Saat “anjayani” masuk trending Twitter, saya penasaran: Anjayani ini jajan apa, sih? Apakah masih sedulur sama odadingnya Mang Oleh? Atau nama orang yang viral gara-gara kelakuan gobloknya terendus netizen? Tapi setelah dibuka, diputer, dan dicelupin saya jadi tahu kalau ternyata “anjayani” adalah bentuk halus dari anjay yang dipopulerkan oleh Lutfi Agizal. Yaelah, die lagi, die lagi.
Saat berusaha memopulerkan “anjayani”, Lutfi mungkin lupa bahwa netizen bukanlah orang yang mudah memaafkan. Apalagi pada mereka yang pernah menabuh genderang perang. Perbuatan Lutfi yang pernah mempermasalahkan kata anjay sampai bawa-bawa Komnas Perlindungan Anak, tentu tidak semudah itu dilupakan netizen. Lagian Lutfinya juga, sih, sudah tahu netizen masih enek sama dia. Eh, bukannya rehat dulu dari medsos bantuin emak di dapur, malah bikin sensasi lagi. Ya pantas aja banyak yang bilang Lutfi caperlah, sakit jiwalah, cari panggunglah, yang rasanya kok ya susah banget untuk dibilang nggak.
Sebetulnya, Lutfi nggak salah-salah amat. Mencoba untuk memopulerkan kosakata baru itu sah-sah aja. Banyak kok orang yang juga mencoba memopulerkan suatu kata. Ingat nggak sama Debby Sahertian? Dulu dia juga memopulerkan kosakata baru yang kemudian dikenal dengan istilah bahasa gaul. “Di mana” jadi “di mandoso”, “apa, sih” jadi “apo, seh”, “aku” jadi “akika”, dll. Mengganti huruf vokal jadi “i” juga sempat happening. Bedanya dengan anjayani-nya Lutfi, kata-kata tersebut bisa diterima dengan baik, sedangkan “anjayani” tidak.
Jadi, apa yang salah dengan “anjayani”? Mengapa ia tidak bisa diterima? Kalau berdasarkan penerawangan saya, “anjayani” yang Lutfi populerkan ini mengandung 3 kesalahan:
#1 Terlalu panjang
Kata Lutfi, “anjayani” adalah ekspresi saat sesuatu yang nikmat atau wah, tapi susah dijelaskan. Hmmm, padahal kan yang susah dijelaskan itu kelakuan dia sendiri! Wkwkwk.
Gampangnya gini, sih. Kalau ngomongin tentang mengekspresikan sesuatu yang nikmat atau wah, pasti kita mengekspresikannya secara spontan dan diungkapkan beberapa saat setelah kita melihat atau merasakan sesuatu yang nikmat atau wah itu. Persis seperti Lutfi yang nyebut “anjayani” beberapa saat setelah mencicipi odading.
Masalahnya, karena berhubungan dengan sesuatu yang spontan, maka yang paling enak dan umumnya terjadi adalah ekspresi tersebut diungkapkan dengan kata yang singkat dan praktis. Nggak percaya? Coba dihitung sendiri. Kata seperti: wow, damn, anjay, anj, njir, dan sebagainya yang biasa kita pakai, berapa sih, suku katanya? Nggak lebih dari 3, kan? Malah kebanyakan cuma satu suku kata. Bandingkan dengan kata yang dipopulerkan Lutfi: anjayani. Eh, buset, empat suku kata loh itu. Ribet, Cuy.
#2 Nggak enak buat diucapkan
Selain kepanjangan, “anjayani” juga nggak lidah friendly. Ia menimbulkan potensi lidah keseleo. Nggak enak bangetlah buat diucapkan. Jauh lebih enak bilang, “Sem!”, daripada bilang, “Anjayani”. Bahkan, kalau dirasakan perlahan justru bisa menimbulkan kesan melambai. Iya nggak, sih?
Coba saja bayangkan situasi ini. Kamu bawa motor yang kerennya melebihi belalang tempurnya Masked Rider. Terus tiba-tiba temen cowok kamu bilang, “Anjayani! Motor lu keren banget!” Gimana perasaan kamu? Geli apa geli? Apalagi kalau diucapkan sambil menepuk manja pundak kita. Hih! Kok malah dadi nggilani, ya?
#3 Karakternya kurang kuat
“Anjayani” ini boleh dibilang karakternya nggak kuat, nanggung, dan terkesan dipaksakan. Bandingkan dengan pendahulunya: anjay. Dua kata ini padahal sama-sama hasil modifikasi dari kata anjing yang dianggap terlalu kasar. Bedanya, “anjay” bisa diterima, sedangkan “anjayani” tidak. Bagaimana tidak? Alih-alih digunakan sebagai ekspresi atas sesuatu, “anjayani” malah terkesan kayak nama perempuan. Ya, jelas hujat-able. Lutfi… Lutfi… Kok nggak sekalian aja memopulerkan “anjayono”, sih? Kan jadi pas. Ada anjay versi perempuan dan anjay versi laki-laki.
Sayangnya, dari tiga alasan itu, alasan terbesar “anjayani” dihujat justru belum saya sampaikan. Alasan terbesarnya: kosakata ini meluncur dari kamu, Lutfi. Iya, kamu.
BACA JUGA Selain ‘Anjay’, 5 Kata Ini Seharusnya Juga Dilarang Komnas Perlindungan Anak atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.