Kim Hin Kiong merupakan salah satu klenteng tertua di Jawa Timur. Klenteng ini sudah ada sejak abad ke-12 pada era Majapahit. Bangunan bersejarah ini masuk dalam kawasan heritage Gresik Kota Lama.
***
Sabtu pagi (26/02/22) saya berhenti di sebuah gang yang ada di Jalan Setiabudi, dekat alun-alun Kota Gresik, Jawa Timur. Jalan ini adalah rute menuju Klenteng Kim Hin Kiong yang bersejarah. Lokasinya masuk ke dalam gang. Di sepanjang jalan masuk terdapat tiang lampu berhiaskan aksara china ditambah dengan ornamen lampion dan naga.
Tak butuh waktu lama untuk saya sampai di Klenteng Kim Hin Kiong. Bangunan klenteng bernuansa warna merah dan kuning. Senada dengan warna tiang sepanjang jalan masuk gang. Beberapa ekor burung dara menyambut kedatangan dan bertengger di atas atap klenteng bersanding dengan ornamen dua ular naga yang berebut mustika matahari. Pada pintu gerbang bangunan utama terdapat tulisan “Tempat Ibadat Tri Dharma Gresik Kim Hin Kiong”.
Saya masuk melalui pintu sebelah kiri. Setelah bertanya pada penjaga klenteng, saya diarahkan untuk mewawancarai salah satu pengurus yang rumahnya tidak jauh dari klenteng. Namanya Pak Cien. Sosok yang akan saya wawancara datang tepat saat saya hendak menuju kediamannya.
Sejarah klenteng
“Sejarahnya sih cuma diketahui 1153 itu ya, ditemukan pembangunan klenteng yang induk, yang sisi kanan kiri ini baru semua. Itu dari dulu kita cuma renovasi aja karena sini itu dekat dengan laut jadi temboknya rawan rusak, makanya kita keramik luar dalem supaya ndak rusak,” tutur Pak Cien atau Pek Tjoe Kian (61).
Berdasarkan penuturannya, tahun berdiri Klenteng ini dapat diketahui dari tanggal yang tertera di dekat altar bagian depan yaitu 1153. Artinya klenteng telah berusia ratusan tahun. Dulu, luasnya hanyalah sepetak bangunan induk yang berada di tengah. Bangunan sebelah kanan dan kiri dibangun pada tahun 2000-an secara bergantian.
Klenteng ini dibangun sebagai persembahan puja bakti kepada Dewi Pelindung Lautan, Ma Co Thian Siang Seng Boo. Konon, lahirlah seorang putri cantik di pesisir Gresik disertai hembusan angin yang beraroma harum. Putri ini tumbuh dengan hati yang mulia, gemar menolong para nelayan saat dilanda bahaya dan tertimpa penyakit.
“Ma Co itu selalu melindungi. Kalau orang melaut selalu minta doa dilindungi dari bahaya. Itu dari sejarah dulu. Ma Co, Dewi Laut ini tugasnya juga menolong orang sakit. Dulu kan di sini juga sering ada wabah, itu ya minta tolong ke Ma Co,” kata Pak Cien.
Banyak laki-laki datang melamar. Namun sang putri menolak semua lamaran dengan cara halus. Dia dikisahkan menampakkan wujudnya sebagai bayangan gadis cantik yang menolong para nelayan ketika mengalami kesusahan. Sayangnya sang putri tidak berumur panjang, ia meninggal dalam keadaan duduk semedi. Akhirnya, dibangunlah sebuah rumah pemujaan beserta patung Ma Co untuk mengenang jasa pertolongannya pada para nelayan.
Sempat ditutup pada era orde baru
Klenteng merupakan tempat ibadah penganut Tri Dharma, yaitu Konghucu, Taoisme dan Budha. Pada era Orde Baru, hanya terdapat lima agama yang diakui di Indonesia. Persyaratan untuk penggunaan tempat ibadah waktu itu harus terdapat salah satu agama yang diakui oleh negara tersebut.
“Dulu jaman Pak Harto, Konghucu ndak boleh, adanya kan cuma Budha. Nah kita bisa berdiri ini harus ada tiga ajaran. Ada Budha, ada Taois, sama Konghucu. Itu persyaratannya. Klenteng ini dulu mau ditutup semua. Nggak boleh untuk ibadah, dianggap ajarannya ndak sesuai dengan Pancasila. Padahal kita kalau berdoa kan sebelum masuk ke Dewa-Dewi kita menghadap depan itu kita sembahyang sama Tuhan Yang Maha Esa,” kisah Pak Cien.
