3 Kenakalan Siswa Madrasah, Siswa Non-Madrasah Can’t Relate

3 Kenakalan Siswa Madrasah, Siswa Non-Madrasah Can't Relate Terminal Mojok

3 Kenakalan Siswa Madrasah, Siswa Non-Madrasah Can't Relate (Unsplash.com)

Kenakalan-kenakalan siswa di sekolah, selagi dalam batas normal, merupakan hal yang wajar. Masa-masa sekolah kurang berkesan rasanya jika nggak dibumbui kenakalan siswanya. Nantinya, kenakalan itu yang jadi salah satu topik nostalgia yang menarik untuk dibicarakan kembali.

Kenakalan yang dilakukan siswa jenisnya beragam, tergantung masa dan tempat. Siswa generasi Z mungkin nggak relate dengan kenakalan generasi milenial atau baby boomers saat bersekolah dulu, begitu juga sebaliknya. Tempat juga turut berpengaruh pada kenakalan yang dilakukan, maksudnya tempat adalah jenis sekolahnya: madrasah dan non-madrasah.

Umumnya, sekolah madrasah dan non-madrasah sama saja, sama-sama jadi tempat para siswa belajar. Hal utama yang membedakan adalah di madrasah, selain belajar pelajaran umum, para siswa juga belajar mengenai agama Islam lebih banyak ketimbang sekolah non-madrasah. Madrasah juga cenderung memiliki aturan keislaman yang lebih banyak. Inilah yang membuat siswa dari sekolah non-madrasah mungkin nggak bisa melakukan kenakalan yang biasa dilakukan siswa madrasah, atau istilah kekiniannya can’t relate.

Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan selama 12 tahun di madrasah, berikut beberapa bocoran kenakalan ala siswa madrasah yang biasa kami lakukan:

#1 Pura-pura salat ba’diyah

Ketika waktu isama (istirahat, salat, makan) tiba, prioritas siswa madrasah biasanya salat dulu baru melakukan hal-hal lain. Salatnya pun dilakukan berjamaah. Beberapa madrasah ada yang melakukan salat di masjid, tapi di madrasah saya dulu, para siswa melakukan salat di kelas (kami hanya memakai alas kaki di area non-lantai dan kamar mandi, di kelas nggak memakai alas kaki, jadi lantai kelas insyaallah suci dari najis).

Biasanya, salat diimami oleh siswa laki-laki sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Setelah salat pun kami membaca doa yang dipimpin oleh wali kelas. Lalu, di mana letak nakalnya? Bukankah itu perilaku baik?

Gini, setelah doa selesai, wali kelas kami biasanya langsung mengingatkan untuk salat ba’diyah. Oh ya, salat ba’diyah itu salat sunah yang dikerjakan setelah salat wajib. Namanya sunah, jika nggak dilakukan pun sebetulnya nggak dosa. Tapi yang namanya madrasah, ygy, ibadah sunah pun bisa jadi wajib hukumnya. Hehehe.

Biasanya wali kelas kami menunggu sampai semua siswa berdiri untuk takbiratul ihram, baru setelahnya blio salat ba’diyah. Beberapa siswa langsung bangun untuk salat ba’diyah, beberapa lagi pura-pura takbiratul ihram. Iya, pura-pura. Jadi, setelah wali kelas kami memastikan semua anak sudah berdiri, blio baru takbiratul ihram, nah di sinilah beberapa oknum yang pura-pura itu langsung duduk kembali, bahkan ada yang langsung memakai kaos kaki dan keluar kelas. Kalau dipikir-pikir, apa sih susahnya salat ba’diyah? Toh, cuma 2 rakaat.

Buat sebagian siswa, mungkin hal ini biasa saja, malah terkesan nggak ada nakalnya. Apalagi hal ini berkaitan dengan ibadah tiap individu kepada Tuhannya, yang mana kalau dosa pun ditanggung masing-masing. Tapi buat siswa madrasah, hal ini bisa dikategorikan sebagai perilaku nakal. Coba deh baca poin selanjutnya, mungkin poin selanjutnya bisa bikin kalian semua mbatin, “Oh iya, emang agak lain nih nakalnya!”

