3 Film Indonesia yang Dipuji di Festival Film Internasional, tapi Kalah Tenar di Dalam Negeri

40 Film Indonesia Favorit dalam Satu Dekade

40 Film Indonesia Favorit dalam Satu Dekade

Pada pertengahan Agustus, sutradara Edwin berhasil mencatatkan sejarah dengan memenangkan penghargaan utama di Locarno Film Festival atas film terbarunya, “Seperti Dendam Rindu, Harus Dibayar Tuntas”. Tanpa hiruk pikuk promosi di media sosial, Mas Edwin berhasil mencatatkan sejarah menjadi sineas Indonesia pertama yang memboyong penghargaan utama di festival film Eropa. Ini adalah penghargaan sama yang pernah diterima sutradara legendaris seperti Stanley Kubrick dan Jim Jarmusch.

Namun sayangnya, film-film Indonesia yang memenangkan penghargaan di festival internasional malah kurang terkenal di negeri sendiri. Kalah tenar dengan film-film Indonesia arus utama yang sering kali mendapat promosi lebih gencar dan punya akses lebih luas, walaupun lebih dangkal dari segi plot. Nah, di sini saya mau kasih rekomendasi untuk membuka khazanah pembaca akan banyak film Indonesia yang kurang begitu dikenal penonton bioskop lokal namun dapat pengakuan di berbagai festival internasional.

Turah

Film karya sutradara Wicaksono Wisnu ini bercerita tentang sebuah kampung miskin bernama Tirang yang warganya hidup bergantung pada belas kasih juragan kaya bernama Darso. Melihat kondisi para tetangganya, salah satu warga bernama Jardag melakukan perlawanan terhadap Darso dan kaki tangannya. Dari segi tematik, film ini lebih konsisten dalam mengeksplorasi bagaimana eksploitasi ekonomi bisa diperparah mentalitas yang menormalisasi eksploitasi tersebut.

Alhasil, film ini berhasil memenangkan penghargaan di Jogja-Netpac Asian Film Festival dan Singapore International Film Festival. Film ini sempat tayang di bioskop-bioskop Indonesia sekitar enam bulan setelah memenangkan hadiah di festival film internasional. Namun, segi jumlah studio bioskop dan durasi masih kalah jauh dengan film-film blockbuster. Di mana Turah cuma tayang di 16 studio bioskop saja untuk durasi dua minggu.

Walaupun begitu, saat ini kalian yang baru mau nonton film Turah sudah dapat menikmatinya di situs streaming Bioskop Online. Harga tiketnya pun murah, cuma lima ribu saja atau seharga Sprite botol kecil. Daripada merogoh kocek Rp40.000 untuk film medioker soal drama pernikahan, mending nonton nih film aja.

Istirahatlah Kata-Kata

Pertama kali saya mendapat kesempatan menonton Istirahatlah Kata-Kata, film ini tayang festival Jogja-Netpac di mana hadiah utama langsung berhasil diboyongnya. Tak sampai di situ saja, film ini juga masuk nominasi dari Locarno hingga Hamburg. Namun, film tentang salah satu episodik dalam kehidupan penyair dan aktivis Widji Thukul ini malah cuma tayang beberapa hari di bioskop. Bahkan filmnya keburu turun sebelum saya sempat ajak teman saya untuk ikut nonton.

Padahal kalau saya bilang, film ini jauh lebih filosofis dari kebanyakan film-film biopik buatan sutradara Indonesia yang menurut saya cenderung cliche. Dalam film ini, Yosep Anggi Noen Anggi memutuskan untuk melawan pakem kebanyakan film biopik di negeri ini, yaitu heroisme berlebihan. Sebab, kebanyakan film biopik Indonesia berkutat pada pahlawan nasional atau tokoh politik penting, sering kali film-film merasa harus menggambarkan berlebihan tindakan heroik sang tokoh. Seperti berusaha menekankan bahwa karakter dalam film tersebut bukanlah manusia biasa. Namun, Istirahatlah Kata-Kata memilih menggambarkan sosok lain dari Widji Thukul.

Bukan seorang penyair yang suaranya berhasil membuat rezim Orde Baru bergetar ataupun seorang buruh yang telah malang melintang di dalam pergerakan. Widji Thukul di sini adalah seorang manusia biasa yang bisa merasakan rindu, takut, senang, khawatir, bingung dan berbagai emosi manusiawi yang sering kali luput dari penggambaran romantis film-film biopik. Sangat disayangkan bahwa film biopik yang berhasil keluar dari kungkungan romantisasi heroisme ini malah cuma tayang sebentar di bioskop dan sampai sekarang belum ada di situs streaming manapun.

Babi Buta yang Ingin Terbang

Kayanya nggak afdol saat saya menyebut nama sutradara Edwin dan kemenangan historisnya di Locarno tanpa rekomendasikan karya lainnya. Mungkin penonton Indonesia sudah cukup familiar dengan karyanya Edwin yang diproduksi di studio film besar seperti Posesif dan Aruna & Lidahnya. Namun, feature film pertama dari Edwin mungkin yang terasa paling eksperimental dan personal.

Babi Buta yang Ingin Terbang mengikuti cerita beberapa karakter dengan satu kesamaan yaitu, mereka semua adalah orang keturunan Tionghoa. Dari segi naratif, film ini bisa dibilang sangat eksperimental, dengan beragam adegan yang lebih pas ditafsirkan secara simbolis dari pada menggunakan logika.

Namun, semuanya berhasil diimbangi dengan selera humor gelap dan satir dari Edwin, langsung terpampang jelas pada adegan pertama film ini. Adegan yang mana menunjukkan pertandingan bulu tangkis antara Indonesia melawan Tiongkok, berakhir klimaks dengan pertanyaan polos dari seorang anak di bangku penonton: “ini yang pemain Cina, yang mana?” Lewat humor ini, Edwin berusaha menunjukkan keabsurdan hidup sebagai orang keturunan Tionghoa di negeri yang masih menganggap mereka kurang kadar keindonesiaannya

Saat ini, film Babi Buta yang Ingin Terbang bisa ditonton di situs MUBI. Ada masa percobaan gratis tujuh hari buat pengguna baru untuk menonton ratusan film independen dari seluruh dunia. Sayangnya, buat situs streaming lokal malahan belum ada yang menayangkan film debut Edwin ini. Film ini pun cuma tayang di bioskop-bioskop independen dengan jadwal tak tentu jika ingin menontonnya di layar lebar.

Melihat tiga film di atas yang punya kesamaan kurang ekspos ke masyarakat, rasanya miris. Di sinilah permasalahan banyak film Indonesia yang tayang festival Indonesia. Kurang akses ke khalayak luas dibandingkan film romansa dan horror blockbuster Indonesia. Sudah tayang hanya beberapa hari di bioskop tertentu saja, susah pula ditemukan di layanan streaming lokal.

Malahan layanan streaming lokal lebih memilih membiayai film yang harga tiketnya jauh nggak sepadan dengan kualitas eksekusi akhir dari karyanya. Daripada membiayai proyek-proyek dengan tema cliche, mungkin lebih baik jika dana di salurkan mempreservasi film-film Indonesia yang telah tayang di festival internasional. Dijamin lebih menyehatkan buat kantong penonton ataupun selera menonton rakyat.

BACA JUGA 40 Film Indonesia Favorit dalam Satu Dekade dan tulisan Raynal Arrung Bua lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version