Pak Cien juga menceritakan pada masa itu ada beberapa pihak yang datang untuk menginterogasi keberadaan klenteng ini. Bahkan beberapa klenteng di daerah-daerah ada yang hendak diubah menjadi vihara. Hingga kini karena tekanan Orde Baru tersebut, ada klenteng yang namanya masih berbau Budha seperti yang terdapat di Surabaya, Klenteng Suka Loka. Angin segar datang saat kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Kita merdekanya itu era Gus Dur itu. Beliau itu sangat luar biasa. Di eranya itu kita bisa merasakan yang namanya Imlek itu kita nggak singit-singitan (sembunyi-sembunyi).”
Pengakuan resmi dari negara terhadap Agama Konghucu datang pada masa pemerintahan Gus Dur di tahun 2000. Meski pada akhirnya telah resmi diakui oleh negara, banyak jemaat di Kim Hin Kiong yang Konghucu tetap mencantumkan Agama Budha pada KTP-nya. Pengurusan data administrasi yang memerlukan proses panjang menjadi penyebab keengganan beberapa jemaat untuk mengurus perubahan ini.
Memasuki bangunan induk klenteng
Selepas bercerita, Pak Cien mengajak saya masuk ke dalam bangunan induk Klenteng. Dari pintu utama, saya disambut sepasang patung Qilin yang berbentuk mirip singa terletak di sisi kanan dan kiri. Qilin perempuan di sisi kanan membawa bayi, sedang yang laki-laki disisi kiri membawa sebuah bola.
Binatang ini dalam mitologi negara di Asia Timur yang diyakini sebagai hewan pelindung dari mara bahaya. Di tengahnya terdapat sebuah hiolo berwarna keemasan dengan ornamen naga di keempat kaki dan badannya. Hiolo ini berbentuk belanga ukuran besar dan berfungsi sebagai tempat penancapan hio (semacam dupa dari tanah liat yang dibakar).
Di belakang patung Qilin tadi terdapat lilin berukuran raksasa berwarna merah yang bisa tahan menyala selama beberapa bulan. Tepat di tengahnya terdapat altar pemujaan dengan aneka buah-buahan yang tertata rapi. Di bagian atap beberapa lampion berjajar memenuhi langit-langit. Di masing-masing sudut, baik di altar dan sisi ruangan yang lain terdapat lilin yang terus menyala tanpa henti.
Sisi altar depan ini disebut Altar Thian Khong. Pada tembok altar ini terdapat ukiran bertuliskan tahun berdirinya klenteng yaitu 1 Agustus 1153. Biasanya saat sembahyang para jemaat melakukan ritual di sini dulu sebelum pindah ke altar selanjutnya, menghadap ke altar sisi depan klenteng.
Berikutnya masuk ke ruangan bagian dalam dari bangunan induk, terdapat altar Ma Co Thian Siang Seng Boo yang tepat berada di tengah. Bagian kanan ada altar Dewa Kwan Kong dan bagian kiri ada altar Dewi Kwan Im Po Sat. Ini yang dinamakan Tri Dharma.
Biasanya penganut Tao akan sembahyang di altar Ma Co, penganut Konghucu akan sembahyang di altar Dewa Kwan Kong dan penganut Budha sembahyang di altar Dewi Kwan Im Po Sat. Dinding bangunan induk bagian dalam ini dilapisi keramik berlukiskan kisah “Sam Kok”. Keramik tersebut merupakan sumbangan dari jemaat klenteng.
Tempat saya berbincang dengan Pak Cien merupakan bangunan yang berada di sisi kiri klenteng. Di sana terdapat panggung Wayang Potehi, beberapa peralatan sembahyang, etalase berisi dokumen-dokumen, kereta tandu serta halaman yang cukup luas.
Di belakangnya ada bangunan serba guna yang juga berisi alat-alat musik serta kitab-kitab. Bangunan serbaguna ini biasa digunakan istirahat tamu dengan kapasitas 50 orang. Lengkap dengan AC, tempat tidur, TV, dapur dan kamar mandi.
