Siomay, jajanan khas Bandung ini adalah penyelamat orang yang diburu rasa lapar dan waktu di saat bersamaan. Sebagai mahasiswa yang harus beradu dengan jeda kuliah yang kelewat singkat, siomay menjadi pilihan yang tepat. Saya bisa berlari menuju kelas sembari menggigit kuliner berlumur bumbu kacang yang aduhai nikmatnya.
Saya punya banyak memori dengan pedagang siomay keliling bersepeda di sekitar kampus. Tentu saja, memori tidak semuanya menyenangkan. Memori baik pasti ada ada, tapi memori buruk juga tidak jarang.
Nah, hal-hal menyenangkan tentang siomay tentu sudah biasa. Rasanya enak, teksturnya yang pas, bumbu yang aduhai, pasti berkutat-kutat di situ. Tapi yang negatif, tentu sulit diterka. Nah, dalam tulisan ini, saya ingin membagikan “dosa” pedagang siomay yang bikin pengalaman makan jajanan ini terasa menyebalkan.
Bumbu kacang yang dibuat terlalu encer
Bumbu kacang dan siomay sudah jadi paket komplit. Tak terpisahkan. Bahkan bumbu kacang bisa dibilang jadi kunci dari nikmatnya seporsi kuliner ini. Hampir tidak mungkin seseorang membuat siomay tanpa bumbu kacang, makanya dalam resepnya disertakan cara membuat bumbu kacangnya. Seperti di resep yang diunggah oleh IDN Times.
Nah, bumbu kacang yang enak, adalah yang kental. Tak kental-kental amat, tapi jelas jangan sampai encer. Tapi sayang, saya harus mengalami menikmati siomay dengan bumbu kacang yang encer. Rasanya seperti air dengan remahan kacang.
Dosa pertama soal bumbu kacang ini mungkin bagi sebagian orang masih diterima karena pemeran utamanya adalah si siomay. Tapi bagi saya, ini tetap saja merugikan pembeli. Masalahnya bumbu kacang juga jadi aktor penting dalam kenikmatan sebungkus siomay.
Pedagang memang tetaplah seorang pedagang. Cuan jadi hal paling utama. Mungkin saking tidak mau ruginya, ya, bumbu kacang yang biasanya kental dan pekat dibuat jadi encer.
Siomay ikan atau beraroma ikan?
Dosa yang satu ini sudah biasa terjadi. Kuliner ini selalu berhasil memikat pembeli dengan aroma di balik kepulan uapnya. Bayangkan di tengah huru-hara perpindahan kelas dengan jam istirahat yang sempit, perut lapar dan penciuman menjadi tajam, aromanya memanggil saya dengan cepat. Seperti menemukan sesuatu yang sangat cocok dengan apa yang diinginkan perut saya.
Tapi, aroma ternyata memang tidak menjamin rasa. Tidak jarang saya merasa kecewa dengan pedagang siomay keliling karena ini. Aroma ikan yang kuat dari panci tersebut ternyata cuma aroma.
Begini. Siomay biasanya berbahan dasar ikan tenggiri atau ikan laut semacamnya. Tapi, tak jarang yang saya dapatkan adalah gumpalan tepung kanji beraroma ikan. Ya, mau berharap apa dari makanan seharga 5 ribuan?
Dosa ini sangat sering saya temukan di pedagang siomay keliling. Tidak hanya di kampus tapi di tempat-tempat lainnya. Rasanya saya memang tidak boleh berharap dengan aroma. Benar kata Souljah, tak selalu, yang beraroma itu indah.
Alot banget, kek negosiasi gaji
Harusnya, dua masalah di atas sudah bikin saya memikirkan ulang keputusan beli jajanan ini. tapi namanya manusia, sulit betul untuk kapok. Dan saya masih sering beli siomay, yang berujung ketemu dosa ketiga ini.
Suatu hari, saya melintasi jalanan kampus dan melihat kepulan uap dari panci siomay yang menggoda mata. Saya memutuskan, akan “menyerang” siomay itu nanti sepulangnya dari kuliah.
Setelah selesai kelas, saya semangat menarik seorang teman untuk membeli siomay tadi. Singkat cerita, sebungkus siomay seharga 10 ribu sudah di tangan. Tapi sayangnya saya lupa. Bukan cuma perut yang harus dikenyangkan. Mulut dan lidah juga perlu dimanjakan dengan sesuatu yang nikmat.
Siomay yang mengganggu pikiran saya itu ternyata beneran mengganggu. Saya kira, rasanya akan nikmat, tapi yang saya dapatkan nggak sekadar tepung kanji beraroma ikan, tapi karet bundar beraroma ikan, alias alot!
Masalahnya, adonan kuliner ini adalah pemeran utama yang harus dinikmati semua pembelinya. Saya nggak tau kenapa adonannya dibikin sealot ini. kalau menekan biaya produksi, kok kebangetan. Tapi kok ya saya nemu ini nggak hanya sekali. Jadilah siomay yang menari indah di kepala, berujung penyesalan yang bikin kecewa.
Lagi-lagi, Souljah benar. Tak selalu, yang berkilau itu indah.
Itulah 3 dosa besar pedagang siomay keliling yang merugikan pembeli. Bagi pedagang sudah pasti yang dicari adalah cuan. Tapi tolong, para pedagang keliling di luar sana juga harus ingat ini. Pembeli cuma pengen beli siomay ikan dengan bumbu kacang kental, rasa ikan, dan yang pasti tidak alot. Nggak sulit kan?
Iya kan?
Penulis: Karisma Nur Fitria
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Cara Mudah Mengenali Siomay Kaki Lima yang Enak, Dijamin Nggak Zonk!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
