doang. Beda sama jaman sekarang, perkara ini kayaknya nggak akan menjadi masalah yang berarti.
Rangka keropos
Astrea Grand menggunakan jenis rangka monokok. Artinya, rangka motor ini merangkap tugasnya menjadi bodi motor itu sendiri. Jenis rangka ini adalah gabungan antara pipa besi (pada bagian depan motor) dengan plat besi (pada bagian belakang motor). Ada dua titik yang rawan patah atau keropos. Titik pertama ada di sambungan rangka. Titiknya persis di atas baut dudukan mesin.
Titik yang kedua, di kolong motor bagian belakang karena bagian belakang motor terbuat dari plat besi, sehingga sering kali menjadi tempat bersarangnya kotoran seperti debu dan pasir hasil cipratan dari roda bagian belakang. Alhasil menjadikan rangka jenis ini mudah termakan usia dan karena faktor pemakaian.
Meskipun banyak pemilik motor Honda Astrea Grand yang teriak-teriak menolak tua, ya pada kenyataannya memang sudah tua, kok. Nah, karena motor ini udah lumayan tua, jadinya butuh banyak perhatian atau bahkan banyak menyita waktu luang kamu dalam merawatnya. Saran saya, harus perbanyak sabar, ketelatenan, dan terutama cuan.
BACA JUGA Punya Honda Astrea Nganggur di Rumah? Jangan Dijual, Restorasi Aja dan tulisan Allan Maullana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.