3 Band Pop Punk Era Baru yang Berbahaya dan Layak Didengarkan

royalti lagu moshpit rock pop punk mojok

moshpit rock pop punk mojok

Denyut nadi Ramones nyatanya tidak hilang sampai sekarang ini. Bendera Descendents pun masih gagah berkibar walau hanya di hati penggemarnya. Namun, semua sudah cukup ketika pop punk lahir dari janin yang tepat. Mereka merambat lurus, menemukan mangsanya dan menyusup dalam telinga mereka yang sudi mendengarnya.

Pop punk pernah masuk ke dalam sendi kehidupan kita secara utuh. Baik disadari maupun tidak, melalui blink-182 semua mimpi menjadi nyata. Pop punk masuk dalam ranah mainstream, sesuatu yang membedakan aliran ini dari punk yang lainnya. New Found Glory dan MxPx turut menyebrang dalam era ini dan semua patut diamini. Semuanya menjadi semakin gila kala berkawinnya Green Day dengan Dookie, menghasilkan 10 juta kopi.

Dulu, lagu “Welcome to My Life” dan “American Idiot” bersahut-sahutan ketika dibacakan oleh VJ Daniel. Sehari tanpa mereka di layar kaca, rasanya bagai sehari tanpa mendengarkan All Time Low yang diputar di MySpace. Hingga pada pengantar dekade pertama dalam milenium, pop punk tak ubahnya menjadi pop sepenuhnya, menghilangkan esensi punk yang kental.

Sekelibat waktu, era berganti. BMTH dan A Day to Remember membuka era post-hardcore dengan setelan emo yang khas. Pergeseran lirik dari lugas menjadi gelap, namun dengan distorsi yang menggebu. Label serasa menutup pintu rapat bagi pop punk beriringan dengan ambruknya pesona mereka dalam skena musik ini.

Rasanya pop punk diberikan kesempatan kedua untuk menjalani hidupnya. Pergeseran label besar macam Hopeless dam Fearless, yang biasanya memfasilitasi skena metal dan hardcore pun memberikan ruang bagi pop punk untuk mengambil napasnya kembali. Knuckle Puck, Neck Deep, State Champs, Modern Baseball menjadi terdepan, membuka ruang bagi yang lainnya.

Setelah fenomena ini terjadi, lantas muncul beberapa band pop punk di era baru ini yang sangat potensial untuk menjadi petarung. Bukan hanya sekadar masuk dalam rekomendasi, namun mereka juga patut diawasi.

Pertama, Sincere Engineer. Definisi menangis dengan kepala menghentak mungkin dapat dijabarkan ketika kita mendengarkan lagu-lagu milik Deanna Belos yang menamai proyeknya Sincere Engineer ini. Lahir dari belantara kultur musik Chicago, Sincere Engineer menyediakan hidangan utama berupa lirik padat perihal masalah-masalah utama dalam kehidupannya.

“Corn Dog Sonnet No. 7” adalah penjelas dari semua tanya. Melalui “Overbite”, kita dipersilakan untuk merasakan emosi yang terkandung dan terhimpun dari benak Deanna Belos.

Kedua, Chief State. Band asal Vancouver, Kanada, ini seakan mempersilakan kita untuk menjelajah kapsul waktu pada jaman milenium awal. Diberi sentuhan ala The Story So Far dan Knuckle Puck yang memang menjadi inspirasi bermusik mereka. Yang jadi spesial, band yang dibentuk pada tahun 2016 ini selalu ‘jujur’ dalam menulis lagunya.

Subjektif memang, namun begitulah yang terjadi dengan “Reprise”. Lirik yang mengatakan, “i’ve been trying to get by, you’ve been buried in your lies/ Always running round in circles, no escaping your reprise,” rasanya mengembalikan segala kemuntaban kala saya berada di dalam kereta Prameks, dari Solo menuju Jogja.

Ketiga, WSTR. Pertemuan saya dengan band ini cukup unik. Secara tidak sengaja playlist saya berputar otomatis kepada sebuah lagu berjudul “Eastbound & Down”. Bukan tertarik atau bagaimana, pertanyaan yang muncul adalah “loh Neck Deep bikin lagu baru?”. Bukan bermaksud menyamakan, warna vokal Ben Barlow sungguh terasa di lagu ini. Jebul suaranya aja yang mirip.

Seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa band ini tidak selamanya berada di bawah bayang-bayang Neck Deep. Terpenting adalah gaya kepenulisan lirik, WSTR, keluar dari pakem pop punk Britania kebanyakan. Arah mereka lebih condong kepada Blink-182 dan New Found Glory.

Terlepas setuju tidak setuju dengan daftar di atas, jelas saya mengakui bahwa masih banyak nama lain yang potensial. Dan kebetulan, telinga saya mainnya kurang jauh. Dalam kepala saya berputar sekian banyak nama, namun hanya tiga yang bisa saja ungkapkan.

Dari sebuah skena bernama pop punk, saya menjadi paham satu hal. Konflik batin dalam suasana broken home, hopeless, dan patah hati bisa untuk diteriaki dengan lantang. Contohnya seperti lirik Knuckle Puck dalam lagu “Why Would You Care?” ini:

“I’m sick and tired of hating who I’ve become/ It’s getting worse every day I spend home alone/ Writing myself to death stands in place of sleep/ I am an unlocked door and you’re a fucking thief.”

Pop punk kini sedang hidup dan menikmati nyawa keduanya. Dengan hadirnya generasi baru, selain memperpanjang daftar, kita bisa melihat bahwa apakah skena ini akan bertahan atau malah mati untuk yang kedua kalinya. Tapi jika kita memegang kata-kata Mark Hoppus yang mengatakan “genre is dead”, maka sepertinya pop punk tidak akan menemui kematian, lagi.

BACA JUGA Surat Terbuka untuk Mas Pur yang Ditinggal Nikah Mbak Novita dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version