Postingan di Instagram Mojok yang memuat tulisan saya tentang alumni UNY dihujani banyak komentar yang… ya begitulah. Banyak yang mengira saya menjelek-jelekkan UNY, padahal ya jelas jauh dari itu. Tentu saja saya nggak lagi menjelek-jelekkan UNY, wong itu juga institusi di mana saya mendapat gelar kok.
Tapi di sini saya nggak akan menjelaskan maksud asli artikel tersebut. Selain nggak pas, juga nggak ada gunanya saya menjelaskan. Kek pada baca aja hih. Di sini saya justru ingin bernostalgia, mengenang hal-hal yang hilang setelah saya lulus dari IKIP.
Sejak jadi alumni UNY, saya malah kehilangan hal-hal yang tak pernah saya perhatikan sebelumnya. Saya jadi sadar bahwa beberapa hal terkadang baru terasa maknanya ketika pergi atau kita tinggalkan. Dulu saya anggap ungkapan tersebut bullshit, tapi ternyata ada benarnya juga.
Dan hal-hal ini, kadang bikin saya merasa sedih juga sudah tidak jadi mahasiswa.
Kehilangan burjo sebagai tempat bersandar
Sumpah, sebelum jadi alumni UNY, saya pernah mengutuk diri saya kenapa saya hanya bisa healing di burjo. Sangat tidak elegan, sangat tidak mbois, sangat tidak keren. Ketika kawan-kawan yang loaded (cari sendiri artinya) healing di kafe fancy atau nongkrong dan nugas di tempat yang nyaman, saya skripsian dan nongkrong di burjo.
Memang, di burjo, kawan saya banyak. Tapi tahulah, manusia pasti pengin ngerasain yang namanya naik tingkat kan.
Tapi setelah lulus dan bekerja, justru nongkrong di burjo adalah salah satu hal yang ingin saya lakukan. Mau jam berapa pun saya ke burjo langganan, pasti ada satu-dua orang yang sedang nongkrong. Di masa-masa berat begini, ngobrol goblok jadi hal yang begitu mahal. Sebagai alumni UNY, tentu hal tersebut tak lagi saya dapat.
Nggak perlu narimo ing pandum di kantin kampus
Tidak jarang saya tak menghabiskan makanan yang saya pesan di kantin kampus. Bukan apa-apa, jujur saja, makanan di kantin kampus saya rasanya… duh. Saya nggak akan bilang parah atau nggak enak, lebih ke bukan selera saya. Mendekati akhir kuliah baru saya bisa benar-benar narimo ing pandum karena nggak ganti menu.
Pertanyaannya, kenapa saya masih mau pesan?
Ya gimana lagi, males keluar kampus. Adanya itu, yaudah. Setelah jadi alumni UNY, saya justru kangen kantin kampus. Bukan makanannya sih, tapi suasananya. Ya begitulah.
Jadi alumni UNY artinya tak perlu lagi terjebak macet di perempatan FE
Saya nggak kangen sama sekali dengan fenomena ini, tapi kadang ya keingetan karena rasanya kurang afdal jadi mahasiswa UNY tanpa kejebak macet di perempatan FE.
Sumpah, saya merasa perempatan FE ini penuh dengan pengendara tolol. Sering saya lihat pengendara yang bukannya memelan, malah menambah kecepatan di perempatan, kan tolol.
Saya rasa hampir nggak ada hari tanpa emosi sama perempatan ini. Makanya ketika saya resmi wisuda dan jadi alumni UNY, saya bersyukur tak perlu lagi kuliah dan melewati perempatan biadab ini. Udah lebar jalannya beda-beda, pengendaranya nggak punya nalar.
Kadang ya keingetan masa-masa lewatin perempatan ini. Tapi, kalau suruh ngulang, ogah. Beneran ogah.
Itulah beberapa hal yang dulunya saya anggap menyebalkan, tapi entah kenapa jadi berkesan saat saya jadi alumni UNY. Tapi ya nggak berarti saya pengin kembali. Sudahlah, waktu berjalan meninggalkan yang seharusnya. Semuanya hanya baik untuk kenangan, tak harus diulang.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi




