Menuju ke bangunan di sisi kanan klenteng, aromanya lebih harum. Rupanya banyak terdapat peralatan sembahyang yang dijual di sini. Terdapat pula altar Tri Nabi (Budha, Lao Tze, Khong Hu Cu), altar Kong Co Toa Pek Kong , altar Pek Ho Ya, dan altar Kong Jai Sen Yak. Tempat ini juga biasa digunakan saat upacara pernikahan jemaat.
Ciam Si dan racikan obat dewa
Salah satu yang terkenal dari Klenteng Kim Hin Kiong adalah obat Ciam Si-nya yang mujarab. Ciam Si pada masyarakat Tionghoa merupakan salah satu metode pengobatan dan peramalan nasib dari para dewa. Ritual ini biasa dilakukan setelah sembahyang. Ciam Si di Kim Hin Kiong sendiri berada di altar Ma Co. Pak Cien memperagakan cara penggunaannya pada saya.
Mulanya, Pak Cien menyebut nama dan maksud kedatangannya di depan altar Ma Co. Tabung Ciam Si yang berisi beberapa bilah bambu berisi nomor-nomor khusus diasapi dengan dupa yang berada di altar yang sama.
Kemudian, tabung tersebut dikocok-kocok sampai ada satu bilah bambu yang terlempar. Nomor yang tertera itu belum tentu jawaban dari Ma Co. Pak Cien masih harus konfirmasi lagi pada Ma Co. Dilemparnya dua bilah kayu berbentuk bulan sabit yang disebut dengan poapoe. Jika dua-duanya dalam posisi satu terlentang dan satu tertutup, maka Ma Co mengiyakan jawaban tadi. Namun jika sebaliknya, artinya jawaban tersebut tidak disetujui.
“Ciam Si itu tanya Ma Co. Pakai nomer ini, obatnya beli di Surabaya namanya racikan obat dewa. Harganya Rp1.250 dulu. Tahun itu belum menikah. Resepnya ngambil nomer ini, kalau nggak tanyakan dulu ini resep jawaban apa,” tutur Pak Cien.
Setelah disetujui, resep obat dapat diambil di rak khusus yang bertuliskan “Jiamsi Obat” sesuai dengan nomor yang diiyakan Ma Co tadi. Resep tersebut bisa ditebus di Surabaya, dan biasa dikenal dengan racikan obat dewa. Selain harganya yang murah, obat-obat ini dinilai aman karena berasal dari racikan tanaman herbal.
Tak hanya digunakan sebagai sarana pengobatan, Ciam Si juga sering digunakan untuk meramal nasib waktu Imlek dan permintaan pertolongan atas masalah yang terjadi mulai dari jodoh, karir, hingga konflik keluarga. Namun menurut Pak Cien, seringkali yang diyakini paling sering mendapat jawaban di altar Ma Co ini adalah permohonan petunjuk untuk pengobatan.
“Mungkin ini karena Ma Co kan dulunya sering menolong para nelayan terutama yang dilanda sakit. Kalau yang minta bantuan pengobatan sering dikasi jawaban. Kalau yang kayak karir, jodoh, kadang dibantu, kadang nggak dikasih jawaban,” tutur Pak Cien.
Suatu ketika pernah paman Pak Cien sakit. Mulanya Pak Cien kurang yakin apakah obat dari resep Ma Co ini mujarab. Pergilah Pak Cien ke Surabaya untuk menebus resep obatnya yang biasa dikenal dengan racikan obat dewa. Alhasil, pamannya yang meminum obat tadi diberikan kesembuhan. Saat ini pamor Ciam Si tak seperti dulu, namun masih ada orang dari luar kota yang datang untuk memohon petunjuk dengan Ciam Si di sini.
Sementara itu, Pemerintah Kota Gresik juga sedang dalam proses pembangunan kawasan klenteng di Kampung Pecinan ini sebagai salah satu area heritage Gresik Kota Lama. Meski belum selesai, kemegahan lampu-lampu tiang bernuansa kuning merah di sepanjang jalan sudah sangat memanjakan mata bagi yang melewatinya. Klenteng Kim Hin Kiong juga sangat terbuka pada pengunjung selama mematuhi protokol kesehatan dan ketentuan yang berlaku.
Reporter: Nurfitriani
Editor: Purnawan Setyo Adi