Kampus Mengajar merupakan program Kemdikbud yang banyak peminatnya terutama dari kalangan mahasiswa keguruan. Memang program ini bisa membuat mahasiswa keguruan lebih kaya pengalaman di lapangan. Akan tetapi, juga bisa membuat mahasiswa merasa ngenes.
Inilah yang benar-benar saya rasakan ketika tergabung dalam program Kampus Mengajar angkatan 6 dan bertugas di sebuah SD. Saya menjumpai beberapa hal yang membuat saya merasa ngenes dengan dunia pendidikan hari ini. Ketiganya berkaitan dengan minat dan kemampuan membaca siswa. Tentu saja ini semua berdasarkan pengalaman nyata saya.
Daftar Isi
Program Kampus Mengajar membuka mata saya bahwa minat baca siswa sangat rendah
Saat ikut program Kampus Mengajar, saya mendapati bahwa siswa di sekolah tempat saya bertugas secara umum minat bacanya sangat rendah. Bahkan ada beberapa siswa kelas 5 SD yang belum lancar membaca. Hal itu tentu saja membuat saya dan rekan-rekan pusing tujuh keliling.
Saya dan rekan lain akhirnya menyusun beberapa program untuk menumbuhkan minat baca para siswa. Kami membuka program klinik calistung (baca tulis hitung) yang sasaran utamanya adalah siswa yang belum lancar membaca. Selanjutnya kami juga memberi reward kepada siswa yang berkunjung ke perpustaan.
Apakah program itu berhasil menumbuhkan minat baca siswa? Tidak. Siswa yang ikut kelas calistng hanya sedikit yang mengalami kemajuan. Sementara program kegiatan kunjungan ke perpustakaan sekolah malah lebih kacau.
Saya dan rekan-rekan Kampus Mengajar lainnya malah mendapati para siswa ini nggak benar-benar membaca di perpustakaan. Mereka justru asyik mengobrol. Saya dan rekan lain berusaha memberikan pendampingan intens selama kegiatan. Tapi, mungkin karena bahan bacaan yang kurang mendukung minat para siswa, akhirnya mereka cepat bosan dan lebih banyak ngobrol.
Perpustakaan sekolah lebih mirip gudang
Pada awal penugasan Kampus Mengajar, saya dan rekan lain memilah buku dan menata perpustakaan sekolah. Saya terkejut mendapati 6 jilid buku Sejarah Nasional Indonesia berdebu parah dan ditempatkan di tempat yang nggak terjangkau mata. Padahal itu buku sejarah nasional bangsa kita, lho.
Ada juga buku-buku sastra lama yang bernasib serupa. Kondisinya malah lebih parah dengan sobek di sana-sini yang artinya nggak dirawat. Nasibnya memprihatinkan seolah nggak dianggap lagi.
Di sisi lain, total tiga rak buku dipenuhi buku-buku paket. Buku paket yang banyak ini berasal dari kurikulum KTSP, K13, dan Kurikulum Merdeka. Bahkan ada juga buku-buku dari kurikulum tahun 90-an. Hanya ada beberapa bagian yang berisi buku cerita anak.
Perpustakaan sudah nggak lagi menjadi tempat yang segar untuk menambah referensi bacaan dan wawasan. Perpustaan sudah seperti gudang yang menampung buku-buku dari kurikulum zaman Majapahit hingga kurikulum terbaru. Coba bayangkan, gimana minat baca siswa bisa meningkat kalau perpustakaan sekolah isinya cuma buku paket?
Rak buku perpustakaan sekolah seharusnya diisi lebih banyak bacaan di luar materi pelajaran. Misalnya, buku sastra atau seni yang sebenarnya dapat menjadi sarana untuk mengasah rasa dan mengelola emosi dalam diri siswa.
Selama program Kampus Mengajar berlangsung, saya menyadari bahwa perpustakaan sekolah seharusnya diisi dengan beragam referensi bacaan yang memungkinkan siswa mengeksplorasi sesuai minat dan bakat masing-masing. Mengusahakan fasilitas seperti ini seharusnya menjadi komitmen dari pihak sekolah dan pemerintah.
E-book jadi solusi paling efektif?
Ada yang beranggapan untuk memakai e-book dalam menambah bahan bacaan siswa. Sebab, e-book lebih mudah dan murah. Sayang, nggak semudah itu.
Memang benar zaman sudah maju. E-book dari segi biaya juga bisa dibilang lebih terjangkau. Banyak referensi e-book gratis dan bisa diakses bermodalkan kuota internet nggak banyak-banyak amat.
Akan tetapi, e-book juga nggak seefektif itu, terlebih jika diperuntukkan bagi anak usia sekolah. Selalu ada kemungkinan gangguan yang mengalihkan fokus ketika sedang mengakses e-book. Bayangkan, siswa sedang fokus membaca e-book, eh tiba-tiba ada notif dari Mobile Legends “event skin gratis sudah dimulai”, misalnya. Besar kemungkinan siswa bakal menutup e-book dan memilih login Mobil Legends.
Bagaimanapun peranan buku cetak nggak bisa digantikan sepenuhnya oleh e-book. Selain selera orang yang berbeda-beda, mata setiap orang juga berbeda. Nggak semua orang nyaman berlama-lama menatap layar ponsel.
Itulah hal-hal yang saya temui dan bikin ngenes selama bertugas dalam program Kampus Mengajar. Dari ketiga hal di atas, bisa dikatakan bahwa masalah sarana prasarana dan pengelolaannya menjadi hal paling mendasar dalam permasalahan minat baca siswa. Di samping itu, tentu masih ada juga faktor lainnya.
Memang perlu kontribusi dan komitmen banyak pihak untuk meningkatkan minat baca dan budaya literasi. Nggak hanya ditujukan pada siswa, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis: Femas Anggit Wahyu Nugroho
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kampus Mengajar, Program untuk Mahasiswa yang Ingin Merasakan Penderitaan Guru Honorer.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.