#2 Pura-pura sakit biar nggak disuruh baca Al-Qur’an sambil berdiri

Namanya madrasah, aturan dan hukumannya memang kadang agak lain dari sekolah non-madrasah. Salah satunya hukuman yang paling saya ingat waktu sekolah dulu adalah hukuman membaca Al-Qur’an sambil berdiri ketika terlambat. Jadi, siswa yang terlambat masuk biasanya disuruh membuat barisan saf, lalu membaca Al-Qur’an sambil berdiri di lapangan selama 1 jam pelajaran. Lumayan pegel, ygy.

Di madrasah saya, hukuman ini diawasi oleh guru piket yang memang terkenal baik, sayangnya hal inilah yang dijadikan celah oleh beberapa oknum siswa. Rata-rata siswa pura-pura sakit dengan beralasan pusing lah, sakit perut lah, mual lah, mbuh lah! Pokoknya ada beberapa oknum siswa yang beralasan apa pun biar guru piket jadi kasihan dan akhirnya mengizinkan mereka untuk membaca Al-Qur’an di pinggir lapangan sambil duduk.

Lantas, dari mana saya tahu kalau oknum siswa tersebut pura-pura sakit? Ha wong de’e dewe og yang cerita ke saya ketika di kelas. Sudah telat, bohong pula. Ck ck ck, tobat, Bestie!

#3 Setoran tahfiz pakai headset nirkabel

Kenakalan terakhir ini sebenarnya nggak lazim amat dan cukup jarang dilakukan lantaran butuh skill dan mental yang nggak sembarangan. Siswa madrasah yang punya mental tempe kayak saya mah mending jujur saja daripada melakukan ini. Hanya pejuang kecurangan yang mampu melakukannya. Eaaa.

Gini, Gaes, siswa madrasah itu identik dengan hafalan tahfiz yang banyak, walau mungkin nggak sebanyak hafalan anak pesantren. Biasanya, setelah dihafal, kami menyetornya ke guru penguji.

Entah siapa yang mencetuskan ide gila ini, tapi di madrasah saya ada yang ujian tahfiznya dibantu pihak ketiga. Cara mainnya begini, siswa yang ujian memakai headset nirkabel yang sudah terhubung telepon dengan temannya yang ia percaya dari kelas lain. Headset nirkabel ini nggak kelihatan oleh penguji karena tertutup kerudung. Iya, kenakalan yang kayak gini cuma bisa dilakukan siswi ukhti, ygy, jika siswa akhi nekat pengin mencobanya ya monggo, tapi risiko tanggung sendiri.

Selanjutnya, ketika siswa yang sedang diuji lupa ayat yang ia baca, temannya yang stand by lewat telepon ini yang beraksi. Biasanya ia akan membantu dengan membaca penggalan ayat yang kelupaan tadi. Istilahnya dibantu dari jarak jauh lah. Tapi, cara curang seperti ini nggak bisa dilakukan jika siswa yang diuji belum hafal surahnya sama sekali. Sebab, teman yang membantu jarak jauh tugasnya hanya membaca penggalan ayat untuk menjadi jembatan pengingat ayat yang dilupa. Kalau siswa yang diuji nggak hafal surahnya sama sekali, ya wasalam, pasti dia bakal ngang ngong ngang ngong!

Nah, itulah tiga kenakalan ala siswa madrasah yang tentu saja nggak bisa dilakukan siswa non-madrasah. Kalau kenakalan lainnya sih kayaknya sama saja dengan siswa non-madrasah. Mungkin yang membedakan adalah siswa madrasah habis berbuat nakal langsung istigfar dan ingat Allah, tapi habis itu ya nakalnya diulangi lagi. Gitu aja terus sampai lulus~

Penulis: Nafila Aura Carissa
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 7 Hal yang Nggak Pernah Dirasakan oleh Siswa Sekolah Elite.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version